Redia Yosianto
(dalam Hujan Bulan Juni)
Gun menarik napas
panjang. Sesekali tangannya erat menggenggam gelas kopi yang tersedia tak jauh
dari tempat dia duduk. Pikirannya kacau. Sungguh kacau. Sebentar ini saja Gun
sudah menghabiskan sedikitnya tujuh batang rokok. Sekarang di sela bibirnya
terselip rokok yang kedelapan. Napasnya sesekali memburu, giginya
bergemeretakan menahan marah.
Layar
komputer baru menampilkan beberapa kalimat saja. Ceritanya tak kunjung
berlanjut. Ide di kepalanya datang dan pergi dengan sangat cepat, silih
berganti, begitu seterusnya. Gun menggebrak meja. Rokok di bibirnya terlempar,
jatuh bebas ke lantai. Gun segera memungutnya lagi, menghisapnya hingga kedua
pipinya tampak cekung. Tembakau yang terbakar memunculkan suara yang khas. Asap
segera berhamburan dari bibir Gun yang meruncing.
Saat imajinasi Gun mulai
muncul dengan liar, seorang perempuan melintas di depan pintu kamarnya. Tak
menoleh sedikitpun. Tak bersuara. Gun menggebrak meja sekali lagi. Hidungnya
mengendus aroma wangi yang tak biasa. Wangi yang jahat. Wangi yang menyimpan
sesuatu yang menyebalkan.
“Mau kemana kamu, Neng?”
Gun tak beranjak, hanya berteriak dari kursinya. Mukanya merah padam menahan
marah. Tangan kirinya mengepal. Sementara tangan kanannya menjepit rokok yang
hampir habis.
Perempuan yang dipanggil
‘Neng’ menampakkan diri di ambang pintu, sama sekali tak berniat untuk masuk,
“Ya kerja. Memangnya mau kemana lagi? Ini sudah jam delapan, jamnya berangkat
kerja.”
“Biar aku antar,”
“Tak usah. Aku bisa
berangkat sendiri. Abang selesaikan saja kerjaan Abang itu. Setelah itu siapkan
makan siang untuk anak-anak.”
Neng berlalu,
meninggalkan sebilah belati yang menancap sempurna di hati dan perasaan Gun.
Belakangan ini harga dirinya sebagai seorang suami terasa diinjak-injak. Dia
seperti bukan seorang suami, tapi seekor anjing yang bodoh dan gampang untuk
dibohongi.
Tak ayal lagi, tangan
kiri yang sudah mengepal sejak tadi segera menemukan sasaran yang tepat. Meja
komputer dihantam dengan telak. Gelas kopi jatuh terbanting, pecah berkeping-keping.
“Laki-laki muda itu lagi?” Gun menggeram. Bibirnya mendesis. Di kepalanya
melintas sosok pemuda yang belakangan kerap membuatnya galau.
Gun ingin pergi. Kemana
saja. Asal tidak berada di dalam rumah jahanam ini. Tapi hal itu urung dia
lakukan. Tiba-tiba imajinasinya kembali. Liar. Mengaduk-aduk emosi. Memaksanya
untuk duduk kembali dan segera menuangkannya manjadi sebuah cerita. Gun mulai
menata peristiwa di dalam kepala. Sejenak dia memejamkan mata.
***
Seekor anjing perempuan
bernama Popi. Bulunya coklat, sedikit gelap. Raut mukanya sayu. Kulit pipinya
mulai menggelambir. Matanya tak begitu tajam, pertanda dia adalah betina yang
tak terlalu cerdas. Lidahnya terus-menerus terjulur dan meneteskan air liur.
Tipikal anjing yang selalu kelaparan.
Di sebelah Popi, seekor
anjing pejantan yang tak terlalu gemuk. Bulunya hitam belang coklat. Telinganya
menjuntai. Bola matanya merah, sesekali basah oleh kelopak mata yang jarang
berkedip. Bibirnya kehitaman dan napasnya berbau sedikit busuk. Namanya Bruno,
pejantan yang sedang depresi sebab Popi tak juga semangat saat diajak berkencan
seperti biasanya.
Keduanya terdiam. Sibuk
memandangi senja yang hampir habis. Popi dengan lidah yang terus menjulur,
sementara Bruno dengan tatapan yang penuh dengan rasa pilu.
“Apa kita akan begini
saja terus? Tidakkah kau ingin memiliki beberapa anak anjing lagi? Anak-anak
anjing yang sangat lucu. Berkejaran di sekeliling kita sambil menggonggong
kecil dan memainkan ekor kita. Oh, betapa indah rasanya Popi,” Bruno bersuara,
namun tak sedikitpun menoleh kepada Popi.
Popi sendiri tak hendak
berkomentar apa-apa. Hubungannya dengan Bruno sudah membuahkan dua ekor anak
anjing yang tidak begitu lucu menurutnya. Dia ingin lebih. Lebih lucu, lebih
cerdas, lebih nyaring saat menggonggong. Tapi bukan dengan Bruno, pejantan
kurus dan bau ini. Popi menarik lidahnya, lantas mengecap-ngecapkan bibir beberapa
kali. Tak lama, lidah itu terjulur lagi, meneteskan liur lagi.
Bruno yang tak mendapat
perhatian mulai gerah. Angin sore tak juga membuat pikirannya tenang. Popi
sudah berubah. Popi sudah tak lagi peduli padanya.
Bruno menyingkir,
meninggalkan Popi yang tak juga bergerak. Bruno hanya berharap satu hal, Popi
memanggilnya saat ini dan mereka akan berkencan seperti yang sudah-sudah.
Malang, Popi tak melakukannya.
Bruno berjalan dengan
gontai. Pikirannya mulai meraba dan menerka-nerka sebab mengapa betinanya
berubah. Banyak hal yang luput dari pengawasannya. Di antara yang sedikit yang
sempat dia ingat, Bruno terkenang akan Sam, pejantan tampan dan selalu
dikelilingi Betina. Sepertinya Popi mulai tertarik pada pejantan yang masih
muda dan kemungkinan pejantan itu adalah Sam.
Bruno menggonggong dua
kali. Darahnya mulai mendidih. Dia ingin segera bertemu dengan Sam, pejantan
sialan itu. Bruno berlari menembus pekatnya malam. Tak dihiraukannya udara yang
semakin dingin. Dia sadar, anjing memang bersahabat dengan malam, juga dengan
dingin dan segala macam kejahatan yang muncul saat malam datang.
Bruno sudah sampai di
depan rumah Sam. Dia menggonggong dua kali, meneriaki nama Sam. Sam tampak
mengintip dari balik tirai. Sejenak kemudian, Sam keluar menghampiri Bruno.
“Siapa kamu? Ada apa
malam-malam begini berkunjung ke rumahku. Dan, apa kita sudah kenal
sebelumnya?”
“Aku ingin bicara
padamu, Sam. Itu pun kalau kau punya waktu malam ini.”
Sam tersenyum, “Aku
selalu punya waktu untuk tamu yang datang malam hari sepertimu. Masuklah, akan
kubuatkan secangkir teh hangat. Aku tau, kau kedinginan saat ini,”
Bruno mengekor di
belakang Sam. Pikirannya masih kacau. Dia ingin sekali menerkam Sam saat ini.
Tapi apa kata hewan-hewan lain nanti? Hati kecilnya mengatakan bahwa belum
tentu juga Sam punya hubungan khusus dengan Popi, betinanya yang mulai berubah.
Tapi rasa cemburu buta sudah terlanjur menguasai. Pantang untuk mundur sebelum
Bruno mendapat apa yang dia inginkan.
“Minumlah,” Sam
menghidangkan secangkir teh hangat di hadapan tamunya itu, “Hei, aku bahkan
belum tau siapa namamu. Kau kenal aku, tapi aku tak kenal siapa kau. Ini
sungguh tidak adil,” tatapan mata Sam mulai menyelidik.
“Aku Bruno,” Bruno
menggonggong dua kali, seperti ingin menunjukkan bahwa dia sedang marah saat
ini, “Aku pejantannya Popi.”
Sam masih tampak anteng,
“Oke, sekarang ceritakan apa keperluanmu, Bruno? Aku merasa kalau kau sedang tidak
enak hati. Kau sedang marah. Ada apa ini?”
“Sam, jawab pertanyaanku
dengan jujur. Aku tak ingin kau menyembunyikan apapun. Kita ini laki-laki. Aku
harap tak ada yang berbohong di antara kita,”
Sam mengangguk. Alisnya
bertaut, merasa masih belum menemukan maksud dari ucapan Bruno barusan.
“Sam, ada hubungan apa
kau dengan Popi?” Bruno mengalihkan tatapan, “Belakangan Popi berubah. Dia tak
lagi peduli padaku. Setiap kami duduk memandang senja, dia selalu diam saja.
Tak pernah lagi kini Popi berbincang denganku. Tolong kau jawab, Sam.”
Sam mengangkat wajah.
Dagunya kini persis mengarah ke muka Bruno, “Apa alasanmu mengintrogasiku? Kau
bahkan tak punya hak bertanya seperti itu. Kau tak punya sopan santun. Kita
bahkan baru kenal beberapa detik yang lalu,” Sam mulai terpancing emosi.
“Apakah kau
menyembunyikan sesuatu dariku saat ini?”
“Soal apa?” Sam balik
bertanya.
“Soal Popi tentu saja.
Aku tau kau adalah pejantan yang begitu kerap dikelilingi betina. Kau pandai
mengambil hati. Mungkin Popi juga melakukannya, dia mendekatimu, tanpa
sepengetahuanku. Aku tak suka jika apa yang aku duga ini akan menjadi kenyataan
sebentar lagi. Jawab, Sam!”
Sam tertawa
terbahak-bahak, “Ayolah, kawan. Ada apa denganmu ini? Kau ini seperti anjing
yang tak pernah belajar pada alam,” Sam tertawa lagi, “Perihal dikelilingi
betina dan pandai mengambil hati, kau tak salah sama sekali kawan. Tapi soal
Popi? Ah, lelucon apa lagi ini? Sekarang pulanglah, lihat betinamu baik-baik.
Dia sudah tua. Dia juga bukan betina yang cerdas. Tak pantas rasanya aku
mengencani anjing tua dan bodoh sepeti itu. Dan, hei, kau bahkan lupa, kau dan
Popi adalah anjing. Sementara aku? Aku ini kucing. Lihat baik-baik. Kalau kau
menuduhku memikat Popi, tentu kau salah alamat, kawan.”
Bruno geram. Giginya
bergemeletukan, “TAPI KAU PERNAH MENCIUM POPI. Aku melihatnya sendiri, kau
mencium betinaku!”
“Aku? Mencium seekor
anjing betina yang bodoh dan sudah tua? Oh, selain bodoh, rupanya matamu juga
sudah rabun. Kapan waktunya aku dekat dengan betinamu itu? Ayolah kawan, kau
terlalu mengada-ada. Lupakan kekonyolan ini. Pulanglah, tanyakan pada betinamu,
siapa sebenarnya yang sedang dia inginkan.”
“Kau takut mengatakan
yang sebenarnya, Sam!”
Sam makin melebarkan
senyum, “Pakailah logikamu, Bruno. Jika benar aku mencium betinamu, di depan
matamu sendiri, lantas kau hanya diam saja, tak berbuat apa-apa dan hanya
menjulurkan lidah, oh, betapa dungunya, pejantan macam apa kau?”
“Sam, kau…”
“Sekarang pulanglah, aku
mulai muak dengan omong kosongmu ini. Baik, biar aku tegaskan sekali lagi, aku
adalah pejantan yang baik dan aku adalah kucing. Kedudukanku lebih terhormat
dari kalian bangsa anjing, terlebih anjing yang tak pernah belajar pada alam
sepertimu. Pulanglah. Betina dan anak-anakku mulai kedinginan. Aku perlu
menghangatkan mereka!”
Bruno bangkit dari
duduknya. Perlahan ditinggalkannya rumah Sam. Dia tidak mendapat apa-apa.
Jujur, di dalam hati, dia membenarkan semua yang dikatakan Sam tadi. Tak
mungkin rasanya Sam mengencani Popi, apalagi Sam adalah bangsa kucing.
Bruno berjalan gontai.
Kepalanya tertunduk. Sepanjang jalan, dia menggonggong sesekali. Dia ingin
melepaskan semua beban yang menghimpit dadanya. Segalanya hampir hancur. Popi
sudah berubah. Ini sungguh tidak menyenangkan.
Bruno sudah di ambang
pintu rumahnya sendiri. Belum sempat dia masuk, telinganya menangkap suara yang
janggal. Suara rintihan seekor anjing betina. Suara yang muncul dari bibir yang
mengatup rapat. Bruno menggeram. Kukunya seketika meruncing. Itu suara Popi.
Popi selalu bersuara seperti itu ketika sedang berkencan dengannya.
Bruno mendobrak pintu.
Popi melolong, terkejut dan tak percaya. Di sebelah Popi terbaring seekor
pejantan yang masih muda. Bulunya acak-acakan.
“Bull, lariiiiii…”
teriak Popi pada anjing pejantan yang bernama Bull itu.
Seperti mendapat
kekuatan baru, Bull berlari ke arah jendela. Dia meloncat dan berlari
sekencang-kencangnya lalu menghilang di pekat malam.
Bruno yang seperti
tersadar dari sihir jahat, segera menggonggong. Tak cuma sekali. Sambil
menggeram, dia memutar tubuh, melesat dan menghilang di kegelapan. Yang ada
dipikirannya hanya satu, jika bukan Bull yang mati, maka Popi yang akan mati.
Lihat saja nanti!!!
***
Neng pulang dengan wangi
yang sama seperti wangi yang tercium tadi pagi. Wangi yang penuh dengan
kebohongan dan penghianatan. Tapi Neng tak peduli. Apa yang dia lakukan tentu
saja masih sangat aman dari jangkauan radar suaminya.
Neng tak mendapati
siapa-siapa di ruang tamu. Anak-anaknya sibuk bermain robot-robotan di kamarnya
sendiri. Neng bergegas menuju kamar. Sampai di ambang pintu, didapatinya
suaminya tertidur dengan pulas. Ada pecahan gelas di bawah meja komputer. Neng
geleng-geleng kepala. Satu hal yang membuat dia berpaling, terjadi lagi siang
ini.
Neng duduk di depan
layar komputer yang masih menyala. Neng menggerakkan mouse. Pelan-pelan Neng membaca tulisan suaminya yang masih
terpampang di layar. Dicermatinya kalimat demi kalimat. Neng tertegun.
Cerita yang dibuat
suaminya benar-benar menyentuh. Atau karena…
“Sudah pulang kamu, Neng?”
Gun bangkit. Dia terbangun beberapa saat yang lalu. Begitu Gun membuka mata,
didapatinya Neng tengah duduk di kursi kerjanya. “Sudah selesai membacanya?”
Neng mengangguk.
Gun mulai menciumi leher
Neng. Gun merasakan, dalam diam sebenarnya Neng memberontak. Hembusan napasnya
tak sehangat dulu lagi. Bibirnya tak semanis dulu lagi.
Neng memutar tubuhnya,
berusaha melepaskan diri dari pelukan Gun, “Ceritamu belum selesai.
Selesaikanlah dulu,”
“Oh, kurasa kau sudah
tau ending-nya. Tak perlulah
kuselesaikan sekarang. Mari kita bersenang-senang dulu. Aku sudah sangat rindu
dengan suasana seperti ini!” ujar Gun seraya melepas satu demi satu kancing
baju Neng.
Neng mulai jengah,
“Apakah akan kau bikin mati si pejantan bernama Bull itu?”
Gun tersenyum. Matanya
tajam seperti pedang yang siap menghujam, “Tentu saja. Ahaaa, ternyata kau
masih juga menyisakan sedikit kecerdasanmu. Kukira kau ini perempuan yang payah
dan pendusta.”
“Bang, kenapa dengan kau
ini?”
“Dengar Neng, aku tak
suka anjing seperti Popi. Tak dapat mengejar Bull, Bruno akan membunuh Popi.
Kau tau kan? Aku tak pernah main-main dalam menghasilkan karya. Mungkin mulai
saat ini tak cuma pada karya saja, tapi terhadap kamu juga. Jika bukan Syamsul
yang mati, maka kau yang akan mati. Lihat saja nanti!!!”
Jantung Neng seperti
berhenti berdetak. Suaminya baru saja menyebutkan nama lelaki yang sedang dekat
dengannya. Ini, oh, ini adalah bencana. Bencana untuknya sendiri, juga bencana
untuk Syamsul, lelakinya itu.
Mempawah, 22 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar