gerimis kian menjelma sebagai hujan
membadai mengaburkan kaca-kaca jendela kereta perpisahan
sekali waktu masih kutunggu kau turun, sekedar untuk mengecup keningku saja
tapi urung kau lakukan: sebab gerimis mambadai sebagai hujan,
katamu pelan.
“pisah ini akan sampai juga, sayang” katamu tapi tak kudengarkan
sedang aku hanya ingin memaknai pisah ini dengan segaris senyum menerima
sayang kaki-kaki hujan tak hanya membasahi tanah tempat keretamu bersandar,
tapi mataku juga. tak bisa kugambar senyumku dibalik jendela kereta
aku mulai menulikan telinga
“pisah ini akan sampai juga, sayang” lagi katamu, tapi tak kudengarkan.
beribu basah yang menerpa telah kuseka, juga air mata
dan dibalik jendela itu, kulihat kau juga melakukan hal yang sama
kini yang tiba dimataku tak lagi kau yang tegar
yang selalu menyalakan matahari saat malam menghantam jalanku
yang selalu menuang air dalam gelasku saat kemarau jalang bercerita
air mengalir dimatamu: bercerita tentang lembar yang hampir terkoyak
sedang di dalamnya kau ceritakan kupu-kupu yang terbang dengan tarian-tarian
aku ingin lagi mendengar detak jantungmu saat malam kian menua
merasakan lagi hangat teh yang kau seduh di sepanjang gerimis senja dan musim bunga
“pisah ini akan sampai juga, sayang” katamu tapi tak kudengarkan
sebab kau masih akan meneruskan tidurmu: memimpikan aku sore ini
di keretamu yang masih terhenti
dan aku?
biar kurupa kau menjadi gerimis yang tenang,
yang menidurkanku saat senja mulai temaram
meski kerikil menghadang jejak-jejak langkahku menujumu
kaulah malamku yang memesonakan
ingin kugambar kau laksana kupu-kupu yang terbang dengan tarian-tarian
yang hinggap manja di dahan juga dedaunan pohon-pohon randu
dan selalu kukenang kau disini
pada sajak yang tak pernah selesai ini...
16 Februari 2010
01.36 WIB