Bincang-bincang Saat Senja dan Tentang Sebuah Album Foto
Entah mengapa, aku sangat senang membuka-buka album foto milik
keluarga kami. Satu-satunya. Cuma satu album itu. Cuma sembilan belas foto yang
sudah mulai kabur warnanya itu. Aku begitu takjub dengan gambar yang tertangkap
di dalam lembar-lembar besejarah yang ada di album kumal itu. Tentang bagaimana
emak duduk sembari memangku bayi yang bola matanya terbuka lebar. Tentang
bagaimana bayi yang dipangku oleh emak tadi merangkak di lantai kayu yang
berwarna hitam pekat. Tentang mainan kuda-kudaan yang berdiri tegak persis di
sebelah bayi tadi. Tentang emak yang mencium kening si bayi yang lucu. Dan
beberapa pose lagi yang kerap membuat aku senyum-senyum sendiri.
Suatu hari, saat langit megah
oleh cahaya senja, aku berbincang dengan bapak dan emak di tepi ladang milik
kami. Bapak sedang mencangkul tanah, membuat gundukan tinggi dan panjang. Kata
emak, gundukan itu untuk menanam batang-batang ketela. Bapak hanya menyahut
sekali-sekali celotehanku yang terus bertanya tentang bermacam hal.
Aku ceritakan juga kepada emak
kalau aku dapat tugas dari guru bahasa Indonesia membuat karangan yang
berdasarkan sebuah gambar. Gambarnya bebas. Boleh dari foto atau dari sobekan
kalender yang biasanya bergambar pemandangan. Aku memilih untuk membuat cerita
dari foto saja.
“Waluyo membuat karangan dari
kertas kalender, Mak. Dia mau bikin cerita tentang masjid.” Kataku. Tanganku
terus membolak-balik lembar-lembar album foto kumal yang aku pegang.
“Lha, terus kamu mau bikin cerita
tentang apa? Di rumah kita kan ndak punya kalender yang ada gambarnya. Ada juga
kalender dari toko Koh Aliong itu. Kalender yang tiap hari harus di sobek. Tiap
hari ganti angka. Ndak ada gambarnya.” Sahut bapak sembari meneruskan
kerjaannya.
Aku ingat kalau kalender di
rumahku ya seperti itu. Cuma angka. Angkanya besar-besar. Setiap pagi bapak
atau emak menyobek lembar yang angkanya adalah tanggal kemarin. Setiap ada
perayaan hari besar, angka tampil agak mengecil sebab di halaman tersebut akan
muncul gambar sesuai dengan hari besar yang dirayakan. Misalnya hari lebaran
idul fitri. Gambar yang muncul adalah gambar ketupat dan masjid.
“Saya mau bikin cerita dari foto
kita saja Mak, cerita tentang keluarga kita.” Sahutku agak bungah.
“Halah. Bagian yang mana yang mau
kamu ceritakan? Lha wong keluarga kita ini ndak punya kisah apa-apa yang layak
diketahui oleh orang.”
Aku tertegun. Buatku kalimat emak
barusan memang ada benarnya juga. Tak ada kisah yang enak untuk diceritakan
dari keluargaku. Kami hanyalah keluarga kecil yang teramat sederhana. Di rumah,
jangan kata pesawat televisi, radio saja baru bisa kami dengarkan saat tetangga
sebelah rumah menyalakannya saat malam dan membuka daun jendela. Jika tidak
begitu, kami tidak akan pernah mendengarkan suara siaran berita dari radio atau
lagu-lagu dangdut yang mengalun merdu menjelang malam.
“Tak mengapa. Saya akan membuat
cerita yang bahagia. Namanya juga mengarang. Benar kan, Pak?” kataku minta
persetujuan bapak.
Bapak menghentikan pekerjaannya,
memandangku, lantas bapak mengangkat capingnya dan tersenyum. Senyum bapak
teduh sekali. Menenangkan. Aku jadi terpikir untuk membuat cerita tentang
keluarga kecil kami dan bapaklah yang jadi tokoh utama. Aku tersenyum.
Kubolak-balik lagi
halaman-halaman album foto yang aku bawa ke gubuk di ladang ini. Mataku
memicing. Sungguh. Aku tak menemukan gambar bapak di album kumal ini. Satupun.
“Kenapa kok bapak ndak ada di
foto-foto ini, Mak?”
Emak mengusap kepalaku. Emak lalu
tersenyum. Senyum emak juga teduh.
“Itulah hebatnya seorang bapak.
Bapakmu rela meminjam tustel ke pamanmu. Bapak beli rol film. Bapak mengambil
gambar kita. Wajah bapak ndak ada di hasil foto karena alasan sederhana:
bapakmu lah yang pegang tustel. Bapakmu orang yang baik. Bahkan separuh dari
rol film yang bapak beli, tidak dipakainya, melainkan bapak berikan ke pamanmu.
Sebagai imbalan atas kebaikan pamanmu yang telah meminjamkan tustelnya. Kalau
tidak begitu, mungkin kamu sekarang ndak akan pernah tahu bagaimana kamu waktu
masih bayi.”
Aku tertegun. Aku… aku kagum,
semakin kagum pada bapak.
Seketika aku ingin segera pulang.
Aku ingin segera memulai menulis karanganku berdasarkan selembar foto dari
album kumal yang aku pegang. Aku akan bercerita tentang bapak. Tentang mengapa
bapak tidak ada di setiap foto yang ada di album kumal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar