Dewi Mustikasari & Kakanda Redi
Menyebalkan. Lagi-lagi menyebalkan. Aku sudah
lama rindu untuk dapat menghabiskan waktu bersama suamiku. Meskipun hanya
sekadar jalan-jalan sore. Keluar rumah sebentar untuk menghirup udara segar
tentu tak sulit. Membawa kami keliling-keliling naik motor tentu tak repot.
Tetapi suamiku lebih banyak sibuk, banyak capek, dan banyak berkata tidak
sempat. Apakah sikapku ini terlalu menuntut? Rasanya tidak. Permintaanku ini
sederhana saja, bukan? Aku hanya minta diajak jalan-jalan. Itu pun tidak setiap
sore kok. Hanya sekali-sekali. Baik, aku ulangi, hanya sekali-sekali.
“Kapan-kapan saja ya, Wi. Mas capek.” Begitu,
selalu begitu jawaban suamiku manakala aku mengajaknya mencari udara segar. Ah…
Jawaban itu yang kadang membuatku harus lebih
banyak bersabar. Namun beberapa waktu belakangan ini jengkelku membuncah.
Terutama saat Buyung, anak kami, sedang sakit. Sedikit berat ketika aku harus sendiri tanpa suamiku.
Meskipun aku tahu aku tak sendiri di rumah. Ya, kami memang masih menumpang di
rumah orang tuaku. Aku akan merasa lebih tenang dan nyaman jika suamiku
menemani dalam keadaan seperti ini. Tapi yang sering terjadi adalah suamiku
sering sibuk sendiri. Entahlah apa sebenarnya yang dia sibukkan. Yang jelas,
aku benar-benar merasa sendirian. Sendirian menjalani hidup, sendirian merawat
Buyung, sendirian yang sama sekali tidak jelas. Aku punya suami, tapi rasanya
seperti sendiri.
Suatu hari, orang tua dan suamiku harus
menghadiri sebuah acara keluarga. Aku dan Buyung harus tetap tinggal di rumah karena buyung
baru sembuh dari demamnya. Ibuku melarangku ikut bersama mereka. Ibu memang
sangat protektif kepada cucu semata wayangnya ini.
“Kamu ini masih muda, Siwi, masih belum paham
ngurus bayi. Kamu tidak paham tentang anak kecil. Setitik debu saja bisa bikin
sakitnya tambah parah. Ngerti?” Aku tak
bisa bilang apa-apa selain hanya mampu mengangguk lemah. Pasrah. Percuma
rasanya beradu argumen. Toh pada akhirnya aku selalu ada di pihak yang kalah.
Yang seperti ini harus diperparah lagi dengan
kalimat suamiku yang bukannya bikin aku tenang, tapi malah semakin membuat aku
terpuruk.
“Benar kata ibu, Wi. Kamu di rumah saja.
Lagian, ngapain juga kamu ikut? Nanti di tempat resepsi kamu malah repot kalau
Buyung nangis. Bikin malu saja.”
Bah!!! Suami macam apa itu?
“Tapi tenang Wi, nanti kalau kami sudah
kembali, kamu aku ajak jalan-jalan keliling kota. Aku janji. Bagaimana?”
Suamiku berbisik di telingaku. Sedikit
banyak, aku tersenyum juga, “Hmmmmmm..... ya sudahlah. Tapi janji loh ya, Mas.
Kita jalan-jalan keliling kota loh ya. Awas saja kalau bohong lagi.” gumamku
datar. Suamiku hanya mengangguk seraya mengerlingkan mata. Entah apa maksudnya.
Diperlakukan seperti itu, senyumku kian
mengembang. Aku senang. Aku sudah membayangkan bahwa suatu sore nanti aku akan
duduk manis di boncengan motor seraya memangku Buyung. Suamiku akan mengendarai
motornya pelan-pelan. Kami akan memperbincangkan segala hal yang indah-indah
sambil menikmati semilir angin sore. Ah, sungguh menyenangkan.
Terkadang aku berpikir, aku masih
kekanak-kanakkan. Mungkin ini adalah rasa jenuh yang menimpa disela
kesendirianku selama ini. Aku terlalu lama merasa sendiri. Merasa tak
diperhatikan oleh suamiku. Merasa tak punya teman selain Buyung. Aku ingin ada
sesuatu hal dan waktu yang khusus untuk kami: hanya aku, suamiku, dan Si
Buyung. Walaupun hanya sekadar keliling kota saja. keliling kota tanpa harus
keluar uang toh bisa saja, kan? Aku butuh hiburan. Hiburan. Aku cuma butuh itu.
Tak lebih.
Tapi…
Hari ini aku kecewa. Sangat kecewa. Suamiku
sudah berjanji akan membawa kami pergi bersama untuk keliling kota. Mencari
udara segar. Melihat keramaian yang pastinya bakal menyenangkan. Sungguh senang
dalam hatiku membayangkannya. Hanya membayangkannya saja. Dan semua kesenangan
imajinerku itu harus padam, harus berantakan saat akhirnya suamiku ingar janji
lagi. Alangkah menyakitkan rasanya saat suamiku bilang bahwa dia capek lagi.
Malas lagi. Lain kali saja. Haaaaaaah…
“Kapan-kapan saja ya, Wi. Mas capek.”
Aku mengangguk lemah. Aku tak hendak berdebat
lagi. Aku tak hendak menuntut lagi. Ah, jangankan berdebat, mengatakan ‘iya’
saja suaraku sudah bergetar. Aku menangis. Aku hanya bisa menangis.
Entahlah, suamiku menyadarinya atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar