Cinta
Berlian
Berlian tersentak kaget. Dering alarm dari
jam duduk yang ada di meja belajarnya berbunyi sangat kencang. Alaram sialan
itu benar-benar memaksanya untuk bangun. Padahal, matanya sungguh masih ingin
terpejam lagi. Tidur lagi. Melanjutkan mimpi yang barusan sempat tertunda
gara-gara dering alarm sialan itu.
Berlian menekan tombol on/off yang ada persis di bagian atas jam. Alarm senyap. Suasana
kamar kembali seperti tadi, seperti saat alarm sialan itu belum berbunyi.
Berlian sungguh ingin melanjutkan mimpi. Lima atau sepuluh menit lagi
menyambung tidur tentu tak apa. Tak akan terlambat sekolah, pikirnya.
Tapi, belum sempat matanya terpejam, kamarnya
sudahpun digedor dengan begitu kencangnya. Sekali lagi, Berlian tersentak
kaget.
“Berli… Bangun! Udah jam berapa ini? Kamu mau
sekolah apa nggak?”
Berlian mengusap kelopak matanya yang masih
belum juga mau terbuka, “Iya Maaaa, bentar lagi,” sahut Berlian dengan malas.
“BERLIAAAAN…”
Berlian melompat dari tempat tidurnya. Kalau
mamanya sudah teriak seperti barusan, itu artinya sudah bahaya. Gawat yang tak
dapat ditawar-tawar lagi. Dan itu artinya lagi, Berlian memang harus bangun.
Oh…
***
Seorang pelajar Sekolah Menengah Atas ini
bernama Berlian. Panjangnya, Berliana Febriyanti. Nama yang indah bukan? Ia
selalu hampir bangun kesiangan jika malamnya dibawa untuk lembur. Bukan lembur
karena tugas, bukan juga karena belajar, tapi karena nonton siaran langsung
sepak bola Liga Spanyol kegemarannya. Lebih gemar lagi jika yang bertanding
adalah klub sepak bola kesayangannya. Cewek ini kenal dengan bola sejak duduk
di kelas satu SMP dan mulai jatuh cinta dengan klub sepak bola yang namanya
Real Madrid, salah satu klub terkenal di dunia. Bukan karena Real Madrid
terkenal lantas Berlian suka dengan Real Madrid, tapi… entahlah, Berlian juga
tak mampu menjelaskannya. Inilah yang dia sebut dengan sebuah idealisme, inilah
yang dia sebut dengan sebuah loyalitas. Tak peduli Madrid menang atau kalah,
Berlian tetap cinta sama Madrid. Hala
Madrid.
Setiap nonton siaran langsung, keseringan pagi
harinya Berlian pasti malas bangun. Ujung-ujungnya, dia sering tergesa-gesa
dalam segala hal. Seperti pagi ini misalnya, ia berangkat sekolah dengan
tergesa-gesa dan dengan kelopak mata yang sedikit sipit dan bola mata yang agak
merah.
“Tadi malam siapa yang menang, Ber?” tanya Siska,
teman duduknya di kelas.
“Jelas dooooong klub favoritku yang menang. Real
Madrid. Valencia dibikin pulang dengan menangis sebab kebobolan 4 gol tanpa
balas. Hahahahahahahaaa…” jawab Berli dengan sangat bangga.
Siska cuma mengangguk-anggukan kepala sebab
dia memang kurang suka dengan yang namanya sepak bola. Menurut Siska, sepak
bola itu dunianya laki-laki. Jadi, aneh aja kalo ada cewek model Berlian yang
secara fisik terlihat kalem dan anggun bisa kemaruk dengan sepak bola.
“Terus, gimana dengan Ricky? Lancar
pendekatannya?”
Berlian menautkan dahi, “Kok tiba-tiba kamu
membahas penjahat itu sih?” Berlian menyebut Ricky penjahat sebab cowok itu
adalah fans Barcelona, yang notabene adalah musuh bebuyutan Real Madrid.
“Yaaaa, gak apa-apa sih, kan aku cuma nanya.
Sepertinya gak ada hal yang aneh kan, Ber?”
Berlian mengangguk, “Kalau Ricky mau jadi
seorang Madridista, pindah membela Madrid, aku pasti mau sama dia. Secara
fisik, Ricky oke kok, gak jelek-jelek amat,” jawab Berli sedikit berdiplomasi.
Memang, gelagat Ricky yang penuh usaha
mendekati Berlian sudah tercium oleh hampir semua warga sekolah. Semua siswa
dari kelas satu sampai kelas tiga tau kalau Ricky sedang pedekate sama Berlian.
Yang bikin cerita ini menarik sebenarnya cuma satu hal saja: Ricky seorang Los
Cules sejati, sedangkan Berlian seorang Madridista sejati. Seluruh warga
sekolah tengah menanti, siapa yang bakal mengalah diantara keduanya jika nanti
mereka pacaran. Atau mungkin tidak sama sekali.
“Berli, aku tau anjing sama kucing tak pernah
akur. Sama halnya dengan kita. Kamu Madrid, aku Barca. Kedua klub itu memang
gak pernah akur. Tapi Berli, aku gak bisa bohong kalo selama ini aku tuh suka
sama kamu. Aku mau ngelakuin apa aja asal kamu mau terima cinta aku,” ucap Ricky
di sebuah kesempatan yang hening di lorong kelas, saat jam pelajaran sudahpun
berakhir.
Berlian yang terang-terangan ditembak seperti
itu, egonya mulai goyah. Dia tak mungkin menolak cinta Ricky cuma gara-gara
Ricky seorang fans Barca sejati. Berlian sudah menimbang masak-masak. Dia mau
menerima Ricky asal cowok ini mau melakukan satu hal saja.
“Jadi gimana, Berli? Aku menunggu jawaban
darimu,” Ricky berucap setangah mendesak.
“Kamu mau melakukan apapun yang aku minta?”
Ricky mengangguk.
“Termasuk ninggalin Barca dan pindah ke
Madrid?”
Ricky mengangguk lagi, kali ini lebih
kencang, “Luis Figo saja bisa melakukannya, pindah dari Camp Nou ke Santiago
Bernabeu, meskipun dia harus dilempar dengan kepala babi saat bertanding di
Camp Nou lagi, nah, aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku akan pindah dari
Barca ke Madrid asalkan itu memang kamu yang minta.
Berlian tersenyum. Hatinya berbunga-bunga.
Sepertinya dia memang tidak salah pilih, pikirnya. Berlian menerima Ricky jadi
pacarnya.
***
Tahun demi tahun lewat begitu saja. Hubungan
Berlian dan Ricky baik-baik saja meskipun mereka kuliah di universitas yang
berbeda meski masih satu kota. Ricky tak
pernah mengecewakan Berlian dan Berlian juga pandai menjaga kepercayaan yang
diberikan oleh Ricky. Kini tak ada lagi rivalitas. Baik Berlian maupun Ricky
sudah menjadi fans Madrid sejati. Mereka sering terlihat jalan bareng seraya
mengenakan jersey Madrid.
Sampai pada tahun ke lima mereka pacaran,
Ricky sudah mantap dengan keputusannya, bahwa Ricky akan segera menyunting
Berlian menjadi istrinya. Apa lagi yang harus ditunggu? Kuliah sudah selesai.
Kerja sudah mapan. Tak ada lagi beban yang muncul. Ricky tersenyum sendiri jika
mengenang mimpinya yang sangat indah ini.
***
“SISKAAAAA…”
“BERLIAAAAAAN…”
Kedua sahabat ini saling berangkulan saat
bertemu di sebuah pusat perbelanjaan di kota mereka.
“Aduh Berliaaaan, aku kangen banget sama
kamu. Gimana? Kuliah udah kelar?”
Berlian tersenyum, “Aku juga kangen sama
kamu, Sis. Oke lah, kuliahku udah beres. Aku udah kerja, aku ngajar di Lembaga
Bimbingan Belajar paling keren di kota kita ini.”
“Ganesha Operation?”
Berlian mengangguk mantap, “Kamu kerja
dimana?”
“Di Bank. Aku pernah ketemu mamamu kok.
Mamamu kan nasabah di bank tempat aku kerja.” Jelas Siska seraya tersenyum.
“Ngomong-ngomong, gimana Ricky? Masih sama dia, kan?” tanya Siska lagi.
Berlian
tersenyum, “Sis, suatu saat nanti kamu harus menjadi tamu istimewaku,” kata
Berlian, masih dengan senyumnya.
“Maksudnya??? Ngggg…. kamu udah mau nikah,
Ber? Dengan siapa? Dengan Ricky?” tanya Siska dengan begitu menggebu.
“Iya Sis, dia mau meminang aku tahun depan.
Hubungan kita udah sangat jauh, jadi kita berniat untuk melanjutkan hubungan
ini ke jenjang yang lebih serius,” jawab Berli.
“Wah, bagus dong, Ber. Aku senang denger berita
ini. Selamat loh ya sebelumnya,” kata Siska mendukung Berli.
Sudah panjang lebar kedua sahabat ini
berbincang, mereka baru sadar kalo mereka masih berdiri di depan pintu butik
ternama.
“Cari tempat minum yok,” ajak Siska.
Tangannya segera menggandeng tangan Berlian. “Kamu ke sini sama siapa?”
“Sendiri. Ricky lagi sibuk, ada meeting
dengan klien katanya.”
Siska mengangguk tanda paham.
Tengah mata siska sibuk mencari gerai minum
yang agak sepi, tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sepertinya pernah dia kenal
dulu. Siska berhenti. Sejenak dia memicingkan mata. Seperti masih kurang yakin,
Siska mengucek-kucek matanya beberapa kali.
“Eh, Berlian, coba lihat sana. Itu, yang pake
baju Barca. Kok kayak Ricky ya? Eh, iya bukan sih?” Siska menunjuk seseorang yang
dia lihat seperti Ricky.
Berli terdiam. Tatapan matanya ikut beralih
ke arah yang ditunjuk Siska. Benar saja. Benar seperti apa yang Siska duga.
Cowok itu memang Ricky. Tapi kok dia pake baju Barca lagi sih? Ini adalah hal
yang kedua yang membuatnya jengkel setengah mati. Yang pertama adalah, Ricky
udah bohong soal meeting dengan klien itu. Siska benci dibohongi. Siska benci
dikhianati seperti ini.
“Biar aku samperin dulu. Kamu tunggu di sini
aja. Kalo aku panggil, baru kamu nyamperin aku. Oke?”
Siska mengangguk.
Berlian berjalan setengah mengendap-endap.
Yang Berlian inginkan adalah jangan sampai Ricky tau kalau Berlian tengah
menuju ke arahnya.
Setelah berada di posisi yang lumayan dekat,
Berlian pura-pura sibuk memilih sticker BlackBerry yang stan-nya tak jauh dari
tempat Ricky dan temen-temennya nongkrong. Dengan begitu, Berlian dapat
menangkap semua pembicaraan yang terjadi di antara mereka.
Jantung Berlian berdetak sangat kencang. Dia
hanya bisa tertegun saat mendengar dengan jelas apa yang udah diucapkan oleh
kekasihnya itu.
“Pindah ke Madrid? Hahahahahahaaaa. Yang
benar saja? Selama ini aku hanya berpura-pura, Coy. Aku tetep Los Cules sejati
kok. Goblok aja si Berlian itu, mau aja dia aku kibulin. Yang aku cintai kan
dia, bukan Madrid. Iya gak, Coy?”
Mendidih darah Berlian mendengar hal itu.
Dengan tergesa-gesa, dihampirinya meja tempat dimana Ricky dan temen-temennya
tengah tertawa terbahak-bahak. Tanpa basa-basi lagi, Berlian menyambar gelas
yang ada di hadapan Ricky dan menyiramkan isinya ke muka Ricky.
Ricky yang baru sadar bahwa Berlian lah yang
melakukannya, seketika salah tingkah.
“Bajingan kamu. Jangan pernah kamu menemui
aku lagi!” kelar ngomong gitu, Berlian langsung berlari.
“BERLIAN… Tungguuuu… Aku bisa jelasin ini
semua. Ini gak seperti yang kamu kira. Tunggu Berlian…” Ricky beranjak dari
duduknya. Secepat kilat dikejarnya Berlian yang berlari seraya menangis.
Berlian sudah sampai di ambang pintu pusat
perbelanjaan. Berlian ingin menyeberang jalan, ingin menghampiri taksi yang
sedang parkir di seberang sana. Tapi naas, sebuah sedan yang melaju dengan
kencangnya tak sempat lagi mengurangi laju dan menghantam tubuh Berlian yang
menyeberang sambil menundukkan kepala. Tubuh Berlian terpental sejauh tujuh
meter. Teriakan dari orang-orang yang tak jauh dari tempat kejadian langsung
terdengar. Beberapa langsung menghambur ke tempat Berlian tergeletak.
Ricky yang baru sampai langsung menyeruak di
antara kerumunan orang yang ingin tahu kondisi korban. Ricky tak kuasa menahan
tangis. Dipangkunya kepala Berlian yang berlumuran darah.
“Berlian maafkan aku. Aku gak bermaksud
menghianati kamu. Aku menyesal. Maafkan aku Berlian…”
Berlian membuka mata. Dia terbatuk dua kali,
“Kaaa… kaaaa… kammmuuu udah bikkkiiinn akk… akkku sakkkit… Kammmuuu jahhattt…”
Ricky terisak, tersedu-sedu. Siska
meraung-raung di sebelahnya. Ricky memindahkan kepala Berlian ke pangkuan
Siska.
“Berlian, lihat ini… lihat ini…” Ricky
membuka kaur Barca yang dia kenakan. Diinjak-injaknya jersey itu sampai nyaris
lumat dengan debu dan tanah, “Barca sialan… Barca bajingan… Dengar Berlian,
dengarrrr… aku masih Madridista, Berlian. Aku masih Madridista, sama seperti
kamu. Itu tadi hanya topeng di depan temen-temen lamaku. Demi Tuhan Berlian…”
Di pangkuan Siska yang terisak, Berlian
tersenyum. Darah mengucur dari hidungnya.
Ricky masih terisak. Masih menangis.
“Tolooong… tolongggg… bawa kekasih saya ke rumah sakit. Toloooonggg…”
Berlian meraih tangan Ricky, “Tak usssaaahhh…
akkk… akkku hannyaaa mau kkkammmu berjannnjjjiiii… jangan perrrnah menghh…
mengghhhianati RRREAL MMMADDDRID. Jjjannnji yyaaaa…”
Ricky mengangguk dengan cepat, “Iya… iyaaaaa,
aku janji. Aku janji Berlian, aku janji. Berlian, kamu harus bertahan… ayo ke
rumah sakit. Kalo kamu sembuh, nanti kita jalan-jalan pakai kaus Madrid lagi.
Dan… dan… BERLIAAAAAAAANNNNNNN…”
Di pangkuan Siska, Berlian menutup mata
seraya tersenyum. Tangannya masih menggenggam tangan Ricky. Berlian tidur untuk
selamanya.
Kandasan -
Mempawah
Maret 2013
Mas Danu
& Kakanda Redi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar