Oleh: FATMAWATI
“Apa lagi yang kau tunggu nona…???”
“Ingat umur!”
“Ingat umur!!”
“Ingat umur!!!”
“Cukuppp!!!!!” teriak Dika sambil
berusaha menutup tiga mulut sahabatnya. Tetapi ada satu mulut yang tak berhasil
ia bungkam, karena tangannya hanya dua.
“Sadar Nona! Kau telah lebih dari kepala
tiga, kapan jadi perempuan normal, menikahlah dan punya anak seperti kami-kami
ini?” berondong Suli yang mulutnya luput dari telapak tangan Dika.
Dika hanya mengangkat bahu, menggelengkan
kepala dan menarik tangannya, lalu bersedekap.
“Bukan jamannya sekarang jadi orang
aneh?” geram Tami sambil menoyor kepala Dika.
Dika telat menghindar, matanya membelalak
sambil membetulkan poninya, “Mentang-mentang udah jadi emak-emak, kalian tega
menganiaya anak gadis orang!” keluhnya sambil memonyongkan mulut.
Di sebuah cafe, di suatu sore yang
tenang, tiga dari empat sahabat sedang tak tenang memikirkan nasib salah
seorang dari mereka. Dika, lagi-lagi jadi bulan-bulanan topik kerisauan
sahabat-sahabatnya, karena dianggap aneh dan belum beruntung. Di saat ketiga
sahabatnya mulai membicarakan tingkah buah hati masing-masing, Dika hanya bisa
jadi pendengar yang baik. Menurut mereka, Dika hanya punya cerita tentang
pendakian-pendakiannya yang tak ingin mereka dengar secara detail, karena
menurut mereka juga, itu hanya kegiatan ekstrem yang membuang waktu dan umur.
“Aku cukup bahagia nyonya-nyonya, aku
cukup beruntung!” ucap Dika berusaha menebarkan ketenangan di hati ketiga
sahabatnya.
“Beruntung? Kau tetap sendiri Dika!”
cemberut Nata
“Perempuan beruntung tak harus segera menemukan
laki-laki yang tepat lalu berkembang biak. Mungkin waktuku diberi lebih panjang
untuk menikmati hidup melajang, tenang saja teman,” jawab Dika sambil memasang
wajah bijaknya
Ketiga sahabatnya saling berpandangan,
kompak menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan berat, menahan geram
di hati.
“Bukankah sebelum liburan lalu, kau
bilang Semeru adalah gunung terakhir yang akan kau daki?” tagih Nata tiba-tiba
“Iya! Janji harus ditepati! Sambung Suli
semangat, seakan mendapat tambahan senjata untuk menyerang Dika
“Teman…bukannya ingin mengingkari janji,
tapi saat sampai di puncak Semeru, tiba-tiba aku mendengar bisikan…”
“Bisikan? Bisikan apa?” potong Nata ingin
tahu.
“Angin membawa bisikan, bisikan yang
sampai detik ini masih terngiang-ngiang di telingaku…”
“Apaaa?” desak Suli tak sabar
“Bisikannya berbunyi… mampirlah ke
Tambora, lalu Rinjani dan kembalilah ke Mekongga!” ucap Dika serius sambil
mengembangkan senyum dan memejamkan matanya.
“Berhenti main-main Dika! Waktu tak
mungkin menunggumu, sadarrr!” Tami mengguncang-guncang bahu Dika.
“Serius teman, masih ada tiga gunung yang
menungguku, aku tak sanggup mengabaikan panggilan-panggilan ini!” renggek Dika meminta
pengertian teman-temannya.
“Ah…kau mengada-ada, Semeru telah kau
daki, mengapa masih belum puas?” sungut Suli kesal.
“Kami memang harus ikut campur urusan
hidupmu, kau tak boleh dibiarkan begini terus! Kau harus berubah!” cetus Nata
tegas.
Dika menggeleng, “Aku akan tetap jadi
diriku dan mewujudkan apa yang kuiimpikan. Setiap waktu, mimpi-mimpiku terasa
semakin nyata, walau tak selalu seperti yang kuinginkan, setidaknya aku cukup
bahagia.”
Suli, Nata dan Tami serempak menggeleng-geleng
kepalanya, mulai putus asa.
“Tapi kan niatmu ke Semeru,bukannya akan
segera mengakhiri masa lajangmu?” kembali Nata menagih.
Dika mengangguk “Tetapi ada yang tak
kubilang tentang niat lain ke Semeru kemarin!” tiba-tiba pelan suara Dika,
menandakan kali ini ia mulai serius
“Apa? Jangan cari alasan dan pembenaran!
terimalah takdirmu, Nona!”
“Selain janji harus ke Semeru dulu
sebelum menikah, aku juga punya janji yang lain.” Dika menarik nafas dalam. “Dulu,
aku berniat melakukan pendakian solo. Semeru yang kutuju. Dan… aku ingin
berakhir di gunung, tanpa jejak…”
“Orang gila! Berhenti bermain-main dengan
malaikat maut!” sergah Suli memotong penjelasan Dika.
“Dengar dulu, aku belum selesai ngomong!”
Dika mengguncang bahu Suli, “Itu dulu, waktu aku lagi gamang karena susahnya
dirantau dan dia telah tak ada!” tiba-tiba mata Dika berkaca-kaca. Tiba-tiba
benaknya melukis raut laki-laki yang sempat menjadi bintang di hatinya.
“Dia meninggal di gunung, bukan berarti
kau harus mati juga di gunung!” pekik Suli
“Tolonggg Suli… jangan bilang mati, aku
tak rela kata itu digunakan untuknya!!!” tiba-tiba Dika membelalakkan matanya
dan mencubit lengan Suli
Suli meringgis menahan sakit, “Sadaaar
Dika… dia memang telah ma….”
“Pergunakan diksi lain, kumohon!” potong
Dika cepat. “Dia bukan mati… tapi dia telah merengkuh cinta-Nya…dia telah
mendahuluiku untuk menyatu dengan alam.”
“Ya ampun Dika, masih saja tetap seperti
sepuluh tahun yang lalu, kau belum melupakannya?” tanya Nata khawatir.
Dika menggeleng lemah.
“Apa pun yang telah terjadi padanya, tak
pantas juga kau alami,”sambung Nata.
“Iya, itu sudah takdirnya. Dan kau punya
takdir sendiri untuk hidup bahagia, tanpa menyia-nyiakan hidupmu.” bujuk Tami.
“Aku bukan ingin
menyia-nyiakan hidupku di gunung, Sayaaang! Itu dulu! Duluuu sekali, sepuluh
tahun yang lalu!” suara Dika tiba-tiba melemah.
“Sekarang?” Tanya Tami.
“Sekarang, aku justru ketakutan dengan
niat itu. Bisa kalian bayangkan, antara bahagia dan takut campur aduk di sini!”
jelas Dika sambil menunjuk dadanya.
“Sinting masih teman kita ini!” runggut
Suli sambil menarik garis miring dengan jari telunjuknya, tepat di kening.
“Makanya, berhentilah naik gunung!
Cukupkan sampai di Semeru!” bujuk Tami lagi.
Dika menggeleng, “Kalian tak bisa merasa
apa yang mengangguku setiap saat, sesuatu yang tak bisa kumengerti, rasa sesak…
hanya bisa dilegakan dengan perjalanan-perjalanan itu!” jelas Dika memohon
pengertian teman-temannya.
“Sampai kapan?” tanya Suli putus asa.
Dika menggeleng, “Aku tak tahu, tapi
bagiku, hidup ini adalah sebuah perjalanan. Aku tak tahu kapan perjalanan
hidupku akan selesai. Begitu pula aku tak tahu kapan petualanganku akan berakhir.
Yang kutahu, aku masih ingin melanjutkan petualanganku. Masih banyak tempat
yang ingin kukunjungi!” ujar Dika mantap.
“Kami tetap tak bisa tenang sebelum
perjalananmu ditemani seseorang,” seru Nata khawatir.
“Iya, kau bisa pergi ke tempat yang lebih
aman bersama seseorang yang melindungi!” sambung Suli.
Tami tak bicara, hanya menatap Dika tak
berkedip.
Dika mengambil tangan sahabat-sahabatnya,
kemudian menyatukan dan menggenggamnya, “Terima kasih sahabat-sahabatku. Maaf
jika belum mampu mewujudkan keinginan kalian. Jangan khawatir, indah tak
menunggu waktu, bahagia tak harus memiliki… yang pasti aku sadar bersyukur dan
merasa sangat beruntung dengan apa yang kumiliki saat ini… yaitu kalian,
keluarga, dan pendakian-pendakianku. Jika suatu saat ada seseorang yang masuk
dalam kehidupanku… itu adalah tambahan keberuntunganku,” ucap Dika menutup
perbincangan sore itu.
Mereka berpisah, meninggalkan sore dan
cafe, menuju malam dan akan kembali menenggelamkan diri dalam rutinitas dan
kewajiban masing-masing. Dika melambaikan tangan dan melepaskan senyum pada
ketiga sahabatnya, segera menghidupkan mesin sepeda motor dan melanjutkan
perjalanan menuju petualangannya yang lain, di sebuah desa, sekolah, dan rumah
dinas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar