Herlina
Siang itu, pukul 14.00, aku berada di lantai
dua sebuah mal, tepatnya di KFC. Aku memilih duduk di meja samping kaca. Satu
porsi twis, segelas mocca float, dan satu buah buku fiksi
menemaniku. Di luar, hujan belum juga reda. Dari kaca kulihat orang-orang
berhamburan ke tepian jalan untuk berteduh dan ada yang singgah hanya untuk
memasang mantel. Jalan tampak lengang. Sementara ingatanku kembali pada hujan
sepekan yang lalu. Waktu itu, dengan lebatnya hujan mengguyur kota Pontianak.
Ia turun tanpa kompromi tanpa mengenal musim. Kerenanya aku terperangkap di
sini. Mata dan raga yang sudah cukup lelah setelah seharian bercinta dengan
buku dan menatap layar komputer demi revisi rancangan penelitianku. Sekarang
hujan menahanku pula. Di sebuah Perpustakaan Daerah yang terletak di Jalan
Sutoyo.
Dari lantai dua kulihat seorang pria berkaca
mata turun, mengenakan kaos merah berlengan panjang dan ransel hitam di
punggungnya. Tanpa basa-basi ia duduk di sampingku.
“Hey.” Katanya pria berkaca mata itu.
“Hei juga,” balasku.
“Nunggu siapa?” Katanya.
Aku tersenyum “Hujan.” Kataku lagi.
“Kenapa menunggu hujan?” Katanya lagi.
Modus, pikirku. Orang-orang seperti ini hanya
mencari modus untuk berkenalan dengan seorang wanita. Dan aku hanya punya satu
kata untuk orang seperti ini: malas. Ya, aku malas meladeni orang yang
gelagatnya hanya cari-cari modus dan berbasa-basi.
“Nunggu hujan reda,” tambahku lagi.
“Ooo, aku pikir kamu akan dijemput sama
hujan,” katanya sambil tertawa.
Dan kali ini aku hanya diam.
“Siapa namamu?” Dia menatapku dan mata itu.
“Hana.”
“Kau tak ingin tahu namaku?” Katanya seraya
tersenyum.
Aku tak menjawab, tak juga bertanya. Aku
menghela nafas dan menatapnya.
“Adit.” Katanya, “Radit Panyangga.”
Lengkapnya.
Aku tersenyum dan dia juga ikut tersenyum.
Akhirnya kami sama-sama tersenyum. Hujan pikiran-pikiran negatif dari pikiranku
telah mereda, tapi hujan di luar tak juga berhenti. Sekarang ditambah hujan
dialog antara kami. Dialog antara kami terjadi seperti pewawancara dengan
narasumber. Sepeti dua sahabat lama yang baru bertemu kembali setelah sekian
tahun berpisah.
Hujan berangsur-angsur mereda. Tinggal
rinainya perlahan-lahan turun seperti embun.
“Sudah reda,” kataku hendak berpamitan.
“Tunggu saja sebentar lagi. Jika rumahmu
jauh, maka kau akan tetap basah setibamu di rumah.”
“Baiklah.” Kataku patuh.
“Oh, iya, kita boleh bertukar kontak atau
kartu nama?” Pintanya.
“Kontak saja, sebab aku tak punya kartu
nama.”
Setelah menyimpan kontaknya aku segera
berpamitan.
“Sampai ketemu lagi.” Kataku seraya berdiri.
“Be
carefull.” Jawabnya. Aku pun melangkah menuju pintu dan meninggalkan Adit
di ruang tunggu perpustakaan itu.
***
Dari balik kaca jendela kutatap wajah langit
yang murung. Air masih menggenangi tanah cekung. Hujan baru saja reda,
menyisakan rinainya. Orang-orang yang lalu lalang di jalan ada yang masih
mengenakan mantel. Aku tetap memilih duduk di samping kaca dan bedanya dengan
sekarang adalah aku duduk di lesehan.
“Bistik ikan plus jus sirsak.” Masih dengan
menu yang sama seperti biasanya. Hanya kali ini aku ditemani pria berkaca mata
yang kutemui di perpustakaan daerah tempo hari.
“Ale-ale daging tumis mercon plus es jeruk
besar”
Setelah mencatat pesanan, waiters meninggalkan meja kami. Suasana
hening.
“Cerita dong,” Adit membuka suara.
“Cerita apa?” Kataku.
“Apa saja, tentang kamu.” Jawabnya tersenyum
seraya menyalakan rokoknya.
“Aku hanya bisa memulai cerita dengan adanya
sebuah pertanyaan.” Jawabku.
“Hmm. Baik. Kamu sudah punya pacar?” Matanya
menatap lurus ke arahku.
Kami duduk berhadapan. Mata kami saling
bertatapan. Aku membenarkan posisi dudukku yang memang sebenarnya sudah benar.
“Aku sudah punya pacar,” katanya lagi.
Aku semakin kehilangan kata-kata dengan
pernyataan pria ini. Aku tak hanya membenarkan posisi dudukku yang sudah benar.
Aku juga merapikan poniku yang memang sudah rapi. Mungkin karena aku tak mau
memulai cerita, maka ia yang bercerita.
“Pacarku di Jogja,” Lanjutnya, “dia kuliah di
sana dan komunikasi diantara kami berlajan lancar.”
Dan aku belum punya kalimat tanggapan untuk
itu. kalimat-kalimat di kepalaku masih acak.
“Kami selalu bertukar cerita. Apa yang aku
alami kemarin, hari ini, dan termasuk aku bertemu denganmu.” Katanya lagi.
Aku menyimak dengan saksama.
“Terus terang, sejak pertama kali aku
melihatmu, aku suka kamu.” Katanya.
Jujur aku kaget setengah mati. Belum lima
menit ia bercerita bahawa ia sudah punya pacar, lalu ia bilang suka padaku. Aku
diterpa rasa gelisah. Kutarik lengan kemeja panjangku yang seharusnya tak perlu
disingsingkan. Aku mulai salah tingkah. Aku tak tahu harus berekspresi apa. Aku
belum hendak menanggapi sebab kulihat masih ada kalimat yang hendak ia
sampaikan.
“Ini hanya tahap suka, bukan cinta,” katanya.
Kemudian ia menghisap rokoknya sampai kedua pipinya terlihat cekung.
Meskipun dalam keadaan nervous, aku memberanikan diri menatap mata pria ini. Mencari
sesuatu yang ia maksud di sana.
“Bagaimana denganmu?” Lanjutnya lagi.
Aku menghela nafas dan memasang benteng
pertahan di hatiku. “Hmm . . . .”
“Mungkin terlalu cepat bagimu, tapi ini bukan
rayuan. Ini hanya kejujuran dariku. Aku bukan pria yang suka menggoda.”
Setelah menyusun kalimat-kalimat di kepalaku,
aku pun segera meluncurkannya. “Suka adalah hak setiap orang. Siapa pun itu,
termasuk kamu.” Tegasku. “Dan rasaku belum bisa sama dengan rasamu, tapi kita
masih bisa berteman.” Lanjutku.
Ia tertawa mendengar jawabanku. “Iya, aku
juga tidak memaksamu, tapi siapa tahu seiring pertemuan kita akan tumbuh rasa
yang sama darimu.” Katanya lalu menghembuskan asap rokoknya ke udara.
“Aku hanya akan menanam bibit di kebun yang
kosong, bukan di lahan yang sudah tumbuh bibit lain.”
“Wow, analogi yang cerdas! Aku semakin suka
kamu.”
Aku hanya menjawabnya dengan senyum. Hatiku
seakan berkata lain dengan yang terucap.
“Tapi hati-hati, sekarang tak gampang mencari
lahan kosong. Adapun tinggal yang gersang. Siapa tahu bibitmu tak akan tumbuh
subur di sana.” Ucapnya disusul dengan tawanya.
“Biar saja, kelak bibitku akan menjadi
sesuatu yang langka. Sesuatu yang langka akan mempunyai nilai komersial yang
tinggi.” Kataku tetap tak mau kalah.
“Jangan terlalu pasang harga jual tinggi,
nanti tak laku.” Balasnya.
Semacam ada godam yang menghentak di dadaku
mendengar kata-kata itu. Sejujurnya aku
juga suka kamu, tetapi tak mungkin aku katakan. Sekali lagi, aku tak mungkin
menabur benih di lahan milik orang lain.
“Apakah kau sudah punya pacar?” Tanyanya
kembali.
Aku bingung untuk menjawabnya, bahkan ini
semacam soal MID atau UAS yang take home,
sebab soal take home lebih susah
ditemukan jawabannya. Bahkan dalam buku pun tak akan kau temukan jawabannya,
sebab biasanya soal semacam itu perlu pemikiranmu sendiri untuk menjawabnya.
“Di mana dia sekarang?” Dia menghantamku
dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
“A… aku belum punya pacar.”
“Kenapa?”
Aku terus ditodong dengan pertanyaan seputar
pacar.
“Aku merasa lebih enjoy sendiri.”
“Apa yang kamu harapkan dari seorang pacar?”
“Melengkapi dan membuatku merasa nyaman,”
Kataku tak menatap ke arahnya. Aku menatap sisa hujan yang menyerupai embun
yang hinggap di daun bunga barongsai di dekat parkiran itu. Seolah di sana aku
menemukan rasa nyaman itu.
“Aku setuju denganmu.” Katanya seraya
menggenggam jemariku. Mata kami betemu. Aku mendadak kaku. Darah rasanya
membeku. Dan bibit itu terjatuh di lahan milik orang lain.
“Eh, ayo makan.” Katanya mencairkan darahku
yang sejenak membeku.
Kami mulai menyantap makanan yang sedari tadi
sudah ada di meja. Sembari makan, kami pun sempat bercerita tentang hal-hal
yang menjadi favorit kami. Mulai dari makanan, tempat, buku, dan hobby kami
yang lainnya. Sungguh aku merasa teduh di
lahan yang penuh pohon ini. Salahkah?
Selesai makan, ia kembali menyalakan sebatang
rokok. Aku melihatnya menghisap rokok itu begitu nikmat dan menghembuskan
asapnnya.
“Ayo, kita pulang, sebelum aku benar-benar
jatuh cinta padamu.” Katanya antara serius dan bercanda.
“Ayo.” Balasku tanpa mengindahkan
kata-katanya itu.
***
Semingu setelah pertemuan kami di Pondok
Ale-ale itu, tak pernah lagi Adit menghubungiku. Hatiku setengah mati membantah
bahwa aku sedang mencari-carinya. Aku berusaha berpikir secara rasional. Tapi
rasa tak sepakat dengan logika. Bibir bisa saja berkata tidak, tapi hati tetap
berkata iya.
“Mas, mocca
float-nya satu lagi dong.” Pintaku pada seorang pelayang di KFC itu. Dan
sementara menunggu mocca float
datang, aku mengeluarkan selembar kertas dan atas namakan rasa, di sana penaku
mulai menari.
Andai saja
kamu adalah sebuah lahan kosong, tanpa ragu aku akan menjatuhkan bibitku di
sana. Berharap ia tumbuh subur, tanpa mengganggu dan terganggu oleh tanaman
yang lain. Dan kamu tahu, sekarang bibit yang tak ingin aku semai itu terjatuh
di lahanmu. Ia tumbuh, aku tak tahu kelak ia akan mejadi apa. Yang aku tahu, ia
tetap tumbuh sampai kelak waktulah yang akan membunuhnya.
Hana
“Mocca
Float—nya Mbak.” Kata pelayan itu.
“Terima kasih.” Kataku.
“Mas, bisa tolong jagain bentar tas saya, mau
ke toilet nih.” Kataku pada Mas pelayan tadi.
“Oh, iya, boleh.” Katanya ramah.
Segera aku melangkah ke toilet dan meninggalkan
semua barang-barangku. Dan sekembaliku dari toilet, kulihat Mas itu
senyum-senyum.
“Ada apa, Mas?” Tanyaku penasaran.
“Nggak, Mbak.” Katanya semacam takut.
Aku mengerutkan dahi tanda heran. Dan ia
tersenyum.
“Mbak jangan marah ya.” Katanya.
Aku semakin heran.
“Mbak lagi jatuh cinta diam-diam, ya?”
Wajahku segera memanas menahan malu.
“Kalo boleh saran sih, Mbak bilang aja,
masalah orangnya suka juga apa nggak, ya itu urusan nanti.”
“Kalau dia sudah punya kekasih?” Pertanyaan
itu meluncur begitu saja. Semacam curhat curian.
“Itu
urusan nanti, Mbak, yang penting jujur dulu.” Jawabnya enteng. “Permisi Mbak,
saya dipanggil.” Kata pelayan itu.
Sejenak aku berpikir, mungkin ada baiknya aku
berkata jujur. Membuang jauh rasa gengsiku yang terlalu tinggi. Ke mana dia selama sepekan ini? Mengapa dia
tak pernah menghubungiku? Apakah dia masih suka aku? Begitu banyak
pertanyaan di pikiranku.
Aku segera mengemas barangku dari atas meja
dan meninggalkan KFC dengan langkah ragu. Aku bergegas menuju perpusatakaan
daerah. Aku masuki setiap ruang mencari Adit. Tak juga aku temukan dia. Masih
tak puas, aku cek namanya di daftar buku pengunjung, tetapi tak juga kutemukan
namanya di sana.
Sepekan terakhir ini, aku selalu menjadi
pengunjung setia perpustakaan daerah. Bukan untuk menjadi kutu buku atau
mengerjakan penelitianku, melainkan untuk mencari Adit. Namun, tetap tak aku
temukan dia. Sere itu, dengan langkah gontai aku meninggalkan perpustakaan. Matic-ku melaju, aku baru sampai di
jalan Veteran, lagi-lagi Pontianak diguyur hujan. Aku menepi di sebuah ruko di
dekat gedung bimbel Ganesha Operation. Di
sana tampak sepasang kekasih sedang berteduh. Kulihat lelakinya membuka jaket
dan mengenakan pada perempuannya. Sempat iri melihat adegan itu, tetapi
cepat-cepat kutepis. Di samping pasangan itu, kulihat seorang lelaki, posturnya
tinggi, bercelana pendek, tas ransel di punggung dengan jaket berwarna hitam,
ia tampak memperhatikanku. Aku turun dari motor dan berlari ke arah mereka. Dan
aku berdiri di samping lelaki itu.
Hujan turun dengan lebatnya. Udara begitu
dingin. Aku memasukkan jari ke dalam saku jaketku dan terus menunduk. Pikiranku
terus mencari Adit.
“Hey, nunggu hujan, ya?” Kata lelaki di
sampingku itu.
Suara itu, walau bercampur diantara pekikan
hujan, tetapi sangat jelas. Sungguh suara yang aku kenal. Aku masih menunduk,
aku takut terlalu banyak berharap pada suara yang baru saja aku dengar. Aku
berusaha mengangkat wajah pada sumber suara yang aku dengar dan itu adalah
Adit. Seketika aku kaku.
“A… Adit???”
Dia hanya tersenyum.
“Ke mana kau selama ini?” Kataku lagi.
“Aku menunggu kau mencariku. Aku ingin tahu
apakah kau akan mencariku? Apakah kau rindu aku?”
Aku semacam bertemu penjahat yang membawa
pisau tajam dan siap menodongku.
“Aku tak mungkin mencari apalagi
merindukanmu.”
“Kenapa?”
“Pacarmu. Dan aku tak ingin…”
“Oh, itu?” Adit memotong jawabanku, “Aku
memang punya pacar di Jogja, tapi dulu. Dua tahun yang lalu. Sekarang kami
sudah putus. Mengenai hubungan kami sampai saat ini, masih baik-baik saja.
Komunikasi kami masih berjalan lancar.”
Aku masih terdiam. Otakku berusaha mencerna
apa yang barus saja aku dengar. Benarkah demikian?
“Kami beda tujuan, tentu jalan yang kami
tempuh juga berbeda, maka kami harus berpisah.”
Hujan semakin lebat. Air mengalir dari badan
jalan hingga membanjiri depan ruko tempat kami berteduh. Kaki kami basah. Cuaca
bertambah dingin. Aku mempererat genggaman tanganku dalam saku jaket. Adit
melakukan hal yang sama seperti pasangan di sampingku itu. Adit membuka
jaketnya dan mengenakannya padaku. Sesuatu terasa hangat di dadaku.
“Sekarang, aku tak lagi menyukaimu,” kata
pria berkaca mata itu. Dadaku yang tadi menghangat kembali seperti terseram air
hujan.
“Tetapi aku telah jatuh cinta padamu. Maukah
kau memulainya denganku?” Lanjutnya, membuat jantungku hendak meloncat dari
tempatnya. Kuberanikan diri menatap matanya mencari kebenaran di sana. Akhirnya
jawabanku hanya dengan satu anggukan saja. Tiba-tiba lengannya telah berada di
pundakku.
“Kau menunggu hujan?” Katamu.
“Tidak, aku menunggumu.” Jawabku yakin.
Lalu aku sandarkan kepala di dadamu sampai
aku mendengar detak jantungmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar