oleh: Redia Yosianto
Tadi aku sempat mencuri dengar pembicaraan mama
dengan suster yang sedang bertugas jaga. Tak banyak yang bisa aku tangkap. Yang
tak banyak itu diantaranya, tadi suster jaga menyebutkan kata ‘fasilitas kelas
tiga’. Aku tidak tahu maksudnya apa. Kepalaku terlalu berat dan badanku juga
rasanya sangat panas. Gerah. Kata mama, aku tidak boleh banyak bergerak dulu.
Dan soal ‘fasilitas kelas tiga’ tadi, ah, kedengarannya seperti kelasku di
sekolah. Aku sudah kelas tiga. Kelas tiga SD tepatnya. Kelas tiga SD tentu saja
sama dengan ‘fasilitas kelas tiga’. Sama-sama kelas tiga.
Sampai di dalam ruangan,
udara yang pengap langsung menyambut. Gerah langsung menyergap. Banyak
anak-anak yang berteriak kesakitan. Menangis. Meraung-raung. Aku belum
menjejakkan kaki ke lantai tapi rasanya aku tahu kalau lantai sedikit basah dan
itu tentu saja kotor. Aku memejamkan mata lagi.
Kepalaku sungguh terasa berat. Kaus yang aku pakai rasanya sudah
meleleh. Badanku panas sekali.
Di dinding, jam
menunjukkan angka tiga lebih sepuluh menit. Ternyata selain senang menangis
secara berlebihan, untuk urusan ini pun kukira mama juga berlebihan. Coba
pikir, badanku cuma panas. Kepalaku pusing
dan berat. Mulutku pahit. Oke, aku demam. Tapi mengapa mama sampai mau
repot-repot membawaku ke tempat pengap ini jam tiga pagi? Bukankah perkara
demam ini aku sudah sering mengalaminya? Mama memang aneh.
“Suhu badanmu sudah
mencapai tiga puluh tujuh koma delapan derajat celcius. Kalau sampai di angka
tiga puluh sembilan, kau bisa step!”
Nah, apa lagi itu?
Rasanya Bu Guru di sekolah tidak pernah menyebut kata itu saat menjelaskan
pelajaran di depan kelas. Yang sering Bu Guru sebut adalah perkara tambah,
kurang, kali, dan bagi. Tidak pernah sekalipun Bu Guru menyebut kata ‘step’.
Mungkin itu pelajaran anak kelas empat atau lima.
Aku dibaringkan di kasur
yang ada rodanya. Kasurnya keras. Panas pula. Ada lagi yang lebih aneh. Kasur
ini diberi nomer urut. Kasurku nomer W8. O iya, ada sepuluh kasur di dalam
ruangan yang pengap dan gerah ini. Yang dua lagi di sebelahku sana belum ada
yang menempati.
“Anak itu kenapa, Ma?”
Mama menoleh ke arah
anak-anak di kasur nomer W4, kemudian mama menggeleng pelan. Gelengan mama tadi
kuartikan sebagai gelengan tidak tahu, bukan gelengan tidak mau menjawab
pertanyaanku seperti yang sudah-sudah.
Aku ingin keluar. Aku
ingin mencari udara yang lebih segar. Aku ingin minum yang manis-manis. Oh,
mulutku rasanya sungguh tidak enak. Pahit. Rasanya seperti mengunyah pil dari
dokter dan tidak minum air sedikitpun.
Anak di kasur W4 masih juga
menjerit-jerit. Meraung-raung. Anehnya, tidak ada satu orang pun yang marah. Mama
juga tidak. Padahal, kalau di rumah aku selalu disuruh diam kalau teriak
terlalu kencang saat main playstation.
Ada beberapa suster yang
menghampiriku. Setelah basa-basi sebentar dengan mama, maka dengan sigapnya
pula telapak tanganku disambar, ditekan-tekan, ada sesuatu yang dia cari di
punggung tanganku. Aku bingung. Apa sih yang dia cari? Apakah semua suster akan
berubah jadi aneh begini setiap jam setengah empat subuh?
Oh, itu dia. Rupanya
suster itu mencari urat berwarna hijau di punggung tanganku. Diusap-usapnya
dengan kapas basah. Dingin sekali rasanya.
“Tahan sebentar ya,
Sayang. Tidak sakit kok,” kata suster aneh itu kepadaku. Bibirnya penuh senyum.
Suster yang lainnya lagi menyiapkan jarum suntik yang masih baru. Aku masih
bingung maksudnya apa. Aku pernah disuntik, tapi di bokong, bukan di punggung
tangan seperti ini.
Dan, aaaahhh, sakit
sekali rasanya. Aku mulai teriak. Meraung-raung. Mama memegangi tubuhku. Kurasakan
dekapan mama tambah erat.
“Jangan dikeraskan
badannya, nanti nadinya hilang loh, nanti bisa tambah sakit loh,”
Oh, siapa yang peduli?
Tak usah menunggu nanti, ini saja sudah sangat sakit. Pantas saja anak di kasur
nomer W4 tadi meraung-raung. Begini rupanya yang dia rasakan tadi.
Yang terjadi kepadaku
setelahnya adalah sama dengan semua anak-anak yang ada di ruangan pengap dan
gerah ini. Tanganku diberi selang kecil yang dihubungkan dengan plastik putih
berisi air bening yang digantung di atas kepalaku. Air bening dari plastik itu
menetes pelan-pelan dan sepertinya masuk ke dalam tubuhku lewat selang kecil
ini.
Tiba-tiba saja aku
merasa sangat mengantuk. Aku ingin tidur dan memang itulah yang aku lakukan.
Tapi tidak. Kantukku
sedikit terganggu dengan kehadiran seorang bocah laki-laki berwajah pucat.
Mungkin dia seusiaku. Aku dan anak laki-laki di kasur nomer W9 itu pasti sama,
sama-sama kelas tiga SD, sama-sama menemukan ‘fasilitas kelas tiga’, dan
sama-sama sedang mencari tahu pelajaran kelas empat atau kelas lima tentang
‘step’. Biar kutebak, sebentar lagi anak di kasur W9 itu akan meraung-raung
lantaran ada selang kecil yang menancap di punggung tangannya. Jarum yang
menancap di urat berwarna hijau itu sungguh sakit sekali.
“Ibu harus menebus
antibiotik di apotek. Sekarang ya, Bu. Sebab, antibiotik ini akan disuntikkan
ke Dion sekarang,”
Entah kapan masuknya
suster yang menancapkan jarum ke punggung tanganku itu, tau-tau dia sudah
berbincang dengan mama.
“Sekarang juga?”
Iya, sekarang juga.”
Kulihat mama mengangguk.
Mama kemudian menatapku dengan tatapan menenangkan. Aku diminta untuk tidak
banyak bergerak dan tidak menangis. Mama berjanji akan segera kembali. Aku
mengangguk meskipun aku sendiri sebenarnya tidak yakin. Jarum di punggung tanganku
ini masih meninggalkan denyut. Sakit sekali rasanya.
***
“Namamu siapa?”
Aku mencoba mengajak
berbincang anak laki-laki yang terbaring lemah di kasur nomer W9 itu. Kasurku
dan kasurnya tidaklah terlalu jauh. Barangkali jika kami saling mengulurkan
tangan, kami bisa saling menggenggam.
Anak laki-laki di
sebelahku itu tidak langsung menjawab. Justru ibunya lah yang tersenyum
kepadaku.
“Ditanyain sama temennya
itu, Dek. Dijawab dong,” kata ibu anak laki-laki itu. Kulihat tangannya
mengusap kepala anak laki-laki yang masih juga menatapku.
“Nama saya Lukas,”
jawabnya perlahan. Ibunya tersenyum lagi kepadaku. Kusebutkan pula namaku. Kami
sudah berkenalan. Kami sekarang sudah berteman.
“Kamu sakit apa?”
Oh, Lukas bertanya
kepadaku. Sakit? Memangnya aku sakit apa? Badanku hanya panas. Kepalaku
sesekali terasa sangat berat. Mulutku pahit. Apa itu tergolong sakit? Kalau
memang iya, mengapa tidak dari dulu mama membawaku ke ruangan yang pengap dan
gerah ini? Bukahkah hal seperti ini sudah sering aku rasakan? Ah, mama saja
yang terlalu berlebihan.
“Badanku panas,” jawabku
akhirnya. Kukira itu bukanlah jawaban yang bagus. Panas saja rasanya tidak
perlu sampai menginap di sini, bukan? Tapi soal ‘step’ itu? Entahlah.
Mamaku sedang mandi.
Enak sekali jadi orang besar. Bisa mandi kapanpun mereka suka. Aku sangat ingin
mandi tapi mama tak mengizinkan. Bukan, bukan mama yang melarangku mandi, tapi
suster yang memeriksaku kemarin yang melarangku mandi.
Saat kutanyakan Lukas
sakit apa, ibunya yang menjawab. Kata ibunya, Lukas menderita gejala komplikasi.
Aku bingung. Kemarin mama menyebut kata ‘step’, sekarang ibunya Lukas menyebut
kata ‘komplikasi’. Aku sungguh tidak tahu arti kata komplikasi itu apa. Bahkan,
menyebutkannya pun aku belum mahir benar.
Mama sudah selesai
mandi. Segera kuceritakan kepada mama bahwa aku sudah berkenalan dengan Lukas.
Mamaku bersitatap dengan ibunya Lukas. Mereka saling melempar senyum lantas
segera berjabat tangan.
Sekali-sekali kucuri
dengar percakapan dua orang besar itu. Mamaku sering mengatakan ‘oh’, atau ‘ya
Tuhan’, lantas tatapan mamaku segera menghujam lekat-lekat Lukas yang tengah
terbaring lemah. Entahlah. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bincangkan.
Bahasa orang besar sungguh rumit dan banyak yang tidak kumengerti artinya.
***
Ini adalah hari ketiga
aku berada di ruangan yang pengap, gerah, dan penuh dengan raungan anak-anak sepanjang
malam. Sama sepeti aku, rupanya mereka juga takut dengan jarum suntik.
Tadi pagi mama
memarahiku lantaran aku menumpahkan baskom berisi air hangat saat badanku
diseka. Bukan lantaran air hangat yang tumpah itu aku dimarahi, tapi air hangat
itu tumpah persis di baju yang akan aku pakai hari ini. Itu adalah baju
terakhir yng bersih, kata mama. Bajuku sudah kotor semua. Mama memang hanya
membekalkan aku sedikit baju ganti.
“Ini, pakai saja kaus
saya. Masih belum saya pakai kok. Masih bersih,” Lukas mengangsurkan selembar
kaus berwarna putih. Ibunya Lukas mengangguk seraya tersenyum kepadaku dan
mama. Mama mengucapkan terima kasih seraya berjanji akan segera mengembalikan
kaus Lukas ini jika nanti susah dicuci.
Lukas memang baik. Dia
sering mengajakku berbincang. Jika makan sesuatu, tak pernah rasanya Lukas
tidak menawariku. Lukas juga kerap berbagi mainan denganku. Lukas bekal mainan
banyak sekali.
Mamaku dan ibunya Lukas
juga kerap berbincang. Banyak hal yang mereka bincangkan. Tapi aku sungguh tak
paham. Bahasa orang besar terlalu sulit untuk dipahami. Kadang mereka berdua
berbicara sambil tertawa. Entah maksudnya apa.
Lukas meminjamkan
robot-robotannya kepadaku. Dari kasur masing-masing kami main perang-perangan.
Robot Lukas kerap menembaki robotku. Saat robotku mati, Lukas tertawa senang.
Aku pun senang walaupun robotku harus mati.
Beberapa suster yang
melintas tersenyum melihat tingkah kami. Malah mereka sudah hapal dengan nama
kami berdua.
***
Hari kelima, aku sudah
dibolehkan pulang. Kata suster, panas di badanku sudah normal. Kurasakan
mulutku tidak pahit lagi. Kepalaku juga tidak pusing lagi.
Kebahagiaanku bisa
pulang ke rumah rupanya tidak diikuti oleh Lukas. Lukas harus dirawat barang
beberapa hari lagi. Kupikir, Lukas akan sendirian nantinya. Tak ada lagi yang
bermain perang-perangan dengannya jika aku pulang. Ah, kasihan Lukas. Bibirnya
terlihat kian biru. Wajahnya kian pucat.
“Robot-robotan itu untukmu,
Dion. Ambillah. Mudah-mudahan nanti kita ketemu lagi. Kita main perang-perangan
lagi.”
Aku tersenyum. Kukatakan
kepada Lukas semoga dia cepat sembuh dan bisa cepat pulang. Aku sangat
berterimakasih atas pemberiannya ini.
Mamaku dan ibunya Lukas
saling berpelukan. Kali ini aku tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka berjanji
untuk saling berkirim kabar.
Aku melambaikan tangan
ke Lukas sebelum meninggalkan ruangan yang pengap ini. Lukas juga melambaikan
tangan sambil tersenyum.
***
Sebuah sore yang indah.
Senang sekali rasanya bisa berada di rumah sendiri. Ini sudah hari ketiga aku
ada di rumah semenjak kepulanganku dari rumah sakit kemarin. Hari ini, aku
ingin ke rumah sakit lagi. Aku ingin menjenguk Lukas sekalian mengembalikan
kaus yang aku pinjam kemarin.
Mama setuju dengan
permintaanku tadi. Aku meminta kepada mama agar Lukas dibelikan mainan
robot-robotan Ultraman yang besar. Lukas sangat senang dengan robot Ultraman.
Mama juga sudah beli buah untuk diberikan ke Lukas. Aku bersorak senang. Aku
akan ketemu Lukas lagi.
Di perjalanan, aku sudah
membayangkan akan bermain perang-perangan lagi dengan Lukas. Robot pemberian
Lukas kemarin sudah aku genggam, aku terbangkan, aku teriakkan peringatan
serangan kepada Lukas, ‘awas Lukas,
robotmu akan mati kali ini. Ciaaaaaat… dor… dor… dor…’. Robotku melayang
lagi dan menembaki robot Lukas. Mama tertawa melihat tingkahku.
Sampai di pelataran
parkir, Hp mama berbunyi. Ah, tentu saja itu bukan urusanku. Di rumah, Hp mama
berbunyi mungkin sudah sejuta kali dan aku tak pernah sekalipun menyentuhnya.
Begitu sepeda motor
berhenti, aku langsung turun dan berlari. Tangan kiriku menggenggam robot
pemberian Lukas dan kantung plastik hitam berisi kaus Lukas yang kupinjam
kemarin, sementara tangan kananku menggendong robot Ultraman yang akan aku
berikan ke Lukas sebentar lagi. Buah-buahan di motor tentu saja mama yang bawa.
Aku tidak menunggu mama lantaran aku sudah hapal ruangan pengap tempat aku
dirawat kemarin. Lagipula mama masih sibuk dengan Hp-nya.
“DIOOOON… Ini ada…”
Aku tidak mendengar
teriakan mama lagi. Aku sudah masuk ke gedung utama dan segera berlari menuju
ruangan yang penuh dengan teriakan anak-anak itu.
Sampai di depan pintu,
kudapati Lukas duduk di kasur nomer W9. Posisi duduk Lukas membelakangiku. Aku
mengendap-endap. Beberapa orang tua yang sedang menunggui anaknya terlihat
heran dengan kelakuanku. Biarlah.
Begitu dekat dengan
Lukas, aku langsung menyorongkan robot Ultraman persis di depan wajahnya. Lukas
tersentak. Seketika kepalanya menoleh ke arahku.
“DIOOOON??? Kau datang
lagi??? Oh, aku kangen main perang-perangan denganmu lagi, Dion.” Lukas
terbahak-bahak dan langsung memelukku. Bibirnya kerap tersenyum setelahnya,
meskipun bibir itu terlihat kian pucat saja.
“Ini buat kamu Lukas,”
Mata Lukas membesar,
“Buat aku???”
Aku mengangguk, “Tentu
saja. Ayo kita main perang-perangan lagi!”
Aku langsung naik ke
kasur Lukas. Kasur yang aku tempati tempo hari sudah ada yang menempati. Anak
perempuan. Pantas saja Lukas kelihatan bosan. Di sekolahku, anak perempuan
tidak ada yang main robot-robotan, terlebih mainnya dengan anak laki-laki yang
baru dikenal.
Semua orang tua yang ada
di ruangan pengap ini menatap ke arah kami. Mungkin kami terlalu ribut. Wajah
mereka terlihat aneh. Mereka tidak marah. Mereka hanya menautkan alis saja.
Letih bermain, aku dan
Lukas menyadarkan tubuh ke besi pembatas. Napas kami terengah-engah.
“Lukas, ibumu mana?”
Lukas menggeleng,
“Mungkin sedang ambil obat,” jawabnya. Mata Lukas masih memandangi robot
Ultraman yang dia pegang. Sesekali robot itu dia terbangkan. Senyum mengembang
di bibirnya.
Kulihat jam di dinding.
Sudah hampir jam setengah enam. Sudah hampir malam rupanya. Sudah satu jam
lebih aku main perang-perangan dengan Lukas.
“Lukas, aku pulang dulu,
ya. Semoga kamu cepat sembuh. O iya, ini kaus yang aku pinjam kemarin. Aku
kembalikan. Sudah dicuci sama mama.”
Lukas menatapku. Matanya
lain. Entah apa itu.
“Kaus itu buat kamu. Tak
usah dikembalikan. Pakai saja. Semoga dengan memakai kaus itu, kau akan selalu
ingat denganku.”
Aku tersenyum senang.
Segera kubuka kemeja yang aku pakai saat ini. Kebetulan. Kemejaku juga sudah
penuh dengan keringat. Kaus pemberian Lukas yang pernah kupinjam ini segera
kupakai. Nyaman sekali rasanya.
“O iya, terima kasih ya,
sudah membelikan ini,” Lukas menerbangkan lagi robot Ultraman-nya. Sesekali
bibirnya mengeluarkan suara tembakan beruntun.
“Baiklah, aku pulang
dulu. Mungkin mamaku sudah ketemu dengan ibumu di luar. Mama beli buah. Nanti
dimakan ya,” kulihat Lukas mengangguk.
Aku segera melompat dari
kasur dan berjalan menuju pintu. Sebelum pergi, kembali kulambaikan tangan.
Lukas membalasnya. Aku senang sekali.
Belum jauh aku
meninggalkan pintu, aku berpapasan dengan suster yang merawatku kemarin.
“Dion? Dion, kan?”
Aku mengangguk. Suster
masih ingat denganku rupanya.
“Dion menjenguk siapa?”
“Menjenguk Lukas, Bu.
Tadi kami main perang-perangan lagi. Orang-orang mungkin marah kepada kami.
Kami tadi ribut sekali,” jelasku sambil tertawa.
“LUKAS???”
“Iya. Sudah ya, Bu. Mama
saya mungkin sudah menunggu di parkiran,” aku bergegas berlari. Takut mama
terlalu lama menunggu.
Di pelataran parkir,
kudapati mama duduk di batu pembatas jalan. Motor terparkir tak jauh dari
tempat mama duduk. Ada hal yang membuatku heran. Kantong buah-buahan itu masih
belum berpindah dari gantungan motor. Kupikir mama sudah ketemu dengan ibunya
Lukas sehingga mama tidak ikut menjenguk. Dan… dan… mengapa mama menangis?
“Mama kenapa? Kok
nangis? Kok mama tidak menjenguk Lukas? Buah-buahan itu, kok…”
“Dion,” mama masih
sesenggukan saat memutus ucapanku tadi, “Dion, dengar, ibunya Lukas tadi kirim
SMS, mengabarkan kalau Lukas sudah… sudah… sudah dimakamkan tadi pagi.” Mama
menangis lagi. Mata mama lekat memandang kaus yang aku kenakan.
Nah, apa aku bilang?
Orang besar itu memang aneh. Bahasa mereka rumit dan sungguh sulit dipahami.
Bagaimana mungkin Lukas sudah dimakamkan? Barusan tadi aku main perang-perangan
dengan dia. Malah Lukas memberiku kaus ini. Oh, sungguh nyaman sekali rasanya
memakai kaus Lukas ini. Pas benar di badanku. Memakai kaus ini, aku jadi ingat
Lukas terus.
Lantas, mengapa mama
masih juga menangis?
RS Dr. Rubini, Mempawah
13 September 2013
09.10 WIB
“…sambil menunggui Rhein, malaikat kecilku yang
terbaring lemah
Cepat sembuh ya, Nak…”