Oleh: Fatmawati
“Perempuan baiknya berada di rumah, dandan,
merangkai bunga atau belajar masak, jangan mikir macam-macam dan berkeinginan
aneh-anehlah!” tajam tapi pelan ucapannya kini.
Aku tak ingin menatapnya, kini kualihkan
pandangan kearah kakiku. Saat ini, kurasa kakiku jauh lebih menarik daripada
wajah yang selama ini kurindukan. Aku diam, bingung memilih kata-kata ajaib
yang mampu membuatnya mengerti.
“Cukuplah yang dulu-dulu petualanganmu,
sebelum bertemu aku, sekarang jadilah yang sebenar-benarnya perempuan!” kembali
dia menekan kalimatnya, walau pelan tapi terasa menusuk hati.
Kuperhatikan sosok laki-laki yang
beberapa bulan lalu telah berjanji akan mencoba memahami dan mengerti
keterbatasan atau kelebihanku. Tetapi, ini kesekian kalinya dia mengabaikan
ikrarnya bahkan berusaha mementahkan aku dan diriku.
“Aku hanya ingin ke Semeru!” kembali
kuulangi kalimatku beberapa minggu yang lalu, sebelum pertemuan kami terhambat
oleh tugasnya keluar kota.
“Kenapa harus Semeru? Kenapa perempuan
harus naik gunung?” dan kembali juga dia mengulang pertanyaan-pertanyaannya
beberapa hari yang lalu melalui telepon, saat kami memutuskan bertemu sore ini.
Aku menarik nafas panjang, lalu
menghembuskannya dengan berat, bosan menemukan pertanyaan serupa ini. Namun
harus tetap kujawab, “Naiklah bersama kami, maka kau akan tahu mengapa!” ucapku
pelan sambil menahan hati.
Dia mengeleng cepat, “Masih banyak hal
berguna yang bisa kita lakukan, dari pada buang-buang waktu dan biaya,
melakukan perjalanan mengantarkan nyawa ke maut. Seperti orang yang tidak
menghargai hidup!”
“Justru karena itu, aku sangat menghargai
hidup. Inilah salah satu caraku agar hidup menjadi berharga untuk tidak begitu
saja dilewatkan. Begitu indah dan ajaibnya alam ciptaan yang Maha Kuasa, saat
diberikan daya dan kesempatan, aku akan menurutkan hati untuk menikmati dan
menakjubinya langsung,” jawabku meminta
pengertiannya.
“Terlalu berlebih-lebihan, ingin jadi
pengembara? Seperti orang-orang yang tak punya kerjaan dan hidupnya hanya
menantang bahaya. Sadarilah takdirmu sebagai seorang perempuan!” kata-katanya semakin
meledek.
“Seandainya bisa, aku akan memilih menjadi
sebenar-benarnya pengembara. Tetapi aku menerima takdir sebagai seorang
pendidik yang harus membagi ilmu pada anak-anak didikku, takdir sebagai seorang
anak yang harus membuat tenang hati orang
tua dan saudara-saudraku. Menurutku penggembara bukannya tak punya kerjaan,
merekalah orang-orang berani, bahagia dan sesungguhnya sangat berutung, karena
benar-benar bebas menikmati hidup. Aku pun menyadari takdirku sebagai
perempuan, tapi apakah perempuan tak boleh melakukan perjalanan? Aku tak
meminta banyak, hanya kali ini… biarkan aku kembali menyatukan diri dengan
keindahan alam,” tukasku kembali memohon pengertiannya.
“Terus…takdirmu sebagai perempuanku?”
pertanyaannya membuat hatiku tiba-tiba merasa sangat tak nyaman. Seakan-akan ada
belenggu di tangan dan kaki, lebih-lebih di leherku, aku merasa mulai tercekik.
“Oleh sebab itu, aku mulai belajar untuk
meminta izin padamu. Biarkan aku tetap menjadi diriku,” ucapku pelan dan cepat, seakan tergesa-gesa mengendurkan buhul
yang tadinya mulai menjerat dan membuat sesak.
“Ok lah, tunggu libur kantorku. Terserah
ke Bali atau Bunaken asal jangan naik gunung, kita ikut paket wisata!” katanya
lembut membujuk.
Kalimat terakhirnya tiba-tiba
menyadarkanku akan perbedaan besar antara aku dan dia.
Ah…bukannya sok petualang atau sejenisnya
lah… tapi sungguh, melakukan perjalanan seperti yang disebutkannya tadi…bukan
mimpiku. Aku ingin ke Bali dan Bunaken, tapi lebih ingin ke Semeru dan tanpa
paket wisata.
Aku memang makhluk penuh dengan mimpi,
mungkin mimpi-mimpi ini membuatku terlihat berbeda dari makhluk-makhluk
sejenisku… tapi sungguh, sebenarnya jauh di dalam lubuk hati aku menentang itu…
aku sama seperti mereka, aku perempuan biasa walau dengan mimpi berbeda.
“Aku ingin naik gunung, aku ingin
melakukan pendakian! Aku ingin kembali menghirup segarnya rimba dan mereguk sari
petualangan. Aku ingin melarikan diri dari kebisingan dan penatnya rutinitas sehari-hari,
untuk beberapa saat,” sahutku cepat dan pelan.
“Kamu egois!” ucapannya mulai ketus.
“Ini bukan bentuk keegoisan diri, tapi
jauh lebih dalam lagi… ini pemaknaan hidup!” sanggahku tak terima akan tuduhannya.
Tiba-tiba wajahnya berubah dingin. “Apa
gunanya perempuan di gunung, kalian hanya jadi penghangat laki-laki!”
Plakkk…
Refleks tanganku mendarat di pipinya, ini
kesekian kali aku menangkap pandangan sinisnya terhadap kaumku yang disalahpahami
oleh pikiran mereka yang dangkal. Kali ini aku tak bisa menahan hati lagi.
Dia tercengang, terkejut kurasa. Mungkin
tak percaya dengan reaksiku tadi. Kulihat wajahnya memerah karena bekas lima
jariku bercampur rona kemarahannya
Telapak tanganku pedas dan panas, aku
gemetar menahan sakit, marah, sedih dan kecewa, kukira dia beda.
“Bagi kalian, petualangan hanya milik
laki-laki, perempuan hanya pengembira atau pelengkap derita. Tapi kami juga
hidup…kami juga punya perjalanan, kami punya mata, kami punya rasa, kami punya
hati dan kami punya mimpi yang sama dengan laki-laki!” jeritku tertahan menahan
sakit hati dan panas di mata.
“Mungkin yang ada di pikiran kalian,
kaumku hanya jadi penghangat di perjalanan, tapi tidak dengan teman-teman
seperjalananku. Merekalah laki-laki yang benar-benar menjaga dan menghargai
perempuan. Kami mendaki gunung, tempat yang punya kesakralan terkait dengan
legenda yang menyelimutinya, pendakian ke gunung adalah perjalanan suci, jika
melakukan perbuatan yang salah, maka besar kemungkinan kami tak akan kembali
dalam keadaan selamat,” sambungku menegar-negarkan suara.
Dia terdiam, entah menyesal atau menahan
geram karena mungkin merasa kelaki-lakiannya kucabik, tapi sungguh… aku juga sangat
menyesal.
Beberapa lama kami terdiam, sama-sama
terkejut dengan reaksi yang saling dan sebab akibat tadi. Tiba-tiba aku merasa
dia tak lucu dan menarik lagi. Dia tak membuatku merasa nyaman dan damai lagi. Seketika
membentang jarak yang memisahkan aku dan dia, walau sesungguhnya dia masih tetap
duduk di depanku, diam bergeming
Aku segera berinisiatif berdiri, “Maaf!”
Hanya satu kata ini yang bisa kutinggalkan dan langkah segera membawa tubuhku
menjauh darinya.
Dia tetap mematung, mungkin hatinya
berperang untuk menahan langkahku atau membalas reaksiku tadi.
Aku tak peduli, mulai kini…aku akan berjuang
mengeluarkannya dari hati, bisikku membatin, semakin jauh meninggalkan sore dan
kantin tempat pertama kali kami bertemu, ternyata juga menjadi tempat pertemuan
kami yang terakhir. Aku sudah tak bisa mengerti hatinya dan sama… dia tak ingin
lagi mencoba mengertiku
Cinta dapat menyatukan dua perbedaan, itu
kata mereka dan sering kulihat di status teman-teman dalam jejaring sosial Twitter
dan Facebook. Tapi sepertinya saat ini cinta tak berdaya menyatukan perbedaan
aku dan dia, tidak saat ini.
Kini aku sadar… aku lebih cinta gunung
dari pada dia. Dan cintaku yang kesekian kalinya ini harus dikalahkan gunung
lagi… fiuhhh.
Sungai
Kakap, Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar