Menjenguk
Pri
Priyadi menggeliat. Terasa pundaknya diguncang dengan lembut
sembari sebuah suara yang sudah begitu akrab ia kenal memanggil namanya lirih.
“Pri… Pri… bangun Le, ini Bapak. Bapak kangen sama Pri,”
Priyadi membuka mata perlahan
sambil sesekali mengucek-ngucek matanya sendiri, “Bapak? Bapaaaak…” Priyadi
segera menghambur ke pelukan bapaknya. Ada tawa yang lepas berderai. Renyah.
Tawa rindu yang tertahan sekian waktu lamanya. Rindu ingin jumpa. Rindu anak
kepada bapak dan sebaliknya.
“Kamu sehat, Pri?” tanya bapak
sembari menciumi pipi dan kening Priyadi yang terus saja mengajaknya bergumul
sebab rindu.
Priyadi mengangguk. Tawanya masih
berderai.
“Bapak kemana saja? Kok lama ndak pulang?”
Bapak segera membawa Pri ke dalam
dekapannya, “Lho, kan Bapak sudah bilang sama Pri, Bapak kerja. Mungkin agak
lama. Dan sekarang Bapak sudah pulang to?”
“Bapak bawa mainan buat Pri?”
“Oooooohohohohohohooo… ya jelas
ada. Pri mau mainan apa?”
Priyadi menggaruk kepalanya,
“Mobil-mobilan yang bisa dinaiki. Bawa?”
Bapak mengacak rambut Pri dengan
penuh kasih sayang, “Oh, kalau mainan itu ya belum beli. Tapi ndak apa-apa. Sekarang Pri main
sapi-sapian saja dulu. Mau ndak?”
“Sapi-sapian?”
“Iya, sapi-sapian. Bapak yang
jadi sapinya. Pri naik ke punggung Bapak. Mau ndak?”
Priyadi terbahak lagi, “Mau Pak,
mauuuu…” Priyadi segera meloncat ke punggung bapaknya yang sudah dalam posisi
merangkak. Sekejap, Pri sudah menunggangi bapaknya. Bapak mengemoh dua kali
menirukan suara sapi. Priyadi senang bukan kepalang. Priyadi berpegangan di
pundak bapaknya yang terus saja merangkak mengelilingi kamar. Keduanya tertawa
terbahak-bahak saat bapak menumbangkan diri persis di kasur tipis yang ada di
sudut kamar.
“Bapak capek?”
Bapak tersenyum. Tangannya meraih
tubuh kecil Priyadi dan membawanya lagi ke dalam dekapannya, “Ndak kok. Kalau Pri mau, kita main
sapi-sapian lagi. Mau?”
Priyadi menggeleng, “Ndak usah Pak. Bapak pasti capek. Pri
pijitin ya, Pak.”
“Ndak usah, Le. Kamu
lanjut tidur saja. Pasti kamu ngantuk. Bapak juga mau istirahat. Besok kita
main lagi. Setuju ndak?” tanya bapak.
“Iya Pak, mau.”
“Ya sudah. Kalau begitu, Pri
sekarang tidur lagi. Sini, cium Bapak dulu,” bapak menyodorkan pipinya yang
segera dicium oleh Pri. Bapak kemudian membalas mengecup kening Pri dengan
penuh rasa sayang. Terakhir, bapak mendekap tubuh Pri. Tidak lama. Namun cukup
memberikan kehangatan di tubuh Pri. Keduanya lantas tersenyum.
Priyadi merebahkan tubuhnya di
kasur tipis yang ada di sudut kamar. Dilihatnya bapak yang berdiri di ambang
pintu kamar. Bapak melambaikan tangan lalu menutup pintu. Sebelum terlelap,
Priyadi melihat jam dinding. Jarum pendeknya persis di angka tiga. Priyadi
menguap. Matanya berangsur-angsur menjadi berat.
***
Priyadi duduk di meja makan. Sendirian. Ibunya masih sibuk di
dapur. Sesekali Priyadi menguap panjang. Pelan-pelan dia rebahkan kepalanya ke
meja. Matanya terpejam. Priyadi hampir saja tertidur lagi jika tidak dikagetkan
oleh suara ibunya yang muncul dari dapur dengan tiba-tiba.
“Bagusan mandi
sana. Biar seger. Selesai mandi, nasi gorengnya pasti sudah mateng. Kita
sarapan sama-sama.”
Priyadi tidak membantah. Segera
dia beranjak ke kamar mandi. Sepertinya hanya mandilah yang akan membuatnya
segar pagi ini.
Tak berapa lama, Priyadi sudah
duduk kembali di tempatnya semula. Rambutnya masih basah sebab terlalu sebentar
dia usap dengan handuk. Benar kata ibunya tadi. Nasi goreng sudah terhidang di
meja. Aromanya sungguh nikmat. Pri sungguh merasa lapar pagi ini.
Ibu muncul dari dapur seraya
membawa dua buah gelas ukuran tanggung. Lantas dengan cekatan perempuan itu
menyendokkan nasi goreng ke piring yang ada di hadapan Priyadi.
“Segini cukup apa ndak?” tanya ibu ke Priyadi yang
sepertinya sangat lapar.
“Sedikit lagi, Bu,” katanya
kemudian, “Nah, iya. Segitu.”
Priyadi tak banyak berkata lagi.
Segera nasi goreng yang sudah disajikan oleh ibunya barusan dia santap. Nikmat
sekali rasanya.
“Bu, bapak sudah berangkat kerja
ya?”
Ibu tersenyum, “Iya. Sudah dari
tadi. Kamu sih, terlambat bangunnya.”
Priyadi mengangguk-angguk, “Tadi
bapak sarapan nasi goreng juga ya, Bu?”
Ibu menggeleng, “Ndak. Tadi pagi bapak sarapan nasi putih
dengan telur dadar. Bapak paling suka dengan telur dadar. Kalau lauk telur
dadar, bapak lahap makannya.” Sahut ibu dengan suara yang agak lirih.
“Bapak sibuk sekali ya, Bu.
Pulangnya selalu larut. Pri kok ya ndak
pernah lagi ketemu sama bapak kalau siang. Pri kepingin diajak jalan-jalan sama
bapak.”
Ibu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mulutnya masih sibuk mengunyah nasi goreng.
“Iya. Nanti kalau hari libur, Pri
boleh minta diajak jalan-jalan sama bapak. Tapi nanti loh ya. Bapak masih
sibuk. Mungkin agak lama.”
“Berapa lama?” kejar Priyadi.
“Yaaaaaaa, Ibu sendiri ndak tahu berapa lama. Yang jelas saat
ini bapak masih sibuk sekali.”
Priyadi mengunyah lagi nasi
goreng dengan lahap. “Bu, minggu depan Pri jadi sekolah TK?” tanya Priyadi
dengan mulut sedikit penuh.
Ibu mengangguk.
“Nanti siapa yang antar?”
“Ya Ibu. Memangnya siapa?”
“Kok bukan bapak?”
Ibu menarik napas sejenak, “Bapak
kan kerja. Pri lupa ya?”
Priyadi tak hendak menjawab atau
bertanya lagi. Dilahapnya sisa nasi goreng yang ada di piringnya. Pikiran
kanak-kanaknya saat ini tengah membayangkan betapa menyenangkannya jalan-jalan
sore dengan bapak dan ibu. Bermain di taman kecil yang ada di sudut kota. Atau
melihat angsa-angsa berenang di telaga yang tak begitu jauh dari rumah. Ah,
apapun itu, asal bisa jalan-jalan dengan bapak.
***
Malam. Pundak Priyadi terasa diguncang lagi. Priyadi membuka mata.
Bapak tersenyum di sebelahnya.
“Bapaaaaaaak…”
Priyadi segera menghambur ke pelukan bapaknya.
“Halo jagoan kecil. Lelap sekali
tidurmu, Le.” Ujar bapak seraya
menciumi pipi dan kening Priyadi. “Eh, iya. Katanya Pri minta mainan
mobil-mobilan yang bisa dinaiki. Jadi ndak?”
Pri menggeleng, “Ndak jadi, Pak. Pri mau main sapi-sapian
saja sama Bapak. Bapak ndak capek,
kan?”
“Lhoooooooo… ya jelas ndak capek kalau kamu yang minta, Le. Sip. Ayo kita main sapi-sapian
lagi,” selesai berkata seperti itu, bapak segera memosisikan diri seperti orang
merangkak. Pri sendiri segera meloncat menunggangi bapaknya. Keduanya lalu
terlibat dalam suasana yang penuh tawa. Bapak membawa Pri berputar-putar
mengelilingi kamar. Sesekali bapak mengemoh panjang menirukan suara sapi yang sedang
melenguh. Pri senang bukan kepalang.
“Pak, sudah Pak. Bapak pasti
capek. Turun, Pak.”
Bapak membawa Pri ke tepi kasur
tipis. Lalu keduanya rebah bersamaan. Bapak menggelitiki perut Pri yang segera
meronta-ronta seraya minta ampun. Pri terengah-engah. Napasnya memburu. Tawa
Pri sesekali masih terdengar.
Bapak membopong Pri, membawa ke
pangkuannya. Didekapnya tubuh Pri yang basah oleh peluh.
“Pak,”
“Hmmm…”
“Bapak sayang sama Pri?”
“Welahdalaaaah… siapa yang bilang kalau Bapak ndak sayang sama Pri? Bapak sayang sekali sama Pri. Bapak mencintai
Pri dan ibu lebih dari apa saja.”
Pri tertegun, “Kok Pri ndak pernah diajak jalan-jalan kalau
siang? Bapak kerja terus. Pri kan kepingin jalan-jalan sama Bapak, sama ibu
juga.”
Bapak terdiam. Tak dapat
berkata-kata lagi. Perlahan dikecupnya rambut Pri yang anteng di pangkuannya. Pri tak tahu kalau diam-diam air mata
bapaknya meleleh.
Pri,
maafkan Bapak. Sebenarnya Bapak tidak kemana-mana, Nak. Bapak ada di sini.
Menjagamu. Buat bapak, cinta adalah kamu dan ibumu. Bapak bahagia bisa
menjagamu meski tidak selalu dari dekat. Nanti, jika sampai pada waktunya, kamu
akan paham kenapa Bapak tidak pernah mengajakmu jalan-jalan saat siang. Nanti,
Nak. Kamu akan paham.
“Eh, kamu ndak ngantuk, Pri? Tidur lagi ya, Le. Bapak juga mau istriahat. Besok malam kita main lagi. Mau?”
“Main sapi-sapian lagi, Pak?”
“Iya.”
“Wah, mau Pak, mau. Ya sudah, Pri
tidur lagi ya, Pak.”
“Iya. Tapi sebelumnya…” bapak
menyodorkan pipi ke Pri, “cium Bapak dulu dong,” kata bapak lagi seraya
tersenyum.
Pri mengecup pipi bapaknya dengan
mesra.
“Sekarang gantian, sini Bapak
cium Pri,” bapak mencium pipi dan kening Pri dengan lembut. Tak lupa, dibawanya
tubuh Pri ke dalam pelukannya. Dipeluknya Pri dengan erat. Kali ini agak lama.
“Nah, sekarang Pri tidur ya. Bapak
juga mau tidur.”
“Iya, Pak.”
Seperti yang sudah-sudah, bapak
berdiri di ambang pintu. Melambai ke arah Pri lantas menutup daun pintu dengan
perlahan.
***
Priyadi terbangun oleh suara gaduh di luar kamarnya. Priyadi
beranjak dari pembaringan. Begitu dia membuka kamar, orang-orang yang sebagian
besar dia kenal lalu-lalang di dalam rumah. orang-orang itu adalah para
tetangga yang kerap dia jumpai. Priyadi heran. Bergegas dia cari ibunya ke
dapur. Ibu sedang mencuci kelapa yang akan diparut ketika Priyadi sampai ke
dapur.
“Ibu, ini ada
apa? Kok ramai orang di rumah kita? Mau ada acara makan-makan lagi?”
Ibu mendadak jadi
murung. Diusapkannya telapak tangan ke kain baju bagian belakang lalu
dipeluknya Priyadi yang masih bengong tak paham.
“Kok Ibu malah
nangis? Mau makan-makan kok malah nangis. Harusnya kita senang-senang dong,
Bu.”
Ibu mengangguk. Sesekali isaknya
terdengar. Perempuan itu bingung harus dengan cara yang bagaimana menjelaskan
keadaan ini. Dia hanya tidak ingin menghancurkan perasaan Pri terlalu awal. Dia
sadar, cepat atau lambat, Pri akan paham. Tapi itu tidak sekarang pastinya.
Ibu mengusap kepala Pri perlahan.
Tangisnya kian pecah manakala tatapan matanya tertuju ke kalender yang
tergantung di dinding, persis di sebelah pintu kamar. Sebuah tanggal dia
lingkari dengan spidol warna merah. Tanggal hari ini. Ada sedikit catatan di
sebelah tanggal yang dilingkari itu: 40 HARI PERGINYA BAPAK.
Pri senyap dalam dekapan ibunya.
Tak paham sama sekali apa sebenarnya yang terjadi. Di dalam hati, Pri berniat
akan menanyakannya nanti malam ke bapak kalau bapak sudah pulang dari kerja dan
menjenguknya lagi.
Siantan
Desember 2014
Kakanda Redi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar