Danu Priyadi & Kakanda Redi
Malam hampir selesai. Gelap perlahan-lahan
mulai lenyap. Di kejauhan terdengar suara kokok ayam jantan yang menandakan
bahwa pagi akan segera datang.
Pak Sabar membuka mata. Hari dengan harapan
baru sudah di mulai. Semua orang siap larut dalam sebuah rutinitas kerja.
Termasuk Pak Sabar.
Lelaki paruh baya ini hanya seorang pemulung.
Tinggal di sebuah gubuk kecil persis di sebelah tumpukan barang-barang bekas
hasil memulung beberapa hari. Barang-barang loak itu dikumpulkan terlebih
dahulu, baru kemudian di jual jika sudah terkumpul banyak. Uangnya cukup untuk
makan barang satu atau dua hari saja. Jika tidak bekerja, Pak Sabar dan anaknya
yang masih berumur enam tahun tentu tidak akan bisa makan. Sedang istri Pak
Sabar sudah tak ada lagi. Istrinya meninggal sesaat setelah melahirkan Maman,
anak semata wayang mereka.
Kian hari Pak Sabar kian merasa letih.
Badannya mulai sakit-sakitan. Namun, untuk berhenti memulung rasanya tidak
mungkin juga. Kasihan Maman, pikir Pak Sabar. Maman masih kecil, masih belum
paham akan kerasnya hidup.
Mengenang nasib Maman, Pak Sabar hanya bisa
menguat-nguatkan raga. Sakit tak lagi dirasa. Tak ada lagi istilah mengeluh.
Yang ada hanya kerja, kerja, dan kerja.
Pak Sabar bersiap-siap untuk hari ini. Tak
lupa dia menyiapkan alat-alat kerja. Karung kosong dan tongkat pengait, itulah
peralatan kerja Pak Sabar. Maman sendiri masih sibuk dengan obil-mobilan usang
yang dia temukan di tempat pembuangan sampah. Mobil itu sudah jelek benar. Ban
yang tersisa hanya satu, bagian depan sebelah kanan. Meski jelek, Maman senang
benar dengan mainannya itu. Pak Sabar hanya bisa mengurut dada tanda trenyuh dan
sedih lantaran tak mampu memberikan Maman mainan yang layak.
“Hari ini kita kerja dimana lagi, Pak?” Tanya
Maman kepada bapaknya.
“Kamu di rumah saja. Hari ini kamu tidak usah
ikut. Bapak mau mulung di tempat sampah yang jauh, di kampung yang paling ujung
sana. Kalau kamu ikut, nanti kamu capek,” jawab sang bapak yang melihat wajah
anaknya seperti tak tega.
“Aku nggak mau di rumah sendirian, aku mau
ikut Bapak kerja,” jawab Maman terus memaksa.
“Kan ada mainan, jadi kamu ada teman. Main
saja sama mobil itu. Nanti Bapak carikan mainan lagi. Gimana?” jawab bapak
sambil tersenyum.
“Ogah. Aku ikut. Nanti mainan ini aku bawa
saja,” jawab Maman lagi sambil memegang mainan mobil bututnya.
Pak Sabar mengalah. Maman memang keras
kepala. Jika dia bilang ingin ikut, Pak Sabar tak pernah bisa menolaknya.
Untungnya Maman adalah anak yang tidak pernah merepotkan. Selagi Pak Sabar
bekerja, biasanya Maman akan mencari tempat yang teduh, menunggu sambil bermain
apa saja yang bisa dia mainkan.
Siang
mulai menyengat. Ramai orang yang lalu lalang, sibuk dengan kesibukan mereka
masing-masing. Ada yang sibuk teriak-teriak jualan koran. Ada yang sibuk
mengangkut barang yang baru turun dari truk. Ada juga yang sibuk mondar-mandir
tak jelas.
Pak Sabar sedang beristirahat. Botol bekas
air mineral yang dia bawa dari rumah tadi tinggal menyisakan sedikit air lagi.
Diberikannya air itu ke Maman walau sebenarnya dia juga haus bukan kepalang.
“Pak,
aku kepingin makan di situ,” ucap Maman sambil menunjuk ke sebuah restoran.
Segala sesuatu yang tersaji di balik kaca restoran itu sungguh mengundang
selera. Pak Sabar menelan air liurnya demi melihat beberapa ekor ayam yang
sudah dipanggang lengkap dengan bumbunya yang kuning kecoklatan. Benar-benar
mimpi bisa makan di situ.
“Sabar ya Man, Bapak kerja dulu. Nanti kalau
Bapak sudah punya uang, kita makan di situ. Kamu yang sabar ya,” kata sang
bapak penuh senyum.
Maman mengangguk senang.
Pak
Sabar mengusap kepala Maman dengan hati yang sangat perih. Di dalam hati, tak
henti-hentinya Pak Sabar berdoa kepada Tuhan Maha Pemberi Hidup agar dia dan
Maman segera diangkat dari kehidupan yang serba susah ini.
Pak
Sabar tak ingin larut dalam kesedihan. Dia harus bekerja lagi. Pada saat dia
akan bangkit dari duduknya, tanpa sengaja mata Pak Sabar tertuju pada sebuah
tas yang sebenarnya tak layak ada di onggokan sampah. Pak Sabar menghampiri tas
tersebut. Tak banyak yang dia pikirkan. Barangkali jika tas itu masih bagus,
tentu akan bisa dia berikan pada Maman. Hanya itu saja yang terlintas.
Namun, begitu tas tersebut sudah di depan
mata, Pak Sabar mendapati tas tersebut penuh dengan sesuatu yang menggumpal.
Rasa penasaran Pak Sabar tak bisa ditahan lagi. Segera saja Pak Sabar membuka
tas yang sudah dia pegang tersebut.
Saat menyadari isi dari tas itu, mata Pak
Sabar terbelalak bukan kepalang. Yang dia pegang saat ini adalah gepokan uang
pecahan seratus ribu rupiah yang sangat banyak. Tangan Pak Sabar seketika
bergegar. Degup jantungnya kian berpacu. Pak Sabar segera menutup tas itu lagi.
Dengan langkah yang dibuat sebiasa mungkin, Pak Sabar kembali ke tempat dimana
tadi dia duduk. Masih ada Maman di situ.
Hati Pak Sabar kian berkecamuk. Uang sebanyak
itu, jangankan untuk makan di restoran, untuk mengontrak rumah yang layak dan
membeli kendaraan roda dua saja tentu masih sisa banyak. Maka dengan begitu,
hidup Pak Sabar dan Maman tidak akan susah lagi. Maman akan sekolah dan Pak
Sabar tidak akan memulung sampah lagi. Ah, sungguh senangnya hidup enak, pikir
Pak Sabar dengan penuh rasa bimbang.
Tapi, sisi baik hati Pak Sabar juga turut
berbicara. Tentu sangat kasihan orang yang kehilangan uang ini. Uang sebanyak
ini tentu tak mudah mengumpulkannya. Hanya dengan sekejap mata saja, uang
sebanyak ini hilang entah dimana. Tentu yang punya akan seih sekali jika dia gagal
menemukan tas beserta uangnya ini.
Pak Sabar hanya duduk melamun. Tas itu masih
ada di pangkuannya. Saat ini sedang terjadi perang yang hebat di dalam diri Pak
Sabar. Antara sebentuk hati yang jujur dan sebuah mimpi akan hidup yang enak
sedang bertarung menentukan siapa yang akan menang pada akhirnya nanti.
Pak Sabar menggelengkan kepalanya dua kali.
Pikirannya mengatakan bahwa dia harus mengembalikan uang itu. Harus.
Pak Sabar segera mengajak Maman pergi ke
kantor polisi. Sesampainya di sana, Pak Sabar menjelaskan bahwa dia telah
menemukan tas yang berisi uang yang sangat banyak. Pak Sabar bermaksud
mengembalikannya.
Pihak kepolisian menjelaskan, nantinya akan
disebarkan berita tentang penemuan tas dan uang ini. Jika dalam tempo enam
bulan tak juga ada yang mengakui uang tersebut, maka uang sebanyak tujuh puluh
juta rupiah itu bisa menjadi milik Pak Sabar sebagai pihak yang menemukannya
pertama kali.
Pak Sabar hanya mengangguk saat mendengarkan
penjelasan itu. Dengan hati yang lapang, Pak Sabar mengajak Maman pulang.
“Kok uangnya di kasih ke pak polisi sih, Pak?
Kok Bapak tidak ngajak Maman makan di restoran? Kan tadi Bapak sudah punya
uang,” tanya Maman saat mereka berjalan menuju gubuk.
“Nak, itu uang orang. Bukan milik kita.
Kasihan yang kehilangan uang itu. Pasti dia sedih sekali. Maman kalau mobil ini
hilang, Maman sedih nggak?”
Maman mengangguk. Mobil-mobilan butut yang
hanya memiliki satu ban itu makin didekapnya.
Pak Sabar mengusap kepala Maman dengan penuh
kasih sayang.
“Nak, lebih baik kita makan singkong tapi
halal ketimbang makan di resoran tadi tapi uangnya tidak jelas uang siapa.
Tidak akan berkah. Maman ngerti?”
Maman mengangguk lagi, “Ngerti, Pak.”
***
Enam bulan sudah berlalu. Pak Sabar yang oleh
polisi diminta untuk menghadap pada hari yang telah di tentukan telahpun
memenuhi panggilan polisi. Pak Sabar datang bersama Maman. Di kantor polisi,
Pak Sabar dipertemukan dengan seorang ibu muda yang terus-menerus meneteskan
air mata.
“Pak Sabar, ini Ibu Nidia. Beliau inilah
pemilik sah dari uang yang Pak Sabar temukan beberapa bulan yang lalu. Setelah
kami sebarkan berita soal penemuan uang ini, Ibu Nidia datang ke kantor polisi.
Ciri-ciri tas dan jumlah uang yang disebutkan oleh Ibu Nidia sama persis dengan
tas dan uang yang sudah Pak Sabar temukan. Itu artinya, Ibu Nidia ini memang
benar pemilik uang yang Pak Sabar temukan.”
Pak Sabar mengangguk dengan penuh santun. Ibu
Nidia sendiri segera menyalami Pak Sabar dengan penuh rasa haru.
“Entah apa yang terjadi jika uang ini yang
menemukan bukan Bapak. Mungkin saya bisa gila. Uang ini adalah hasil kerja
keras saya bertahun-tahun. Saya simpan di dalam tas yang sedianya akan segera
sata tabungkan ke bank. Namun, entah bagaimana, tas itu tiba-tiba saja lenyap.
Seisi rumah tak ada yang tau. Rupanya, anak saya yang masih kecil telah
memasukkan tas itu ke keranjang sampah. Pembantu kami mengerjakan tugasnya
seperti biasa, membuang sampah jika keranjang sampah sudah penuh. Tentu
hilangnya tas ini bukan kesalahan pembantu saya. Sayalah yang salah. Saya teledor.
Terima kasih banyak, Pak Sabar. Terima kasih banyak.”
Pak Sabar mengangguk lagi. Senyum mengembang
di bibirnya.
“Sebagai ucapan terima kasih, Bu Nidia
memberi hadiah buat Pak Sabar. Ini hadiahnya,” pak polisi mengangsurkan amplop
berwarna cokelat kepada Pak Sabar. Pak Sabar sendiri menerima amplop itu dengan
heran.
“Apa ini, Bu?”
Bu Nidia tersenyum, “Itu buat Bapak. Hadiah
atas kejujuran dan ketulusan hati Bapak. Tak banyak orang yang tulus di dunia
ini. Bapak adalah orang yang istimewa. Terimalah, Pak. Saya ikhlas.”
Pak Sabar membuka amplop tersebut yang
rupanya berisi uang pecahan seratus ribu rupiah yang sangat banyak.
“Ini… ini buat saya???”
Bu Nidia mengangguk, “Iya, buat Bapak. Mohon
diterima. Jumlahnya lima juta rupiah. Semoga cukup sebagai imbalan.”
“Nggg… aduh… ini bukan hanya cukup. Ini… ini
banyak sekali. Aduh… tangan saya sampai bergegar. Tapi… tapi… benar ini buat
saya???”
Pak polisi dan Bu Nidia mengangguk dan
tersenyum.
Pak Sabar segera menjatuhkan diri. Sujud
syukur dia lakukan atas hikmah yang terjadi hari ini. Uang lima juta rupiah,
uang yang banyak dan tentu saja halal. Betapa Pak Sabar behagia bukan kepalang.
Dipeluknya Maman yang terdiam tak paham.
“Nak, kamu mau makan di restoran itu kan?
Ayo, kita makan. Kali ini kita akan pesan satu ekor ayam panggang utuh. Tak
lagi mimpi. Tak lagi khawatir tidak halal. Ini nyata dan ini halal, Nak. Ayo,
bilang terima kasih ke Ibu Nidia dan pak polisi,”
Maman mengucapkan terima kasih dengan lugu.
Yang ada di pikirannya saat ini adalah, dia dan bapaknya sebentar lagi akan
makan enak. Dan ini sungguh menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar