Redia Yosianto
Sore
yang tak begitu terang, di sebuah stasiun kereta. Sedikit berdebu. Gerah. Sepi.
Reni
mengusap mata untuk kesekian kalinya. Batinnya ribut mengumpati air mata yang
masih juga jatuh meski mati-matian ditahannya. Terasa juga kursi yang dia
duduki cepat benar menjadi panas. Gerah. Lebih lagi hatinya. Seperti terbakar. Ada
luka yang menganga disana. Di hati kecil itu. Berdarah. Perih. Luka dari sebuah
penghianatan seseorang yang melebihi seorang kekasih. Dan ini tentu saja
menyakitkan.
Senja
merangkak pelan. Terserok-serok. Menyeret semburat jingga yang sebentar tadi
masih menyala. Bercahaya. Benderang. Memenuhi sore dengan nuansa orange yang
menawan. Sementara Alastua kian sepi saja. Tak banyak yang bergerak saat sore
di stasiun tua ini. Pedagang asongan tinggal satu dua. Berteriak-teriak memecah
keheningan sore di dalam kereta api yang tak begitu penuh.
Reni
tak menghiraukannya. Pedagang asongan itu. Juga senja yang kian luntur. Luka di
hatinya telah menyita pikiran. Mengalihkan perasaan. Menghunus amarah. Membunuh
segala keindahan jingga. Setengah mati ia menyembunyikan gelisah. Juga air
mata. Sementara kereta api ini tak juga bergerak. Panas udara di gerbong kelas
rendah mulai menunjukkan kekuasaan. Jendela dibuka. Sobekan kardus yang
bertebaran di kolong kursi serta merta menjadi kipas dadakan. Reni tetap saja
bungkam meski tangannya sibuk mengipasi wajah. Tak terdengar lagi isaknya. Tapi
sungguh, tak ada yang paham jika perasaannya menjerit sekuat tenaga.
Melolong-lolong kesakitan sebab luka yang begitu parah menganga.
Seorang
pemuda membuyarkan sunyi. Sekejap saja. Meski perlahan ia menyandarkan tubuh di
kursi, toh Reni tetap kaget juga.
Reni
menoleh. Wajahnya menggambarkan sebuah keterkejutan. Seketika. Pantas saja
pemuda ini memilih untuk mengambil duduk di sebelahnya. Reni memang
mengenalnya. Pemuda di sebelahnya ini. Cepat Reni mengalihkan tatap. Segera
saja pemandangan di luar jendela menjadi fokus. Bukan, bukan menjadi fokus
tatap sebenarnya. Reni hanya ingin mengusap matanya saja. Ia tak ingin terlihat
menderita. Ia tak ingin ada orang yang tahu bahwa saat ini ia sedang patah
hati.
Kereta
tetap saja sepi. Tetap saja panas. Keduanya tak juga bercakap. Reni tak tahan.
Ia ingin berbagi. Tapi rasanya tidak secepat dan seketika ini.
“Mau
kemana?” Reni mulai memecah sepi. Hanya dua kata itu. Tanpa menoleh sedikitpun
ke pemuda yang begitu tenang di sebelahnya. Suaranya masih bergetar. Isak masih
tersisa sedikit.
“Malang.”
sahut si pemuda singkat. Juga tanpa menoleh. Tas ransel kian erat melekat dalam
pelukan si pemuda.
“Kau
kan tidak punya keluarga di Malang.”
“Apa
itu salah?” kali ini ditatapnya wajah gadis yang telah diobrak-abrik oleh sedih
dan luka itu. Wajahnya yang sayu serta merta menjadi jingga sebab tertimpa
sinar matahari sore yang menerobos bebas. Tetap cantik. Tetap menawan. Cahaya
jingga dan wajah sayu itu.
Reni
membuang tatap. Selain menderita, ternyata patah hati juga bisa membuatnya
bodoh. Untuk pergi ke suatu tempat, orang tak harus memiliki keluarga di tempat
yang akan dituju. Dan ini sama sekali tidak salah.
“Tapi
sekarang bukan waktunya liburan.” Reni membela diri. Meski memang kedengarannya
bodoh, ia ingin terlihat benar dan punya sikap.
Mata
si pemuda meninggalkannya. “Apa itu harus?” beberapa pedagang asongan lewat.
Bergantian. Ada yang mengangsurkan beberapa bungkus permen yang segera ditolak
dengan satu gerakan halus.
Reni
melengos kesal. Pemuda ini. Masih saja seperti dulu. Dingin. Tegas. Punya
sikap. Keras kepala. Tak mudah dipatahkan. Tak bisa di debat.
Si
pemuda membuka tas yang ada di pangkuannya. Dua bungkus roti isi cokelat dan
sebotol air mineral segera berhamburan keluar. “Makanlah. Kau pasti lapar.
Orang yang menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menangis pasti akan merasa
lapar setelahnya.”
Reni
kesal. Ia benci dengan keadaan ini. Rasanya sangat sia-sia usahanya
menyembunyikan air mata dan berupaya mengeluarkan suara setegar mungkin jika
toh bakal ketahuan juga. Tak ada pilihan lain. Disambutnya sebungkus roti yang
ditawarkan si pemuda. Dimakannya dengan lahap. Perutnya memang sangat lapar.
Peluit
kereta menjerit. Sejenak kemudian, kereta merangkak perlahan. Kemudian melaju
kencang meninggalkan Alastua yang bungkam, yang sepi. Sementara semburat sore
kian luntur. Alastua kian pekat. Hilang dari pandangan.
***
Reni
menghimpun air mata. Matanya mengerjap beberapa kali. Dicobanya bertahan sekuat
mungkin agar tangisnya tak meledak. Untuk sebentar tadi Reni berhasil.
Reni
lekat menatap pemuda di depannya. Yudi, laki-laki yang telah merebut hati dan
cintanya, terpaku. Duduknya gelisah. Sesekali ia berdiri kemudian duduk lagi.
Telaga dimatanya yang dulu bening, tenang, menyenangkan, kini keruh dan penuh
dusta. Penuh lumpur penghianatan.
“Aku
harus menjelaskan semua ini. Kamu salah duga. Ngggg… maksudku, apa yang kamu
lihat tidak seperti yang kamu kira. Itu cuma, ah… itu cuma salah paham saja.”
Pipi
Reni mulai basah.
“Ren,
dengarkan aku. Demi Tuhan, aku tak ingin pertunangan ini putus.” Yudi bangkit
dari duduknya. “Oke, oke, aku mengaku salah. Aku minta maaf. Kuharap kamu sudi
memaafkan aku.”
Reni
mulai terisak.
Yudi
senyap. Kehabisan kata.
“Kamu
mencium perempuan lain.” Reni mulai melolong-lolong. Kepalanya tertunduk.
Tangannya mengepal di atas meja. Selembar kertas tissue segera lumat kehilangan bentuk. Remuk. Tercabik-cabik. Hati Reni
juga.
“Aku,
nggg…”
“Kamu
mencium perempuan lain!” Reni mempertegas kalimatnya barusan, “Di depan
mataku.” Diangkatnya kepala yang beberapa jenak tadi tertunduk pasrah. Segera
mata yang berlinang-linang itu menatap tajam ke manik mata Yudi, laki-laki yang
telah menghianatinya.
Yudi
tertunduk.
“Apa
mencium perempuan dengan penuh perasaan itu sebuah salah paham?”
Yudi
makin membenamkan kepalanya.
“Aku
mohon, mulai saat ini jangan pernah punya niat untuk menikah denganku.” Reni
melepas cincin yang melingkar di jari manisnya. Diletakkan cincin itu di atas
meja dengan perlahan, dengan hari yang remuk redam. Dengan air mata yang
berlinang. Dengan cinta yang sama sekali tak berbekas, menguap. Hilang.
Yudi
masih menunduk. Tak berkutik.
Reni
beringsut meninggalkan meja. Meninggalkan Yudi yang masih mematung.
Meninggalkan cinta yang sudah sekian lama dia puja. Betapa hancur hatinya saat
ini. Rasanya tak ada perempuan di belahan bumi manapun yang kuat menahan
perasaan marah saat melihat kekasihnya mencium perempuan lain dengan lembut,
dengan penuh perasaan, tanpa rasa bersalah sedikitpun. Tak ada. Dan sungguh,
yang seperti ini bukan salah paham namanya. Ini goblok. Penghianatan. Dan laki-laki
itu, kekasih itu, datang kembali lantas memohon maaf? Segampang itu? Tak
tahukah ia betapa jantung terasa remuk? Tak tahukah ia betapa perih rasanya
hati? Tersayat-sayat. Berdarah-darah. Air mata tak henti-hentinya tumpah.
Sampai
di rumah, Reni mengemasi beberapa helai pakaian setelah sebelumnya
mengobrak-abrik seluruh isi lemari sambil meraung-raung. Dimasukkannya beberapa
kaus dan jeans ke dalam tas kecil. Berjejal-jejal. Menggumpal. Sesak.
Kereta
senja yang berangkat ke Malang memang masih beberapa. Reni tak peduli itu. Yang
ia ingin, secepatnya ia pergi dari sini dan kalau bisa, tak hendak rasanya ia
kembali lagi kesini, ke kota yang telah menciptakan sebuah kenangan pahit di
hatinya ini. Tak hendak. Selama-lamanya.
***
Reni membuka mata lalu mengusapnya
beberapa kali. Di luar jendela, hitam pekat malam yang kentara. Tak ada
apa-apa. Angin yang menerobos lewat celah-celah jendela menciptakan hawa dingin
yang sungguh sangat membantu ditengah hawa panas dan pengapnya kereta.
Kereta berderak-derak. Melaju dengan
sangat tenang. Menciptakan gemuruh suara yang ribut dan angkuh, membelah sepi
malam.
Reni
menoleh ke arah pemuda yang masih terjaga di sebelahnya. Kening Reni seketika
berkerut.
“Kamu sudah bangun atau memang tidak
tidur?”
Si pemuda menoleh. Matanya
mengerjap. Berat. Meski samar, Reni tau kalau mata itu belum terpejam sama
sekali. Warna merah menyemburat disana, di mata itu.
“Kita sudah sampai daerah mana?”
“Sekitar satu jam lagi kita sampai
ke Malang.” Kemudian pemuda itu menguap panjang.
Sepi. Tak ada yang berinisiatif
membuka wacana baru.
“An,” Reni mengalihkan tatap ke
pemuda yang sangat tenang di sebelahnya itu, “kenapa tiba-tiba kamu ingin ke
Malang?”
Ditanya begitu, si pemuda malah
tersenyum.
“Kok malah senyum? Bukannya
dijawab.”
“Aku ingin menemani kamu.”
Reni menautkan kedua alisnya, “Kok
gitu jawabannya?”
Si pemuda tersenyum lagi. “Aku tahu
segala hal tentang Yudi. Semuanya. Termasuk tentang penghianatannya ke kamu.
Dan puncaknya adalah kemarin. Aku juga tahu kalau kemarin kalian bertengkar.
Kamu menangis. Kamu nekat pulang ke Malang dengan kondisi seperti ini. Yaaa,
tentu saja aku khawatir.”
Reni masih bingung.
“Aku
tak pernah memaksakan apa-apa ke kamu.” Andra, si pemuda yang duduk di sebelah Reni
itu menatap manik mata Reni lekat-lekat. “Aku juga tak pernah menawarkan
apa-apa ke kamu. Cinta dan apapun itu.” Masih. Tatapan Andra masih menikam
manik mata Reni. Gadis itu menunduk.
“Andai
saja...”
“Ah,
tak perlu lah kita berandai-andai.” Andra mengibaskan tangan sambil tersenyum. Dipenggalnya
kalimat Reni sekenanya. “Kita sekarang tidak sedang berada di negeri para peri.
Kita sekarang di dalam kereta yang panas. Pengap. Kita sekarang di dunia
nyata.” Andra menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Senyata keadaanku
sekarang ini.”
Reni
menyandarkan punggungnya. “Maksudmu?” tanyanya kemudian. Suaranya serak.
“Apa
yang bisa kutawarkan ke kamu kalau aku sendiri memang gak punya apa-apa?
Menyedihkan memang. Tapi seperti itulah kenyataannya.” Andra menggenggam jemari
Reni. “Aku suka sama kamu. Tapi aku tak pernah berani mengatakannya sebelum
ini. Kamu tau mengapa?”
Reni
menggeleng.
“Karena
aku sudah kalah dengan Yudi. Kalah dalam segala hal. Bahkan aku merasa bahwa
untuk sekedar bercerita tentang segala keburukan Yudi pun aku tak punya hak. Aku
memang payah. Aku cuma bisa berdoa, semoga kamu cepat sadar sebelum semuanya
terlambat. Itu saja. Dan ternyata Tuhan mengabulkan doaku. Maka disinilah kita
sekarang, di kereta api yang pengap dan panas ini. ”
Reni
mengangguk-anggukkan kepala. “Kamu memang keras kepala.”
“Toh
itu tak juga membuat kamu menerima cintaku.”
Senyum
Reni mengembang.
“Mau
roti lagi?”
Reni
menggeleng. “Sesampainya di Malang, kamu mau kemana?”
Kali
ini Andra tertawa. “Tentu saja ke rumah kamu. Kan kamu sendiri yang bilang
kalau aku gak punya keluarga di Malang.” Andra mengerling. “Tapi sepertinya
sebentar lagi aku bakalan punya.”
Reni
geleng-geleng kepala. Tapi toh ia tersenyum juga.
“Dan
nanti kalau aku ke Malang lagi, aku bukan lagi liburan namanya, tapi pulang
kampung. Gimana? Keren gak?”
Giliran
Reni yang tergelak. Sungguh ia tak pernah menyangka kalau secepat ini Tuhan
akan menunjukkan sebuah hikmah dari air mata yang tumpah nyaris seharian penuh,
kemarin.
Maret
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar