Danu Priyadi & Kakanda Redi
Dika termenung di atas bukit memandang
luasnya kota. Di bawah sana berjejer gedung-gedung tinggi dan rendah, besar dan
kecil, semua tersusun dengan begitu rapi. Sore itu begitu terang. Semua tampak
indah sebelum terbenamnya cahaya. Tapi segalanya tampak biasa, tampak kosong di
mata Dika. Sepertinya masalah yang Ia hadapi belum terselesaikan juga.
Tadi
siang, Dika bertengkar hebat dengan kekasihnya. Hanya karena masalah yang
sepele saja sebenarnya. Ratna, pacar Dika, minta jemput sepulang dari kampus.
Tapi Dika tak sempat menjemput lantaran sudah ada janji main futsal dengan
teman-temannya. Ratna marah. Sungguh berlebihan memang. Klimaksnya, Ratna minta
putus. Dan tanpa pikir panang, Dika langsung mengiyakan saja. Dika sendiri juga
sudah capek sebenarnya. Ratna terlalu kekanak-kanakan, pikir Dika. Apa yang
dimau Ratna, harus dipenuhi saat itu juga. Dika sungguh kesal dengan sifat
Ratna yang satu itu.
***
Semakin
hari, Dika kian tampak murung di kampus. Dika sering melewatkan hari di kampus,
meskipun sedang tidak ada mata kuliah. Dika kerap terlihat nongkrong di
parkiran sendirian. Tak ada kawan yang duduk menemani. Hanya sebungkus rokok
dan sebotol air mineral saja yang setia menemani. Dika sungguh terlihat
frustasi. Putusnya dengan Ratna rupanya sedikit banyak telah mengguncang hati
Dika. Tak bisa dipungkiri, Dika sesekali juga merasa menyesal. Bagaimanapun,
Dika masih sayang dengan Ratna.
“Dik, udah mau malam nih. Kita pulang yuk,” kata
seseorang yang tiba-tiba saja menepuk pundak Dika. Dika tersentak kaget.
Ditolehnya ke belakang. Rupanya Suci, temen sekelas Dika di kampus. Suci
mengajak Dika pulang.
“Eh, Suci. Kok kamu ada di sini?” sahut Dika
sedikit tergeragap.
Suci
tersenyum, “Iya, tadi aku sama temen-temen ke kampus. Jalan-jalan sore aja,
sambil liat senja.” Sahutnya pelan, “Boleh aku duduk di sini?”
“Oh, kamu suka senja?” Dika tersenyum. Dia
menggeser tempatnya duduk, memberi ruang kepada Suci agar bisa ikut duduk.
“Ngapain coba kamu tersenyum? Apakah orang
suka dengan senja itu aneh?”
“Gak kok. Bagus malah. Aku juga suka senja.”
Jelas Dika seraya menghisap rokoknya, “Oh iya, temen kamu kemana. Kok ga ada?”
“Mereka udah aku suruh pulang duluan,”
“Lah, kok pulang duluan? Terus, kamu pulang
sama siapa ntar?”
Suci tersenyum, “Ya sama kamu lah. Masa iya
sih kamu gak mau nganterin aku pulang? Tega bener. Secara kan kita temen
sekelas,”
Dika menepuk jidatnya sendiri, “Oh, iya. Aku
lupa kalau aku juga lagi sendiri,” Dika terbahak, “Oke lah, jangan khawatir.
Kamu akan aku antar pulang, selamat sampai depan rumah. aku janji,” Dika
mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya sambil menyunggingkan senyum
menggoda.
“Dika… Apa-apaan sih? Biasa aja lagi. Norak
banget deh,” Suci menepuk pundak Dika yang tawanya kian nyaring.
Sepi.
Mereka berdua masih memandang senja yang kian
memudar sambil membisu. Keduanya diam sejenak, tak hendak berkata apa-apa.
“Dik,”
“Hmmmm…”
“Kalo aku nanya, kamu jangan marah ya,”
Dika membakar rokok lagi, “Mau nanya apa?”
“Ngggg…” Suci terlihat ragu, “Apa bener kamu
udah putus sama Ratna?”
Dika seketika menoleh pada Suci. Suci
terlihat sangat gugup dan merasa bersalah.
“Aduuuuh, sori loh, Dik. Aku gak ada maksud
kepo kok. Aku denger kabar gak enak ini dari temen-temennya Ratna yang
kebetulan temenku juga. Kata mereka…”
“Iya, bener kok. Aku udah putus sama Ratna.”
Jawab Dika yang memenggal kalimat Suci sekenanya. “Tapi aku nyesel udah
mengiyakan permintaan Ratna itu. Nyesel banget, Ci.”
“Aku turut sedih, Dik. Kamu yang sabar ya.
Percaya aja deh, pasti ada hikmah dibalik setiap peristiwa yang kita alami.
Tungu aja.”
Dika mengangguk, “Tengkyu, Ci. Kamu baek
bener. Gak banyak temen yang peduli sama aku. Pas aku lagi sedih gini, gak
nyangka aja kamu hadir. Aku bener-bener terhibur, Ci.”
Sepi lagi. Masing-masing dari keduanya sedang
berkutat dengan pikiran di kepala.
“Ci, udah hampir malem nih. Yok, aku anter
pulang,”
“Ayok.”
“Nggggg… kalo kapan-kapan aku ngajak jalan,
mau gak?”
Suci tersenyum, “Kalo aku gak sibuk, tentu
aja mau. Kasih kabar aja dulu ya ntar,”
Dika mengangguk. Bibirnya tersenyum.
***
Sampai di rumah, Dika merasakan ada sesuatu
yang lain. Sesuatu yang sungguh menyenangkan. Kesenangan yang luar biasa
lantaran Suci yang telah menghibur hatinya, Suci yang memberi semangat
hidupnya. Tak kunjung selesai Ia memikirkan Suci. Senyum Suci yang menawan
kerap berkelebat di kepala Dika.
Ah, gak
mungkin secepat ini aku jatuh cinta lagi. Aku baru aja putus dari Ratna.
Rasanya tidak manusiawi sekali jika aku langsung mencari pengganti Ratna. Aku
gak mungkin jadian dengan Suci secepat ini. Selain tidak manusiawi, Suci juga
adalah sahabat Ratna meski gak terlalu dekat.
Dan, apakah
Suci juga memiliki pikiran yang sama? Ngggg… rasanya tidak. Tapi… tapi kok dia
tiba-tiba saja menghampiriku tadi? Membahas soal putusnya aku dan Ratna pula.
Apa maksudnya? Jika bukan karena sesuatu yang ganjil, tak mungkin Suci datang
menghampiriku, duduk di sebelahku, minta dianterin pulang pula. Ah… Suci. Entah
kenapa tiba-tiba saja aku jadi kepikiran kamu terus…
Pikiran Dika terus bergejolak. Antara terus
maju dan ragu-ragu. Antara jatuh cinta yang begitu cepat dan bimbang. Tapi,
bukankah rasa cinta itu tidak pernah bohong? Cinta tidak pernah salah. Cinta
bisa saja datang tanpa diduga atau diundang sebelumnya. Jadi, tak ada yang
salah dengan perasaan ini, pikir Dika lagi.
Malam ini, Dika tidur dengan sejuta mimpi
tentang Suci.
***
Sebuah sore yang cerah. Dika dan Suci begitu
asyik menikmati senja, sesuatu yang pada akhirnya membuat mereka terlihat sama.
Sama-sama suka dengan senja. Dika kian kerap terlihat jalan bareng Suci. Bahkan
beberapa teman mulai kasak-kusuk, bergunjing soal kedekatan Dika dan Suci ini.
Malah, ada dari mereka yang mulai menyebar gosip bahwa Dika dan Suci sudah
jadian.
Mulanya Suci terlihat sangat risih dengan
pemberitaan ini. Tapi lama-kelamaan, keduanya tampak biasa saja. Bukankah ini
sebuah kewajaran mengingat mereka adalah kawan satu angkatan? Tak ada yang aneh
jika pada akhirnya mereka kerap pulang sama-sama.
Dika sendiri bukan tidak merasakan ada hal
yang janggal. Meskipun terlihat kalem dan santai, pikiran dan degup jantung
Dika sejatinya berkata lain. Ada yang beda setiap kali dia jalan bareng Suci.
Ada kebanggaan tersendiri dan tentu saja rasa cinta yang diam-diam kian membuncah.
Kesimpulannya, Dika sudah jatuh cinta beneran
dengan Suci.
Suci sendiri sepertinya enjoy-enjoy saja.
Setidaknya begitu yang dirasain Dika. Suci sepertinya tidak pernah ada masalah
dengan kedekatan ini. Yang seperti ini tentu saja kian membuat Dika tak sabar.
Dika sudah mulai merancang-rancang perjumpaan yang pas. Dika ingin segera
menyatakan cintanya pada Suci. Ini harus, pikir Dika.
Dan, hari yang di tunggu-tunggu pun tiba.
Tiga bulan sudah Dika menanti waktu yang pas ini. Waktu yang indah di tepi
sebuah pantai yang tenang. Senja memancar terang. Suasana kian lengang. Tapi
tidak dengan degup jantung Dika.
“Suci, kamu cantik sekali hari ini. Aku
kagum.”
Suci menyunggingkan senyum, “Ah, kamu bisa
aja,” Suci melempar tatapan jauh ke seberang lautan. Entah apa yang dia
pikirkan.
“Tapi aku serius, Ci. Selain cantik, kamu
juga manis sekali hari ini. Serius ini, Ci.”
“Gombal banget sih kamu ini?” kali ini Suci
tertawa.
Dika tersenyum. Meski terlihat tenang, Dika
sungguh sibuk menenangkan detak jantungnya yang seperti menampilkan konser
musik dengan sound yang super power.
“Di sini seru ya,” Suci mengalihkan
pembicaraan.
“Iya seru, di sini tuh seru dan indah karena
ada kamu,”
“Ah, kaaaaan, kamu gombal lagi,” Suci
tersenyum tipis.
Dika melihat senyumnya Suci yang penuh
kedamaian, keindahan, dan nuansa cantik yang
jadi satu di situ. Di senyum itu. Bibirnya yang halus menipis. Rambut
sedikit panjang terurai terkena tiupan angin. Hidung mancung yang Dika lihat
dari samping. Suci sangatlah wanita sempurna bagi Dika.
“Suci…” dika memanggil dengan nada pelan.
“Iya Dika. Ada apa?” Suci menoleh.
“Ada hal aneh yang aku rasakan saat ini. Ada
yang janggal yang aku rasakan sekarang. Aku mulai menemukan kebahagian dan
kesempurnaan hidup kalau bersamamu,” Dika menatap mata Suci.
“Ngggg… maksudnya?” Suci seolah bingung.
“Aku merasakan kenyamanan di saat berdua
denganmu, merasakan lebih indah jika ada kamu, tak kan ada kekosongan lagi di
hati aku. Sepertinya aku mulai mencintaimu, Suci.” Dika masih menatapnya.
Suci menatap kembali pemandangan tadi.
Tatapan matanya kembali terlempar ke laut lepas. Suci diam, seakan dia
kebingungan harus bilang apa.
“Gimana, Ci? Sampai kapanpun, aku akan selalu
menunggu jawabanmu.
“Aku…
aku gak bisa jawab sekarang. Soalnya… soalnya…”
“Soalnya apa, Ci?” Dika meraih tangan Suci
dan menggenggamnya, “Sekian lama kita jalan bareng, kupikir kamu juga suka sama
aku. Kamu tak pernah menolak saat aku ajak keluar. Kita makan, kita
jalan-jalan, kita menikmati senja berdua. Kamu selalu ada buatku selama berbulan-bulan.
Selama itu, aku semakin jatuh cinta sama kamu. Plis Suci, jangan katakan tidak. Setidaknya, kasih aku kesempatan
dulu.”
Suci terdiam. Rambutnya masih berderai disapu
angin yang sesekali lewat.
“Ci, katakan sesuatu. Apapun itu,”
Suci menatap wajah Dika, “Dik, cinta memang
bisa datang. Cinta memang bisa memilih. Cinta juga bisa pergi begitu saja.
Tapi, satu hal yang kamu juga harus tau, cinta tak pernah bisa menunggu.”
“Maksud kamu???”
“Aku… aku udah jadian dengan Cahyo, Dik.
Belum lama. Sekitar seminggu yang lalu. Jadi maaf, aku tak bisa menerimamu.”
Dika melepaskan genggamannya. Ada sesuatu
yang terasa perih di dada. Sesuatu yang pecah berderai. Sesuatu yang hancur
berantakan. Hanya karena waktu, cintanya lepas. Dan ini sungguh menyakitkan.
Sangat menyakitkan.
“Suci, ayo kuantar pulang. Sudah hampir
malam,”
Dika berjalan gotai. Di belakangnya, Suci
mengekor tak bersuara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar