Sebentuk
Hati dan Sebuah Mimpi
Malam hampir selesai. Gelap perlahan-lahan mulai lenyap. Di
kejauhan terdengar suara kokok ayam jantan yang menandakan bahwa pagi akan
segera datang.
Pak Sabar membuka mata. Hari
dengan harapan baru sudah di mulai. Semua orang siap larut dalam sebuah rutinitas
kerja. Termasuk Pak Sabar.
Lelaki paruh baya ini hanya
seorang pemulung. Tinggal di sebuah gubuk kecil persis di sebelah tumpukan
barang-barang bekas hasil memulung beberapa hari. Barang-barang loak itu
dikumpulkan terlebih dahulu, baru kemudian di jual jika sudah terkumpul banyak.
Uangnya cukup untuk makan barang satu atau dua hari saja. Jika tidak bekerja,
Pak Sabar dan anaknya yang masih berumur enam tahun tentu tidak akan bisa
makan. Sedang istri Pak Sabar sudah tak ada lagi. Istrinya meninggal sesaat
setelah melahirkan Maman, anak semata wayang mereka.
Kian hari Pak Sabar kian merasa
letih. Badannya mulai sakit-sakitan. Namun, untuk berhenti memulung rasanya
tidak mungkin juga. Kasihan Maman, pikir Pak Sabar. Maman masih kecil, masih
belum paham akan kerasnya hidup.
Mengenang nasib Maman, Pak Sabar
hanya bisa menguat-nguatkan raga. Sakit tak lagi dirasa. Tak ada lagi istilah
mengeluh. Yang ada hanya kerja, kerja, dan kerja.
Pak Sabar bersiap-siap untuk hari
ini. Tak lupa dia menyiapkan alat-alat kerja. Karung kosong dan tongkat
pengait, itulah peralatan kerja Pak Sabar. Maman sendiri masih sibuk dengan
obil-mobilan usang yang dia temukan di tempat pembuangan sampah. Mobil itu
sudah jelek benar. Ban yang tersisa hanya satu, bagian depan sebelah kanan.
Meski jelek, Maman senang benar dengan mainannya itu. Pak Sabar hanya bisa
mengurut dada tanda trenyuh dan sedih lantaran tak mampu memberikan Maman
mainan yang layak.
“Hari ini kita kerja dimana lagi,
Pak?” Tanya Maman kepada bapaknya.
“Kamu di rumah saja. Hari ini
kamu tidak usah ikut. Bapak mau mulung di tempat sampah yang jauh, di kampung
yang paling ujung sana. Kalau kamu ikut, nanti kamu capek,” jawab sang bapak
yang melihat wajah anaknya seperti tak tega.
“Aku nggak mau di rumah
sendirian, aku mau ikut Bapak kerja,” jawab Maman terus memaksa.
“Kan ada mainan, jadi kamu ada
teman. Main saja sama mobil itu. Nanti Bapak carikan mainan lagi. Gimana?”
jawab bapak sambil tersenyum.
“Ogah. Aku ikut. Nanti mainan ini
aku bawa saja,” jawab Maman lagi sambil memegang mainan mobil bututnya.
Pak Sabar mengalah. Maman memang
keras kepala. Jika dia bilang ingin ikut, Pak Sabar tak pernah bisa menolaknya.
Untungnya Maman adalah anak yang tidak pernah merepotkan. Selagi Pak Sabar
bekerja, biasanya Maman akan mencari tempat yang teduh, menunggu sambil bermain
apa saja yang bisa dia mainkan.
Siang mulai
menyengat. Ramai orang yang lalu lalang, sibuk dengan kesibukan mereka
masing-masing. Ada yang sibuk teriak-teriak jualan koran. Ada yang sibuk
mengangkut barang yang baru turun dari truk. Ada juga yang sibuk mondar-mandir
tak jelas.
Pak Sabar sedang beristirahat.
Botol bekas air mineral yang dia bawa dari rumah tadi tinggal menyisakan
sedikit air lagi. Diberikannya air itu ke Maman walau sebenarnya dia juga haus
bukan kepalang.
“Pak, aku kepingin makan di situ,” ucap Maman sambil
menunjuk ke sebuah restoran. Segala sesuatu yang tersaji di balik kaca restoran
itu sungguh mengundang selera. Pak Sabar menelan air liurnya demi melihat
beberapa ekor ayam yang sudah dipanggang lengkap dengan bumbunya yang kuning
kecoklatan. Benar-benar mimpi bisa makan di situ.
“Sabar ya Man, Bapak kerja dulu. Nanti
kalau Bapak sudah punya uang, kita makan di situ. Kamu yang sabar ya,” kata
sang bapak penuh senyum.
Maman mengangguk senang.
Pak Sabar
mengusap kepala Maman dengan hati yang sangat perih. Di dalam hati, tak
henti-hentinya Pak Sabar berdoa kepada Tuhan Maha Pemberi Hidup agar dia dan
Maman segera diangkat dari kehidupan yang serba susah ini.
Pak Sabar tak
ingin larut dalam kesedihan. Dia harus bekerja lagi. Pada saat dia akan bangkit
dari duduknya, tanpa sengaja mata Pak Sabar tertuju pada sebuah tas yang
sebenarnya tak layak ada di onggokan sampah. Pak Sabar menghampiri tas
tersebut. Tak banyak yang dia pikirkan. Barangkali jika tas itu masih bagus,
tentu akan bisa dia berikan pada Maman. Hanya itu saja yang terlintas.
Namun, begitu tas tersebut sudah
di depan mata, Pak Sabar mendapati tas tersebut penuh dengan sesuatu yang
menggumpal. Rasa penasaran Pak Sabar tak bisa ditahan lagi. Segera saja Pak
Sabar membuka tas yang sudah dia pegang tersebut.
Saat menyadari isi dari tas itu,
mata Pak Sabar terbelalak bukan kepalang. Yang dia pegang saat ini adalah
gepokan uang pecahan seratus ribu rupiah yang sangat banyak. Tangan Pak Sabar
seketika bergegar. Degup jantungnya kian berpacu. Pak Sabar segera menutup tas
itu lagi. Dengan langkah yang dibuat sebiasa mungkin, Pak Sabar kembali ke
tempat dimana tadi dia duduk. Masih ada Maman di situ.
Hati Pak Sabar kian berkecamuk.
Uang sebanyak itu, jangankan untuk makan di restoran, untuk mengontrak rumah
yang layak dan membeli kendaraan roda dua saja tentu masih sisa banyak. Maka
dengan begitu, hidup Pak Sabar dan Maman tidak akan susah lagi. Maman akan
sekolah dan Pak Sabar tidak akan memulung sampah lagi. Ah, sungguh senangnya
hidup enak, pikir Pak Sabar dengan penuh rasa bimbang.
Tapi, sisi baik hati Pak Sabar
juga turut berbicara. Tentu sangat kasihan orang yang kehilangan uang ini. Uang
sebanyak ini tentu tak mudah mengumpulkannya. Hanya dengan sekejap mata saja,
uang sebanyak ini hilang entah dimana. Tentu yang punya akan seih sekali jika
dia gagal menemukan tas beserta uangnya ini.
Pak Sabar hanya duduk melamun.
Tas itu masih ada di pangkuannya. Saat ini sedang terjadi perang yang hebat di
dalam diri Pak Sabar. Antara sebentuk hati yang jujur dan sebuah mimpi akan
hidup yang enak sedang bertarung menentukan siapa yang akan menang pada
akhirnya nanti.
Pak Sabar menggelengkan kepalanya
dua kali. Pikirannya mengatakan bahwa dia harus mengembalikan uang itu. Harus.
Pak Sabar segera mengajak Maman
pergi ke kantor polisi. Sesampainya di sana, Pak Sabar menjelaskan bahwa dia
telah menemukan tas yang berisi uang yang sangat banyak. Pak Sabar bermaksud
mengembalikannya.
Pihak kepolisian menjelaskan,
nantinya akan disebarkan berita tentang penemuan tas dan uang ini. Jika dalam
tempo enam bulan tak juga ada yang mengakui uang tersebut, maka uang sebanyak
tujuh puluh juta rupiah itu bisa menjadi milik Pak Sabar sebagai pihak yang
menemukannya pertama kali.
Pak Sabar hanya mengangguk saat
mendengarkan penjelasan itu. Dengan hati yang lapang, Pak Sabar mengajak Maman
pulang.
“Kok uangnya di kasih ke pak
polisi sih, Pak? Kok Bapak tidak ngajak Maman makan di restoran? Kan tadi Bapak
sudah punya uang,” tanya Maman saat mereka berjalan menuju gubuk.
“Nak, itu uang orang. Bukan milik
kita. Kasihan yang kehilangan uang itu. Pasti dia sedih sekali. Maman kalau
mobil ini hilang, Maman sedih nggak?”
Maman mengangguk. Mobil-mobilan
butut yang hanya memiliki satu ban itu makin didekapnya.
Pak Sabar mengusap kepala Maman
dengan penuh kasih sayang.
“Nak, lebih baik kita makan
singkong tapi halal ketimbang makan di resoran tadi tapi uangnya tidak jelas
uang siapa. Tidak akan berkah. Maman ngerti?”
Maman mengangguk lagi, “Ngerti,
Pak.”
***
Enam bulan sudah berlalu. Pak
Sabar yang oleh polisi diminta untuk menghadap pada hari yang telah di tentukan
telahpun memenuhi panggilan polisi. Pak Sabar datang bersama Maman. Di kantor
polisi, Pak Sabar dipertemukan dengan seorang ibu muda yang terus-menerus
meneteskan air mata.
“Pak Sabar, ini Ibu Nidia. Beliau
inilah pemilik sah dari uang yang Pak Sabar temukan beberapa bulan yang lalu.
Setelah kami sebarkan berita soal penemuan uang ini, Ibu Nidia datang ke kantor
polisi. Ciri-ciri tas dan jumlah uang yang disebutkan oleh Ibu Nidia sama
persis dengan tas dan uang yang sudah Pak Sabar temukan. Itu artinya, Ibu Nidia
ini memang benar pemilik uang yang Pak Sabar temukan.”
Pak Sabar mengangguk dengan penuh
santun. Ibu Nidia sendiri segera menyalami Pak Sabar dengan penuh rasa haru.
“Entah apa yang terjadi jika uang
ini yang menemukan bukan Bapak. Mungkin saya bisa gila. Uang ini adalah hasil
kerja keras saya bertahun-tahun. Saya simpan di dalam tas yang sedianya akan
segera sata tabungkan ke bank. Namun, entah bagaimana, tas itu tiba-tiba saja
lenyap. Seisi rumah tak ada yang tau. Rupanya, anak saya yang masih kecil telah
memasukkan tas itu ke keranjang sampah. Pembantu kami mengerjakan tugasnya
seperti biasa, membuang sampah jika keranjang sampah sudah penuh. Tentu
hilangnya tas ini bukan kesalahan pembantu saya. Sayalah yang salah. Saya
teledor. Terima kasih banyak, Pak Sabar. Terima kasih banyak.”
Pak Sabar mengangguk lagi. Senyum
mengembang di bibirnya.
“Sebagai ucapan terima kasih, Bu
Nidia memberi hadiah buat Pak Sabar. Ini hadiahnya,” pak polisi mengangsurkan
amplop berwarna cokelat kepada Pak Sabar. Pak Sabar sendiri menerima amplop itu
dengan heran.
“Apa ini, Bu?”
Bu Nidia tersenyum, “Itu buat
Bapak. Hadiah atas kejujuran dan ketulusan hati Bapak. Tak banyak orang yang
tulus di dunia ini. Bapak adalah orang yang istimewa. Terimalah, Pak. Saya
ikhlas.”
Pak Sabar membuka amplop tersebut
yang rupanya berisi uang pecahan seratus ribu rupiah yang sangat banyak.
“Ini… ini buat saya???”
Bu Nidia mengangguk, “Iya, buat
Bapak. Mohon diterima. Jumlahnya lima juta rupiah. Semoga cukup sebagai
imbalan.”
“Nggg… aduh… ini bukan hanya
cukup. Ini… ini banyak sekali. Aduh… tangan saya sampai bergegar. Tapi… tapi…
benar ini buat saya???”
Pak polisi dan Bu Nidia
mengangguk dan tersenyum.
Pak Sabar segera menjatuhkan
diri. Sujud syukur dia lakukan atas hikmah yang terjadi hari ini. Uang lima
juta rupiah, uang yang banyak dan tentu saja halal. Betapa Pak Sabar behagia
bukan kepalang.
Dipeluknya Maman yang terdiam tak
paham.
“Nak, kamu mau makan di restoran
itu kan? Ayo, kita makan. Kali ini kita akan pesan satu ekor ayam panggang
utuh. Tak lagi mimpi. Tak lagi khawatir tidak halal. Ini nyata dan ini halal,
Nak. Ayo, bilang terima kasih ke Ibu Nidia dan pak polisi,”
Maman mengucapkan terima kasih
dengan lugu. Yang ada di pikirannya saat ini adalah, dia dan bapaknya sebentar
lagi akan makan enak. Dan ini sungguh menyenangkan.
Kandasan – Mempawah
Maret 2013
Mas Danu & Kakanda Redi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar