Surat Pendek untuk Bapak
Assalamualaikum.
Pak, apa kabar? Semoga bapak baik-baik saja di sana, di surga.
Kami di rumah juga tak kurang suatu apa. Yang pasti, kami selalu rindu pada
Bapak.
Oiya Pak, sudah lumayan lama kita tak berbicara berhadap-hadapan,
berkumpul bersama, bercanda, menyeduh dan menyeruput kopi berdua, menghabiskan
sisa senja sembari mengerjakan sepetak ladang yang kita punya. Atau kita akan
berburu tupai yang kerap merusak buah kelapa di belakang rumah kita. Memancing
di sungai kecil yang tak jauh dari rumah letaknya. Mencari kayu bakar di tepi
hutan untuk persediaan tungku selama musim penghujan. Ah, terlalu banyak
peristiwa yang kita lewatkan, terpaksa kita lewatkan. Aku sungguh rindu dengan
itu semua, Pak.
Semua rindu ini kutulis di sini agar mereka semua tahu bagaimana
rasanya rindu kepadamu. Rindu akan didikanmu padaku. Tentang bagaimana semua
yang kau ajarkan kepadaku dari cara mengikat tali sepatu, memandikan sapi-sapi
kita, membuat jerat burung, membaca ayat suci Al Qur’an, dan tentang bagaimana
diriku ini yang sering kali salah dan membuatmu lelah menahan marah. Aku selalu
ingat semua itu, Pak. Setiap kali terkenang, air mataku begitu deras jatuh
berlinang. Ampini aku, Pak. Maafkan segala salah dan dosaku padamu.
Pak, aku juga masih ingat. Saat pertama kali kau mengajarkan aku
mengayuh sepeda, aku yang selalu goyah kemudian kau lepas dan aku jatuh
terluka. Tak peduli seperti apa aku menjerit menangis dan bermanja, Bapak
selalu memaksaku untuk bangun lagi, naik sepeda lagi, mengayuh lagi, dan pada
akhirnya aku harus jatuh dan terluka lagi. Sampai aku bisa mengendarainya
sendiri, baru kau tersenyum, Pak. Perhatianmu membuatku mengerti arti tertatih
menuju bahagia dan menjaga diri kelak ketika aku dewasa. Aku akan selalu ingat,
Pak.
Tentang didikan budi pekerti yang kau ajarkan, aku juga tak akan
pernah lupa, Pak. Bagaimana kau mengajarkanku cara mencium tanganmu juga tangan
Ibu. Bagaimana cara mengucap salam sebelum mengetuk pintu. Bagaimana cara
selalu tersenyum walaupun amarah sedang menjamu. Bagaimana ketika kau sedang
marah lantas kau malah memelukku, aku pun memelukmu.
Kebaikanmu. Candamu. Amarahmu. Semua demi aku yang hingga hari ini
sungguh belum bisa memberi apa-apa.
Hangatmu. Kesabaranmu. Suaramu. Semua untukku yang hingga kini
masih selalu ingin bermanja.
Ketika sedih menghampiriku dulu, kau pun perih menahan sembilu.
Tapi selalu kau ajarkan kesabaran dan senyum kepadaku, untuk kebaikanku. Kita pernah berjalan di
bawah hujan saat pulang dari surau kecil, dulu. Kau memeluk pundakku dengan
erat agar aku, anakmu yang nakal ini tak kedinginan. Apapun kau lakukan demi semua
senyum dan tawaku.
Namun, kini tak ada lagi yang bisa ku lakukan selain mendoakanmu
dan lantunan Qur’an dari hati yang pernah kau ajarkan.
Kau lah orang yang ketiga setelah Ibu dalam suara Nabi Mulia. Tanpa
tanganmu para Mujahid dan Syuhada takkan ada. Dari sosok seorang lelaki kuat
para bapak lah mereka tercipta. Bagiku juga dari sosokmu lah aku bisa melihat
indahnya dunia dan dengan wajahmu, aku melihat surga.
Pak, aku sedih melihat Ibu lelah dan lemah. Hatiku gerimis menatap
pandangan kosong ketika Ibu menata gambarmu di atas meja. Jiwaku pecah ketika
melihat Ibu selalu mendoakanmu dan meneteskan air mata di atas sajadah.
Sampaikan juga pintaku ini pada Allah kita, Pak.
Allah Azza wa Jalla, biar aku saja yang menanggung segala sedih
yang dirasa oleh Ibu. Jadikan aku pelindung ia yang tercinta. Angkat segala
pedih perih yang ada di wajahnya, ganti semua lelah dengan senyum ceria di
wajahnya.
Teruntuk Bapak. Nantikan kami di sana, tempat dimana yang telah
Allah janjikan untuk hambanya yang shaleh dan shaleha. Akan kusiapkan semua
bekalku untuk menemuimu di jannah nanti.
Sudah dulu ya, Pak. Lain waktu, akan kukirim lagi surat untukmu.
Ibu berkirim salam untuk Bapak.
Wassalamualaikum.
Anakmu.
Kandasan
Januari 2015
Mas Danu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar