Umbul-umbul
Sebuah sore yang gelap. Hujan mengguyur dusun dengan
derasnya. Pepohonan berderak-derak. Kaki-kaki hujan kokoh menghantam atap.
Udara begitu dingin. Sepi. Di luar, sesekali terdengar suara guntur yang
menggelegar. Halilintar sesekali menyambar. Mencipta terang sekian detik di
langit.
“Mbok, ubinya sudah mateng.”
Perempuan tua yang dipanggil ‘mbok’ barusan berusaha
bangkit dari tidurnya. Selimut kumal masih membalut tubuh. Rambutnya
acak-acakan. Tubuhnya sesekali gemetar, menggigil menahan dingin yang menusuk
sampai ke tulang.
“Mbok mau dibuatkan teh hangat?”
“Memangnya kita masih punya teh?” perempuan tua itu
kemudian tertegun seraya memandangi wajah cucunya yang tirus. “Kalau masih ada,
bikinlah. Sedapatnya. Semoga cukup untuk kita berdua.” Ucapnya kemudian.
Laras, bocah diambang tiga belas tahun, membungkuk persis
di depan meja. Tangan kecilnya tampak sibuk mengaduk-aduk isi laci yang barusan
ditariknya. Matanya lalu membesar. Senyum tersungging di bibirnya.
“Ada?”
Laras mengacungkan bungkus teh tubruk ke perempuan tua di
hadapannya. Senyumnya masih mengembang, “Sisa sedikit. Tapi cukuplah.”
Laras
beranjak dari duduknya. Api di tungku tinggal menyisakan bara. Segera Laras
menjejali mulut tungku dengan beberapa potong kayu bakar kering. Ditiupnya
berkali-kali bara yang tersisa. Tak lama, usahanya membuahkan hasil. Api segera
berkobar memakan ujung kayu bakar yang dijejalkan. Dengan terampil Laras
menjerang air.
“Mbok,
kita ndak punya gula.” Laras duduk kembali di bangkunya yang tadi. Matanya sayu
memandang perempuan tua yang juga duduk di tepi pembaringan. Laras mendapati
bibir mbok-nya tersenyum.
“Ah,
kamu Nduk, kayak baru pertama kali saja minum teh ndak pakai gula.”
Laras
menarik garis bibir. Dia mencoba tersenyum dan memang dia berhasil. Tapi,
justru rasa perih yang saat ini mendera di hatinya. Betapa tidak enaknya minum
teh tanpa gula. Betapa pahitnya hidup yang harus dia jalani selama ini, berdua
dengan mbok-nya.
Membeli
gula? Oh, itu hal yang lebih mustahil lagi. Jika memang punya uang, tentu lebih
bagus dibelikan beras saja ketimbang untuk beli gula.
Sejenak
Laras mematung. Lantas, matanya segera mengitari setiap penjuru rumah yang dia
tinggali berdua dengan mboknya ini. Ah, tidak, ini bukan rumah. Ini lebih
pantas disebut pondok. Tak ada kamar di sini. Semua aktivitas terjadi di
ruangan yang sama. Memasak, makan, tidur, dan berbincang. Iya, semua terjadi di
ruangan yang sama. Tak ada sekat. Tak ada rahasia.
Hujan
di luar tinggal menyisakan gerimis kecil. Laras hendak merebahkan diri. Namun
hal itu urung dia lakukan manakala pintu pondoknya diketuk orang dari luar.
Laras bangkit dengan setumpuk rasa malas.
“Mbok-mu
ada, Nduk?” kata orang yang menggigil di depan pintu. Bibirnya tampak sesekali
bergetar.
“Ada,
Pak Latif. Mari, silakan masuk.” Laras mengekor di belakang tamunya yang
bergegas masuk demi sedikit mengurangi rasa dingin yang menggigit kulit. “Minta
maaf, Pak Latif, kami sudah ndak punya apa-apa lagi untuk disuguhkan. Nggggg…
anu…”
“Teh
kami sudah habis, Kang. Minta maaf,” sahut mbok sembari membenahi rambutnya
yang berantakan.
“Ah,
ndak apa-apa, Yu. Yu Darmi dan Laras ndak usah repot-repot. Wong saya juga ndak
lamaa kok,” Pak Latif, Ketua RT, nyengir kuda.
Mbok
membenarkan letak duduknya, “Lha ini mesti ada apa-apa ini. Kalo ndak, ya ndak
mungkin to sampeyan mau repot-repot hujan-hujanan mengunjungi warga satu
persatu kayak gini. Ada apa to, Kang?”
Ketua
RT nyengir kuda lagi, “Nganu… ngggg… jadi begini Yu, dusun kita ini kan mau
dikunjungi sama Pak Bupati. Walaaaaah, kapan lagi dusun terpelosok kayak dusun
kita ini dapet kunjungan dari pembesar? Jarang-jarang to?”
“Iyaaaaaaa.
Wes, intinya apa?”
“Nganu…
saya mau minta tarikan Yu, sumbangan suka rela dari warga. Rencananya uang yang
terkumpul mau dibelikan umbul-umbul. Biar jalan di dusun kita ini meriah. Ndak
mesti lima tahun sekali to?”
Mbok
tertegun, “Suka rela to ini? Bebas mau berapa saja to?”
“Ealaaaaaah,
nganu… ndak bebas Yu, ada angkanya. Satu rumah mesti ngasih tarikan sepuluh
ribu rupiah. Eh, gini, nganuuuu… kalo Yu Darmi ndak ada uang segitu, ndak
apa-apa, tak kurangi jadi lima ribu rupiah saja. Sudah murah to ini?” ketua RT
tampak salah tingkah.
Mbok
mendengus kesal. Dadanya turun naik, seperti hendak marah yang meledak-ledak.
“Tif,
kalo aku punya uang lima ribu, sudah sejak tadi kamu aku suguhi teh manis
hangat. Ini boro-boro untuk tarikan, untuk beli beras saja kami mesti ngutang
dulu ke warung. Dan, kalo Pak Bupati itu ngerti sama keadaan rakyatnya, kayak
aku begini, mestinya dia ndak perlu sambutan apa-apa. Justru dia harusnya yang
datang sambil bawa beras. Begitu kan malah hebat. pemimpin yang ngerti sama
rakyat itu namanya.”
“Iya,
Yu. Aku ngerti. Tapi ini… ini… ini maunya Pak Lurah lho, Yu. Dan…”
“Sudah.
Mohon maaf. Kali ini aku ndak nyumbang dulu. Bilang saja begitu kalo Pak Lurah
tanya. Darmi ndak punya uang. Beres.”
“Tapi
Yu…”
“Apa
lagi?”
“Nganu…
ndak ada apa-apa. Ya wes, aku pamit dulu. Monggo, Yu.” Ketua RT bergegas keluar
rumah. senyumnya singgah sejenak ke Laras yang berdiri mematung. Laras
membalasnya dengan anggukan kecil.
Sepeninggal
Pak Latif, mbok termenung. Pikirannya mulai mengira-ngira seperti apa rupa
jalanan di dusunnya kelak setelah berhias umbul-umbul? Ah, tentu saja tambah
meriah dan indah. Tapi, uang tarikan itu? Andai saja saat ini mbok punya uang
lima ribu rupiah, sudah barang tentu dia dan Laras tak kebingungan soal teh
hangat. Atau mungkin saat ini mereka berdua sudah menikmati mie instan yang
lezat.
Tapi
begitulah hidup. Kadang kala kepentingan individu yang krusial harus rela
dikorbankan demi kepentingan umum yang justru sebenarnya sangat tidak penting.
Umbul-umbul itu misalnya.
Mbok
merebahkan tubuhnya kembali. Diliriknya Laras juga telah rebah seusai menutup
pintu. Di luar, gerimis telah usai.
Kandasan
Februari 2015
Mas Danu