Herlina
Mereka yang suka bikin ulah dan main pelasah. Resah. Aku yang mendengarnya
gelisah. Entah anak. Entah Ayah. Entahlah. Belum pernah melihat wajah. Yang terdengar
hanya sumpah serapah.
Pernah, tengah malam dikala hujan aku
terbangun mendengar suara barang pecah belah. Suara lelaki yang lantang
terdengar marah-marah. Ya, aku dengar suara itu, suara yang mereka panggil
Ayah.
“Mati kau! Mati kau!” Makian diiringi bak-buk suara seperti pukulan. Entah
bagian mana. Entah bagaimana.
“Ampun, ampun, ampun, Ayah.” Suaranya
melengking. Ya, awalnya melengking khas anak-anak. Terdengar suara sang ayah
marah-marah sebab anak jarang di rumah, sibuk bermain dengan kawan-kawan
sekolah.
“Dari mana kau? Kecik-kecik dah pandai bohong kau, ye!” Terus diiringi suara bak-buk. Dan, suara melengking tadi
terus melemah sampai akhirnya suara kecil itu hilang. Entah apa gerangan yang
terjadi di balik tembok itu. Aku hanya terpaku. Pikiranku melayang tak tentu.
Lelaki dan orang tua macam apa itu? Apakah ia hantu?
Namun, ketika pagi tiba jarang terdengar
suara mereka. Kadang ada, ya, seadanya saja. Biasa-biasa saja. Wajar-wajar
saja. Beda ketika malam tiba. Yang ada hanya suara mereka. Luar biasa. Kurang
ajar juga iya. Tidak wajar juga, iya. Suara lelaki yang kurang ajar itu. Iya,
dia seperti kurang diajar dan kurang dihajar. Dia yang selalu menghajar.
Sering malam-malam aku dengar. Suara
hingar-bingar. Malam ini terdengar lagi suara lelaki itu, “Cuci piring dolok, baru boleh tidur, nyaman benar
hidup kau tuh?!” Entah berdialog pada
siapa. Suara yang kuhapal betul adalah suaranya. Suara lelaki yang mungkin
sakit jiwa. Lalu, ada lagi suara perempuan dewasa yang aku duga adalah
istrinya. Tak ada suara manusia menanggapi dialognya. Tak lama kudengar hanya
piring dan sendok yang besuara.
Tiba-tiba, ada suara teriakan lebih nyaring
dari biasanya. Teriakan wanita dewasa. Teriakan yang belum jelas lafalnya.
Teriakan yang seperti dari beranda rumahnya. Teriakan keduanya. Lama-lama
mendekat di telinga. Mendekat. Dekat.
Praaakkk... Suara benturan ke dinding. Ke dinding rumah
mereka. Bergetar. Dinding terasa bergetar. Entah karena jaraknya yang dekat
hanya sejengkal saja atau…
Praaakkkk…. Getaran ini rasanya sampai ke dada.
Aku terperanjat. Setengah mati. Refleks aku
terduduk, yang semula posisiku adalah berbaring.
“Main gila kau ya? Tak ada aku di rumah
kurang ajar kau ya?” Lagi-lagi suara
lelaki dewasa itu berkusa. Namun, tidak ada jawaban di sana. Hanya isak tangis
yang ada. Yang aku duga adalah bukan karena wanita ini tak mau bicara,
melainkan karena tak diberi kesempatan buka suara.
Isak tangis yang sekali lagi aku duga karena
disiksa. Karena aku hanya bisa menduga.
“Ibu, anak, sama tak becus.” Makian. Lagi-lagi makian. Kasihan.
“Apa yang kau buat sama lelaki sialan itu?”
Bertubi-tubi tudingan itu.
“Dasar gatal kau! Sadar, kau tuh dah punya suami!”
“Teman, Ko. Dia teman lamaku.” Bagai satu berbanding seratus.
Setelah sekian banyak makian hanya satu pembelaan yang mampu diucapkan.
“Istri sialan. Punya anak juga sialan.”
“Pantas kau biarkan Nanda main seharian,
supaya kau nyaman berdua-duaan dengan lelaki sialan itu. Gitu kan, hah?” Oh, Nanda rupanya. Yang aku kira adalah
anak pertama dari dua bersaudara. Suara tangisan bayi yang biasa aku dengar
adalah adik Nanda. Gila. Ini malam, suara tetangga itu lebih hebat dari
biasanya. Aku yang tetap setia terjaga. Pendengar setia. Yang lain entah ke
mana. Atau mungkin mereka mendengar juga? Entah.
Tak terasa keringat dingin membasahi muka.
Mata yang terasa berkaca-kaca.
”Jangan-jangan Nanda bukan anak kita.” Ucap
lelaki itu lagi, masih dengan suara yang menggelegar.
“Mati kau ya! Mati saja kau ya! Fuiih!!!” Kata-kata itu aku dengar sudah seperti
mantra. Kata-kata kasar yang sudah tidak asing di telinga. Dua kali benturan
yang aku duga adalah benturan kepala pemilik suara yang mereka panggil mama.
“Mama, mamaaa. Mama berdarah.” Suara itu milik Nanda.
“Eeh, anak sialan!” Praakkkk. Suara pecahan kaca seolah bersautan dengan isak tangis
Nanda.
“Sakittt… Mamaaaa.” Masih suara milik Nanda bersama dengan suara lelaki penganiaya.
Terus saja dengan kalimat pendek persis mantra.
“Mati kau. Mati kau. Mati kau.” Sungguh kalapnya dia.
Aku yang tak bisa berbuat ap-apa. Aku yang
hanya mendengar suara. Bagai menonton sebuah cinema, melihat tokoh teraniaya aku hanya bersimbah air mata.
Terhanyut dalam ceritanya.
Sementara, suara di sebelah sana semakin
membahana. Suara mereka bertiga. Tak seperti biasanya. Biasanya, suara yang
meraka panggil mama hanya diam kala suara Nanda disiksa. Diam kala dia disiksa.
Kini, dia membuka suara. Dalam ke heningan malam dan suara paraunya, “Bangsat,
kau! Selalu tuduh aku.”
“Ooo, berani melawan kau ya?! Kau pikir siapa
yang kasi makan kau hah?” Lelaki ini
semakin naik pitam. “Kubunuh kau! Kubunuh kau!” Seiring itu suara benturan dan teriakan Nanda, serta suara semacam
mantra.
“Mamaaa, Mamaa… Mamaaaaaaaaaa…” Kali ini membangunkan tetangga
lainnya. Tetangga yang rumahnya sederet dengan mereka. Tepatnya satu gang
dengan mereka. Riuh suara mereka.
“Astagfirullah…”
“Masya Allah, Ajong.” Suara-suara mereka yang
masih asing di telinga. “Ana??? Kau bunuh Ana, Ajong? Kau bunuh istrimu
sendiri? Sudah gila kau rupanya!!!” suara tetangga yang lainnya turut bersuara.
“Innalillahi wa inna illaihi rojiun.”
Kalimat terakhir ini membuat jantungku
berdebar-debar serasa mau keluar. Hanya mampu menatap nanar ke sudut-sudut
kamar.
Baru aku dengar nama mereka disebut-sebut.
Tak lama kemudian suara sirene menggema. Ambulans sepertinya mengangkut mereka.
Aku yang hanya mampu terdiam dan kembali merebahkan kepala. Kututup selimut di
muka. Aku tetap terjaga hingga pagi tiba.
Hari berikutnya. Di atas meja kerja, mataku
tertuju pada berita di sebuah media. Kekerasan dalam rumah tangga judulnya
jelas terpampang di halaman utama lengkap dengan gambarnya. Aku menatap penuh
tanya. Lantas kubaca…
“Lantaran
cemburu buta, suami tega aniaya anak-istrinya. Akibatnya, istri meninggal
dunia…” Mulutku ternganga. Ingatanku
kembali pada peristiwa suara tetangga yang tak pernah kulihat mukanya.
Begitu malang nasibnya. Nasib wanita yang
mereka panggil mama. Wanita bernama Ana. Ibu muda beranak dua. Tetangga yang
hanya aku dengar suaranya.
Malam
setelah aku membaca berita. Kurebahkan badan ke tilam. Sunyi mencekam. Tiada
lagi umpatan. Tiada lagi teriakan. Tiada lagi. Sepi. Sampai akhirnya mataku
terpejam.
Tanjung Hulu, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar