Membaca Bapak
Surat
kabar terbitan dua hari yang lalu masih aku genggam. Entah sudah berapa puluh
kali aku membaca berita di halaman utamanya. Surat kabar itu sendiri sudah
sangat lusuh. Nyaris terkoyak karena sering dilipat dan dibuka kembali. Setiap
kali membacanya, air mataku selalu jatuh. Sadar atau tidak. Selalu saja begitu.
bahkan untuk saat ini juga. Aku membaca lagi berita di halaman utamanya, di
surat kabar yang lusuh ini. Dan, aku menangis lagi.
Di
luar, gerimis belum juga reda. Biasanya kalau gerimis begini, Mas Aji selalu
saja membuat dua gelas cokelat hangat dan mengajakku duduk di ruang keluarga
sembari menghadap ke kaca yang basah oleh tempias. Kami menikmati titik-titik
air yang jatuh dari genting, berdua saja.
Menikmati sejuk yang sesekali dikirim angin lewat celah-celah ventilasi
di atas jendela. Kami baru bangkit dari duduk jika cokelat panas di gelas kami
sudah habis.
Sayang
sekali, gerimis kali ini Mas Aji tidak di rumah. Tak ada cokelat panas. Tidak
ada acara duduk berdua di ruang keluarga. Yang ada kali ini hanyalah aku dan
Tita yang sedang sibuk dengan buku abjad-nya. Tita sedang belajar membaca.
Kalau sudah begini, aku jadi ingat lagi, Mas Aji lah yang paling telaten
mengajari anak kami mengeja huruf demi huruf, merangkainya menjadi sebuah kata.
Tita akan bertepuk tangan jika dia sudah bisa membaca sebuah kata dengan tepat
dan lancar. Mas Aji selalu menyemangatinya. Sering kali Mas Aji menghadiahi
Tita dengan sebungkus permen jika Tita berhasil membaca sebuah kata dengan
tepat dan lancar. Tita senang sekali diperlakukan seperti itu.
“Bapak
kok belum pulang juga ya, Bu? Tita sudah kangen sama bapak. Bapak kan sudah
janji mau membelikan Tita boneka.”
Aku
tersentak. Meski cuma sedikit, kupikir air mata ini mengganggu juga. Tita tak
boleh melihatku menangis seperti ini. Tak boleh.
Pertanyaan
Tita barusan belum kujawab. Kupikir aku memang tak perlu menjawab pertanyaan
itu sekarang. Itu karena sekarang Tita masih sibuk mengeja. Sama seperti surat
kabar yang aku pegang, buku abjad milik Tita juga tak kalah lusuh.
Waktu
Mas Aji akan berangkat seminggu yang lalu, Mas Aji memang sempat berdialog
dengan Tita. Perkara Mas Aji yang berjanji akan membelikan Tita boneka sepulang
liputan nanti, itu memang benar adanya.
“Ajarin
Tita membaca lagi dong, Pak. Kemarin baru sampai huruf ‘r’. Setelah huruf ‘r’,
huruf apalagi, Pak?”
Aku
masih ingat, waktu itu Tita mengatakan kalimat barusan di pangkuan bapaknya
yang sedang sibuk membersihkan lensa kamera. Bapaknya hanya tersenyum waktu
itu.
“Bapak
jangan pergi dong. Di rumah saja. Ajarin Tita membaca saja. Ya Pak ya...”
“Bapak
kan harus kerja, Sayang. Bapak harus cari duit. Kalau bapak punya duit, nanti
Tita Bapak belikan buku membaca lagi. Tita suka dibelikan buku lagi?” Mas Aji
meletakkan kamera yang dia pegang. Aku ingat benar, setelahnya Mas Aji
mengusap-usap rambut Tita dengan lembut sambil sesekali mengerlingkan mata ke
arahku.
“Tita
mau boneka saja, Pak. Buku Tita sudah banyak.”
Mas
Aji tersenyum lagi, “Boneka? Boneka apa?” dipeluknya Tita erat-erat setelahnya.
“Boneka
beruang beruang, Pak, yang besar.”
Kulihat,
pelukan Mas Aji bertambah erat, “Baiklah, untuk anak Bapak yang pintar dan
cantik ini, Bapak berjanji akan membelikan Tita boneka beruang yang besaaaaaaar
sekali. Bapak Janji.” Lantas, Tita tertawa terbahak-bahak karena sesekali Mas
Aji menggelitiki perut Tita.
Itu
adalah kalimat terakhir sebelum Mas Aji kepada Tita sebelum dia pergi. Kamera
sudah dia masukkan ke dalam tas. Dikecupnya pipi Tita kiri dan kanan. Keningku
setelahnya. “Jaga Tita baik-baik. Kalau pekerjaan sudah beres, aku akan segera
pulang.” Bisik Mas Aji ke telingaku. Aku mengangguk saja waktu itu.
“Cepat
pulang ya, Pak.” Tita yang berpesan, “Bonekanya jangan lupa. Yang besaaaaaar.”
Mengenang
itu semua, mau tidak mau aku menangis lagi. Air mata ini mengalir lagi.
Mati-matian kutahan isak tangisku. Aku tak ingin Tita mendengar, terlebih lagi
melihat aku menangis.
“Bu,
coba dengar. Tita sudah bisa mengeja nama Ibu.”
Aku
mengangguk saja. Cepat kuusap air mata ketika Tita menunduk dan mulai
konsentrasi dengan buku abjad-nya.
“En
– u – NU, er – i – RI. NURI. A – em – a – ma, AMA. En – i – ni, en – a – na.
NINA. NURI AMANINA.”
Aku
bertepuk tangan, keras sekali. Perasaanku sungguh membuncah penuh dengan kebahagiaan.
Tita sudah bisa mengeja namaku. Tita sudah bisa membaca setiap kata yang
dituliskan Mas Aji di buku abjad-nya. “Tita pintar sekali. Kalau bapak lihat,
pasti bapak senang sekali.” Kulihat Tita tersenyum ceria.
“Bu,
nama bapak yang lengkap siapa sih? Tita ingin membacanya. Nanti akan Tita
pamerkan kalau bapak sudah pulang.”
Aku
tertegun. Bingung bercampur iba. Entah bagaimana aku menjelaskan kepada putri
kecilku ini. Berpikir seribu kali lebih keras pun aku belum juga menemukan cara
yang tepat. Malah, air mataku rasanya akan jatuh lagi. Tita masih memandangiku.
Telat.
Tita sudah melihatnya. Melihat aku menangis.
“Kok
Ibu nangis sih? Kenapa?”
Aku
menggeleng lemah, “Ibu terharu melihat Tita yang memiliki semangat belajar yang
keras. Kelak, Tita pasti jadi orang yang sukses.” Kataku pelan. Tentu saja aku
berbohong. Bukan soal Tita yang akan menjadi orang yang sukses itu, tapi alasan
mengapa aku sampai menangis.
Tita
tersenyum. Cantik sekali.
Aku
cepat-cepat mengusap air mataku. Kubuka surat kabar yang masih juga aku genggam
sejak tadi. Kubentangkan di hadapan Tita. Aku tunjukkan ke Tita daftar nama
yang termuat di surat kabar itu. Jariku persis menunjuk angka tujuh. “Ini nama
lengkap bapak. Bacalah.”
Tita
tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar. aku sendiri? Air mataku malah kian deras
saja. Aku membayangkan jika Tita berhasil membaca nama yang aku tunjukkan itu,
pasti dia ingin segera memamerkan ke bapaknya.
“Ini
huruf apa, Bu?”
Kepalaku
terjulur, “Itu huruf ‘s’. Setelah huruf ‘r’ ya huruf ‘s’.” Jelasku, dengan
suara yang bergetar.
“Es
– a – sa - en – SAN, de – i – DI. SANDI. Em – u – mu, el – i – a, MULIA. A – je
– i – ji, AJI. SANDI MULIA AJI.”
Aku
mendekap tubuh mungil Tita. Tangisku pecah sudah. Aku tak peduli. Aku tak kuat
lagi menahan kesedihan yang aku rasakan. Tita, anakku, sudah bisa membaca nama
lengkap bapaknya dengan benar. Aku bahagia. Sayang, kebahagiaan yang aku
rasakan hanya sebentar. Tita tak akan pernah bisa memamerkan apa yang sudah dia
lakukan barusan ke bapaknya. Tak bisa.
Ku
lirik surat kabar yang masih terbentang. Nama lengkap bapak Tita ada di urutan
ketujuh dari tiga puluh delapan daftar korban kecelakaan pesawat yang jatuh dan
menabrak tebing. Tak ada korban yang selamat. Tak ada. Termasuk Mas Aji,
bapaknya Tita.
“Nanti
kalau bapak pulang, Tita akan bilang ke bapak bahwa ibu yang memberi tahu kalau
setelah huruf ‘r’ itu ya huruf ‘s’. Nama bapak kan huruf pertamanya huruf ‘s’
ya, Bu?”
Aku
mengangguk. Masih kudekap tubuh Tita. Air mataku juga masih mengalir dengan
derasnya.
Mempawah
Mei 2012
Kakanda Redi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar