Oleh : Redia Yosianto
Belum
genap setahun Arman menempati rumah mungil ini. Rumah yang hanya memiliki dua
kamar dan sedikit ruang untuk sekedar menerima tamu yang datang berkunjung.
Halaman yang tak terlalu luas namun terlihat asri dan hijau. Sejuk oleh rindang
pepohonan yang cukup terawat. Rumah sederhana yang selalu saja ia banggakan
dengan menyebutnya ‘istana’. Tentu saja. Juga tidak untuk sekedar menyenangkan
diri sendiri. Arman sungguh benar-benar bangga dengan ‘istana’nya ini. Betapapun
sederhananya itu. Ia bangga.
Tak
hendak Arman membiarkan sedikit lahan miliknya ini kosong tanpa memberikan
manfaat apa-apa. Ia sendiri yang menggagas membuat kebun sayur di halaman
belakang rumahnya. Istrinya menolak, tapi toh akhirnya tak bisa berbuat banyak.
Cukuplah Arman sendiri yang mengerjakan segalanya, tanpa bantuan istrinya,
sedikitpun. Arman sadar betul jika istrinya masih belum bisa menerima
sepenuhnya untuk tinggal dan menetap disini, di sebuah desa tempat orang tua
Arman tinggal, tempat Arman menghabiskan masa kanak-kanak dengan menjerat
burung, menangkap belut di sawah, dan menerbangkan layang-layang yang ia buat
sendiri dari kantong plastik, dulu, belasan tahun yang lalu. Anggriana,
istrinya, pernah menolak dengan terang-terangan untuk pindah dari kota ke desa yang
menurutnya sangat sepi ini. Yah,
tentu saja Arman sangat maklum akan hal itu.
Sore ini, seperti biasa,
Arman menyibukkan diri dengan merawat kebun kecil miliknya, dan milik istrinya
juga. Arman tersenyum. Pikirannya terbang kemudian hinggap ke suatu dimensi
waktu ketika ia dan Anggriana masih tinggal di kota dulu.
“Apa Mas Arman sudah
mantap untuk pindah ke tempat Ibu?” Anggriana memecah keheningan pada malam
itu, sambil tangannya sibuk melipat pakaian kering yang baru saja diangkat tadi
sore.
”Ya, tentu saja.” Arman
menimpali. ”Saya akan membuatkan Dik Anggri rumah di desa sana. Yah, walau
tidak besar, cukuplah untuk kita, Saya, Dik Anggri, dan Tari, berteduh dari
sengat panas dan guyur hujan. Bagaimana? Dik Anggri tentunya suka, kan?”
selesai berkata begitu, Arman melirik Tari, putri satu-satunya yang pulas
tertidur memeluk bantal.
Anggri menghela napas,
”Mas tidak kasihan dengan Tari?”
”Maksud Dik Anggri apa?”
”Lima tahun Tari
dibesarkan di kota, dikeramaian, dekat dengan tempat-tempat hiburan. Sebentar
lagi Tari akan masuk sekolah. Apa Mas tidak kasihan kalau Tari kita sekolahkan
di desa?”
”Maksud Dik Anggri, di
desa sekolah dasarnya tidak bagus, begitu?”
”Bukan begitu maksud Saya,
Mas.” Anggri bangkit dari duduknya, membawa setumpuk pakaian yang sudah rapi ia
lipat, menyusunnya ke dalam lemari. Sejenak kemudian ia duduk kembali
ditempatnya semula. ”Di desa kan sepi, Mas. Mas sendiri yang bilang, kan? Apa
nantinya tidak memengaruhi psikologi Tari?”
Arman tersenyum. Memang
dulu ia sendiri yang bilang kepada istrinya itu bahwa di desa tempat orang
tuanya tinggal sangatlah sepi. Jauh sekali perbedaannya dengan kota tempat
mereka tinggal sekarang ini. ”Makanya kita biasakan dari sekarang, Dik.” Arman
merebahkan tubuh disebelah kiri Tari. Dipandangnya putri tercintanya itu.
Cantik. Bahkan saat tertidur sekalipun. Dibelainya rambut Tari yang mulai
acak-acakan terbawa tidur. Keringat sedikit membasahi keningnya. Arman
mengusapnya dengan lembut. Penuh kasih sayang. ”Justru Saya kasihan kalau Tari
tetap kita rawat dan kita besarkan disini.” gumam Arman yang juga turut
didengar oleh Anggri.
Anggri sendiri seketika mengernyitkan alis,
”Maksud Mas Arman apa?”
”Apa selamanya kita akan
hidup seperti ini? Tinggal di rumah kontrakan. Fasilitas yang lazimnya setiap
rumah harus punya, kenyataannya tidak. Untuk urusan seperti mandi, cuci, kakus sekalipun kita harus rela berbagi
dan berdesakan dengan warga kontrakan yang lain. Sempit. Segalanya serba
mengantre. Mandi antre. Buang air saja harus ngantre. Bikin kamar mandi sendiri
di dalam rumah juga tidak memungkinkan. Mau kita posisikan di mana? Sementara
berapalah gaji guru lulusan Diploma seperti Saya. Dik Anggri yang selesai
Strata 1 saja masih mengeluhkan gaji guru honor yang sangat tidak memadai.
Sungguhpun gaji Dik Anggri lebih besar dari gaji saya. Di lain keadaan, kita
harus bayar sewa rumah, tagihan listrik, tagihan air, uang keamanan lah...,
uang bulanan warga lah... Mumet, pusing Saya kalau harus seperti ini sepanjang
bulan, sepanjang tahun.”
”Hubungannya dengan Tari?”
secepat itu Anggri menyela dan memenggal kalimat suaminya itu sekenanya.
”Apa Dik Anggri tidak ingin merawat Tari di rumah
sendiri? Milik sendiri?” Arman ganti bertanya pada istrinya, “Sesederhanapun
rumah itu, Mas sangat ingin kita punya rumah sendiri, punya istana sendiri.
Nantinya juga akan jadi rumah Tari juga. Biar dia tidak malu kalau ingin
mengajak kawan-kawannya belajar kelompok di rumah. ” Arman tersenyum.
“Lantas,
di desa nanti Mas mau kerja apa? Jadi guru juga? Toh gajinya kecil juga kan?
Malah jangan-jangan lebih kecil dari yang sekarang.” Anggri merebahkan tubuh
disebelah kanan putrinya. Sedang matanya masih terus menatap tajam suaminya
yang kian mesra menerawang langit-langit kamar. Entah sketsa masa depan yang
seperti apa yang sedang dilukis suaminya itu. Terkadang ia sungguh tak mengerti
jalan pikiran suaminya, yang tulus menikahinya tujuh tahun yang lalu.
“Kita akan membuat kebun kecil. Kita akan
tanam segala macam sayuran. Cabe, tomat, terung, kangkung, timun, kacang
panjang, ketela juga boleh. Selain itu Mas akan membuat kandang kecil. Kita
akan pelihara ayam. Bagaimana menurutmu, Dik Anggri?”
Anggri tersenyum. Bukan
untuk kecerdasan suaminya, melainkan untuk raut wajah suaminya yang begitu berbinar
saat melukis sketsa masa depan di kanvas imajinasinya barusan. Indah sekali.
Tapi toh ia masih tidak setuju juga.
Anggri membiarkan suaminya
berandai-andai sendiri, lebih tepatnya memberikan kebebasan untuk memberi warna
pada sketsa masa depan yang sudah hampir rambung ia lukis. Ia sendiri mulai
menghitung dalam hati. Semoga pada hitungan keseratus, ia sudah lelap tertidur,
batinnya.
Arman yang belum sadar
bahwa Anggri telahpun terlelap, masih saja mencetuskan ide-ide cemerlangnya. Ia
mulai memasukkan jagung, lada, dan kakau dalam daftar jenis tanaman yang akan
ditanam setibanya mereka di desa kelak. Juga kambing, itik, dan ikan lele,
telahpun masuk ke dalam daftar peliharaan yang ia gagas barusan. Dan juga...
“Dik Anggri? Dik? Oh,
sudah tidur rupanya.”
Arman menarik selimut yang
sudah mulai tipis pada bagian tengahnya. Diselimutinya tubuh istri dan anaknya
itu dengan penuh kasih sayang. Penuh cinta kasih. Dikecupnya kening Anggri dan
Tari bergantian. ”Selamat tidur, dua Kartini kebanggaanku...”
***
Hari libur seperti ini tentu saja tak ingin
disia-siakan oleh Arman. Sepanjang pagi ia merapikan tiang-tiang penyangga
tanaman kacang panjang di kebunnya yang sudah mulai berbuah. Lebat juga
buahnya. Barangkali sebentar lagi akan dapat dipetik. Ia tidak main-main dengan
gagasannya dulu, saat masih tinggal di rumah kontrakan, di kota. Beberapa dari
gagasan itu telahpun ia wujudkan. Rumah mungil dengan pelataran yang sejuk,
hijau, dan asri oleh beraneka bunga. Untuk masalah bunga ini tentu saja
istrinya yang mengerti betul. Selain itu, kebun kecilnya telahpun menghasilkan
berbagai macam sayuran. Terung, cabe, tomat, ketela, juga bayam sudah beberapa
kali ia panen. Ayamnya pun sudah mulai ada yang bertelur. Sungguh sebuah
pemandangan yang indah. Senang
benar hati Arman memandang segalanya itu. Arman kembali tersenyum.
Sayang, itu hanya sebentar saja.
“Saya bosan hidup seperti ini terus, Mas.“
tiba-tiba sepotong kalimat sederhana seperti ini telah menerpa dan menggoyahkan
kebahagiaan Arman. Ketegaran Anggri beberapa bulan terakhir ini sudah mulai
luntur. Runtuh oleh sesuatu yang mencekam, mengikat kesenangan dan keramaian.
Sepi.
“Dik Anggri kangen dengan suasana kota, ya?” tanya
Arman disuatu siang, saat ia beristirahat melepas lelah setelah sedari pagi
sibuk membenahi pagar kebun yang tumbang diterjang anak sapi milik Pak Nurhadi,
tetangganya.
“Bosan.“ jawab Anggri dengan intonasi mulai
meninggi. “Coba saja dulu kita tidak buru-buru pindah kesini. Kalau sudah
begini? Siapa yang harus disalahkan, coba?”
Arman mendesah panjang. Tak terpikir dibenaknya
untuk membalas dengan emosi juga perkataan istrinya barusan. Ia justru maklum
betul mengapa istrinya sampai demikian. Jika sudah begini, mulai sibuklah
pikiran Arman mencari kata-kata mesra yang kiranya mampu meredam marah istrinya
barusan.
Arman meneguk teh yang sudah mulai dingin
dihadapannya. “Tidak ada yang harus disalahkan, Dik. Ini kan sudah jadi
kesepakatan kita berdua. Kita sudah sepakat untuk mengubah hidup yang dulu
hanya begitu-begitu saja, sekarang sudah sedikit lebih baik. Dik Anggri
harusnya bersyukur, bukan malah uring-uringan seperti ini.”
”Kita sekarang punya apa, coba? Tivi kita tidak
punya, sepeda motor kita tidak punya. Ya cuma sepeda mini itu, Mas. Itu pun harus bergantian makainya. Kalau
seperti ini terus lebih baik hidup seperti dulu saja lah. Biar rumah kontrakan,
tapi kita punya tivi, punya sepeda motor.” sahut Anggri masih dengan bara
disetiap ucapnya.
”Dik Anggri,” Arman mengusap dahi istrinya,
merapikan anak-anak rambut yang jatuh begitu saja karena tak ikut terikat
dengan rambut yang lain, ”Tivi dan sepeda motor kita jual, uangnya untuk apa?
Untuk rumah, kan? Dik Anggri sabar dulu lah. Nanti kalau kita punya rezeki
lebih, kita beli lagi. Bukan begitu?”
”Kapan kita punya rezeki lebih, Mas? Kebun Mas
Arman itu hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan dapur saja. Lantas kapan
waktunya kita nabung buat beli perabotan?”
Arman menghembuskan napas panjang. ”Perabotan itu
kan bisa menyusul. Bukankah Dik Anggri sendiri yang mengusulkan agar dinding
rumah kita diganti dengan dinding semen? Yang seperti ini kan juga perlu biaya.
Uang gaji kita berdua selalu kita kumpulkan untuk memperbaiki rumah.” kembali
Arman menasehati istrinya dengan lembut.
”Halah, kalau bukan Saya yang punya inisiatif
nabung, tidak bakal rumah kita sebagus sekarang ini, Mas.”
Arman tercekat, ”Maksud Dik Anggri apa?” Arman
menajamkan pandangannya. Sungguhpun tidak dengan emosi kalimatnya barusan, tapi
jelas terlihat tidak senang juga ia mendengar kalimat istrinya yang terakhir,
pada saat seperti ini pula.
Anggri salah tingkah. Baru sadar ia kalau barusan
ia sudah salah bicara. Belum pernah rasanya ia melihat suaminya segusar seperti
sekarang. Sedang ia sendiri, sungguh, tak tahu mesti berbuat apa untuk
memperbaiki keadaan ini.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam. Eh, anak Bapak sudah pulang,”
Arman meraih kepala putrinya, kemudian mencium kening Tari dengan lembut. “Tadi
main di rumah siapa?”
Anggri sendiri tak banyak menanggapi kedatangan
Tari barusan. Ia tertegun, berusaha mengatur napas. Sungguh, sedikit banyak,
kedatangan Tari bisa meredakan ketegangan yang baru saja tercipta diantara ia
dan suaminya barusan.
“Main di rumah Widi, Pak. Ramai loh. Ada Niken,
Lastri, Tati, juga ada Nia.”
“Oya? Main apa saja tadi? Bapak tahu, pasti lagi
main masak-masakan. Iya kan?” arman mencium putrinya sekali lagi, lalu
membiarkan putrinya tersebut bercerita dengan gaya kanak-kanaknya.
”Bapak salah, hehehe...” Tari melepas tawa yang
renyah kedengarannya, ”Tadi kami main sepeda, bukannya main masak-masakan.”
Tari tertawa lagi. ”Oiya Pak, kemarin Niken dibelikan sepeda baru. Ada
goncengannya loh, Pak. Bagus deh. Tari kepengen punya sepeda juga, Pak. Kapan
Bapak belikan Tari sepeda seperti punya Niken?” lanjut Tari dengan mata
berbinar-binar. Seakan-akan nanti sore juga sepeda yang ia idamkan itu akan
dibelikan oleh Bapaknya.
Arman tersentak demi mendengar permintaan Tari
itu. Dadanya bergetar halus. Tatapnya sendiri seketika itu juga beralih kepada
istrinya yang duduk ditempatnya seperti tadi. Didapatinya istrinya itu diam
saja, menunduk, seolah tak ikut mendengarkan perbincangan antara bapak dan anak
barusan.
Arman membelai rambut Tari yang sedikit hangat. Ia tak ingin menyalahkan Tari sedikitpun
atas permintaannya tadi. Pikiran kanak-kanaknya yang menuntun ia berucap
demikian. Percuma menceritakan kepada Tari akan kesusahannya mencari uang untuk
memperbaiki ’istana’nya ini dulu, barulah nanti memikirkan akan membelikan
sepeda seperti yang anaknya kehendaki itu. Iya, percuma saja mengatakan
semuanya. Toh Tari tak akan paham juga. Tak akan tercerna oleh otak
kanak-kanaknya itu.
”Oiya, Tari tentu lapar setelah main dengan
teman-teman. Sekarang Tari maem dulu ya. Cuci tangan yang bersih.
Sebelum maem baca doa dulu. Hmmm,
tadi Ibu masak sup jagung kesukaan Tari. Ayo, cepat maem dulu.” bujuk Arman dengan penuh harap agar Tari lupa dengan
sepeda yang saat ini tentu masih panas di otaknya.
”Tapi Bapak harus janji dulu sama Tari, Bapak
harus belikan Tari sepeda.Tari ingin punya sepeda seperti punya Niken yang ada
goncengannya. Atau seperti punya Nia yang ada keranjangnya.”
Sekali lagi Arman menarik napas. ”Iya, Bapak janji
sama Tari. Ya sudah, sekarang Tari maem
dulu ya.”
Bagai anak panah yang lepas dari busur kencangnya
Tari melesat dari pangkuan bapaknya menuju dapur. Arman sungguh takjub akan hal
itu. Tentu saja hanya sepeda baru yang membuat anaknya berlaku seperti itu. Dan
ini sungguh membuat dada Arman sedikit sesak. Kini bebannya bertambah lagi.
Beban ini sudah terucap sebagai janji pula.
”Mas dengar sendiri kan, permintaan Tari tadi?
Anak kita saja sudah paham akan kebutuhan, sungguhpun itu hanya menurut porsi
bermainnya saja. Apa Mas tidak kasihan jika melihat hanya Tari seoranglah yang
tidak punya sepeda diantara teman sepermainannya?” Anggri menggerutu lagi.
Arman meremas rambutnya sendiri. Berkali ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Padahal baru beberapa waktu yang lalu ia
tersenyum demi melihat segala apa yang ia usahakan dapat tumbuh subur, berbuah,
berkembang biak, dan tentunya sebentar lagi akan bisa dipanen. Tapi beberapa
saat setelahnya ia seperti dihantam badai. Istri dan anaknya justru yang
menjadi badai itu. Tak dapat juga ia menyalahkan segala macam pinta mereka.
”Dik Anggri, sungguh Mas minta maaf. Sejak tujuh
tahun kita menikah, Mas belum bisa memberikan apa-apa yang kiranya pantas
didapatkan oleh seorang istri. Selama tujuh tahun itu, Mas hanya melibatkan Dik
Anggri bekerja saja, mencari sedikit demi sedikit nafkah untuk menyambung hidup
setelah hari ini. Barangkali Dik Anggri mengira Mas tidak memperhatikan
kebutuhan lain seperti apa saja yang Dik Anggri inginkan. Kalau begitu
pemikiran Dik Anggri, tentu Dik Anggri salah. Mas juga ingin memberikan sesuatu
yang kiranya bisa membuat Dik Anggri tersenyum. Sayang, sampai saat ini Mas
belum bisa mewujudkan itu.” Arman meneguk sisa teh di dalam cangkir yang ada
dihadapannya.
”Sampai sejauh ini,” lanjut Arman lagi, ”Selama
tujuh tahun kita mengayuh perahu pernikahan, Mas hanya bisa memberikan rumah
kecil yang barangkali di mata orang lain adalah kandang. Benar kata Dik Anggri
tadi. Jika bukan karena usaha Dik Anggri menabung, tentu tak akan jadi seperti
itu bagusnya rumah kita. Tentu saja demikian. Mas juga maklum karena gaji Dik
Anggri sebagai guru SMP tentu lebih besar ketimbang gaji Mas yang hanya diberi
kesempatan mengajar di sekolah dasar saja. Tapi Mas tidak akan berdiam diri saja. Mas
berusaha mencari tambahan dengan cara berkebun. Nyatanya, Dik Anggri tak pernah
sekalipun membantu. Tak apa-apa buat Mas. Pikiran Mas, asal jangan Dik Anggri
menuntut dulu yang macam-macam seperti tadi. Tapi toh nyatanya tercetus juga
dari bibir Dik Anggri apa yang Mas kuwatirkan.”
Arman menekan kuat-kuat agar jangan
sampai air matanya menetes. Sungguhpun amat susah payah ia melakukan itu.
“Untuk semuanya tadi, sekali lagi Mas minta maaf. Memang Mas belum bisa
memberikan apa yang disebut sebagai kebahagiaan kepada Dik Anggri. Tapi Mas
janji, Mas akan bekerja lebih giat lagi. Mas akan belikan Dik Anggri tivi,
barangkali sepeda motor juga. Agar sewaktu akan pergi mengajar, kita tidak bergantian lagi menggunakan
sepeda mini kita itu.”
Arman tersenyum menatap istrinya yang menunduk
kian dalam saja. “Dik Anggri, sudah waktunya sholat. Mari kita jama’ah. Mungkin Tari juga sudah selesai
makan. Setelah itu kita berdua makan bersama.”
Anggri tak juga kunjung bicara. Ia sungguh ingin mengatakan sesuatu, tapi
tak akan kuat jika ia mengatakannya sekarang.
***
Sore itu, seperti yang sudah-sudah, Arman
tenggelam kembali dengan pekerjaannya merawat kebun yang sebentar lagi akan
masuk masa panen. Bibirnya senantiasa bersenandung. Tak dihiraukannya lagi
matahari yang sengatnya masih sangat panas, sungguhpun hari sudah sore.
Diikatnya batang-batang pohon sayur kacang panjang yang lepas dari tiang-tiang
penyangga. Hal ini tentu karena buah sayur kacang panjang itu sangat lebat,
sehat besar-besar dan berisi. Sangat senang hati Arman memandangnya.
Kembali ia bersenandung. Tak diingatnya lagi hal
istrinya kemarin. Bahkan sekarang ia sudah bisa tersenyum lagi. Di dalam
hatinya tak berhenti mengucap syukur kepada Tuhan yang masih memberinya rezeki
sampai saat sekarang ini.
(*)
Istriku,
marilah kita tidur, hari telah larut malam
lagi,
sehari kita lewati, meskipun nasib semakin tak pasti...
lihat
anak kita tertidur menahankan lapar
erat
memeluk bantal dingin pinggiran jalan
wajahnya
kurus pucat, matanya dalam...
Istriku,
marilah kita berdo’a, sementara biarkan lapar terlupa
seperti
yang pernah ibu ajarkan: Tuhan bagi siapa saja
meskipun
kita pengemis pinggiran jalan
do’a
kitapun pasti Ia dengarkan
bila
kita pasrah diri, tawakal...
Esok
hari, perjalanan kita masih sangatlah panjang
mari
tidurlah, lupakan sejenak beban derita
lepaskan...
Tuhan,
selamatkanlah istri dan anakku
hindarkanlah
hati mereka dari iri dan dengki
kepada
yang berkuasa dan kenyang ditengah kelaparan
oh...
hindarkanlah mereka dari iri dan dengki
kuatkanlah
jiwa mereka
Bimbinglah
di jalan-Mu...
Bimbinglah
di jalan-Mu...
”Mas Arman,” Anggri menyapa suaminya, sesaat
setelah suaminya itu menghentikan
senandungnya tadi.
”Eh, Dik Anggri,” senyum Arman segera mengembang.
”Minum dulu, Mas. Pasti Mas Arman haus sekali.”
diangsurkannya kepada suaminya itu segelas es teh yang baru saja ia buat.
Sesaat wajah Arman mengguratkan keheranan yang
teramat sangat. Tapi itu sebentar saja. Lalu sejenak kemudian diterimanya es
teh segelas itu dengan suka cita yang amat sangat pula. Diteguknya hingga
setengah. ”Alhamdulillah, segar sekali.” ucapnya tegas. ”Terima kasih ya, Dik.
Es ini sungguh nikmat. Barangkali karena dibuat dengan penuh kasih sayang
sehingga terasa begitu segar dan nikmat luar biasa.” Arman memuji istrinya.
Segera saja dilihatnya pipi Anggri bersemu merah.
”Pandai benar Mas Arman menyentuh hati Saya,” ucap
Anggri disela senyumnya yang sedikit tertahan.
Arman mengacak-acak rambut istrinya itu, kemudian
mencubit pipinya. Keduanya sama-sama tertawa setelah itu.
Sepi sejenak. Tawa keduanya telah reda.
”Mas Arman, Saya minta maaf atas kelakuan Saya
kemarin yang sangat tidak pantas itu.” intonasi Anggri mulai menurun, seiring
tatapannya yang kian menunduk. ”Entah setan apa yang menghasut saya kemarin,
sampai-sampai Saya tega menghujat Mas dengan kata-kata yang amat menyinggung
perasaan Mas Arman. Untuk itu Saya benar-benar minta maaf.” Anggri duduk
disebelah Arman, menyandarkan kepalanya ke pundak Arman, suaminya itu.
”Mas Arman bilang bahwa Mas belum memberi Saya
apa-apa. Mas salah akan hal itu. Mas sudah memberi Saya banyak hal yang sangat
berarti buat Saya, buat kesenangan Saya. Mas sudah bersedia menikahi saya,
merawat saya, anak yatim ini. Itu saja sudah membuat saya bahagia. Lebih lagi
Mas sudah memberikan Saya hadiah yang tak terkira nilainya. Tari, anak kita itu, merupakan karunia
yang sangat luar biasa bagi Saya. Selama enam tahun sudah Mas memberikan kepada
saya gelar yang amat membahagiakan bagi seorang perempuan, yaitu gelar ’ibu’.
Belum sempurna kebahagiaan seorang perempuan jika ia belum dipanggil ’ibu’ oleh
anak kandungnya. Sedang Saya sudah enam tahun menerima kepercayaan Mas untuk
merawat Tari. Saya bahagia sekali, Mas.”
Anggri mengusap peluh didahinya sejenak, ”Lain
dari itu semua, Mas Arman sudah membuka pikiran saya. Benar kata Mas dulu.
Andai kita tetap tinggal di kota, bukan mustahil kita tetap tinggal di
kontrakan, tak punya rumah sendiri. Beruntung Saya memiliki suami yang bijaksana seperti Mas Arman. Mas
sudah mengajak saya pindah ke desa ini, membangun ’istana’ yang akan melindungi
kita dari sengat panas dan guyur hujan. Sungguh kecil, toh itu milik kita juga.
Akan kita apa-apakan ’istana’ itu, tak akan ada yang marah. Kebun ini juga,
meskipun Saya tidak pernah ikut campur, tapi Mas selalu semangat mengerjakannya
sendirian. Sekarang mulai terbuka mata Saya akan hasil yang sudah Mas
perjuangkan mulai dari tidak ada sama sekali ini. Entahlah, dengan cara apa
saya harus meminta maaf kepada Mas Arman atas sifat saya yang durhaka kemarin.”
Arman mendekap tubuh istrinya dengan perlahan.
Diusapnya rambut istrinya itu, lalu dikecupnya. ”Dik Anggri ngomong apa, sih?
Sudahlah, sekalipun juga Mas tidak pernah marah. Masalah kemarin itu Mas sudah
maklum, kok. Malah Mas sudah lupa.” ia tersenyum, seraya dikecupnya sekali lagi
rambut istrinya itu.
”Oiya Mas, masalah tivi dan sepeda motor kemarin
jangan Mas pikirkan lagi. Lupakan saja. Sekarang mari kita bahu-membahu
membenahi ’istana’ kita, kemudian kita pikirkan bagaimana Tari bisa punya
sepeda yang ada keranjangnya.” Anggri tersenyum manis.
”Wah, iya. Mas sampai lupa kalau Tari minta
dibelikan sepeda. Maklumlah urusan sepeda itu sampai terlupakan, soalnya
konsentrasi Mas bukan sepeda, melainkan yang agak besar sedikit, yang ada
mesinnya. Ehmmm, sepeda motor.” canda Arman sambil tersenyum.
”Ah, Mas Arman ini ngeledek Saya, ya? Ha? Hayo,
ngeledek lagi?”
Susah payah Arman menghindari cubitan kecil dari
istrinya yang terus menghujaninya itu. Sesekali Arman mengaduh, tapi toh tak
juga dipedulikan oleh Anggri.
”Bilang ’ampun’ dulu baru Saya tidak mencubit
lagi.”
”AMPUUUNNN...”
Canda itu berkesudahan juga akhirnya.
”Ehmmm, Dik Anggri, Mas mau kerja dulu ya. Tinggal
beberapa pohon sayur kacang panjang lagi yang belum Mas ikat. Sebelum senja
turun, semoga sudah selesai semua pohon-pohon itu Mas ikat ke tiang-tiang penyangganya. Dik
Anggri berteduh saja di bawah pohon jambu air itu.”
Wajah Anggri mendadak berubah menjadi masam. ”Mas
gak kepengen ngajarin Saya mengikat pohon kacang panjang ini?”
”Memangnya Dik Anggri mau?”
Anggri tersenyum kembali. ”Bukankah pekerjaan ini
akan semakin cepat selesai jika kita kerjakan berdua? Jadi, sebelum senja turun
kita sudah bisa beristirahat. Nanti saya buatkan es teh lagi. Bagaimana?”
Arman tersenyum. Binar dimatanya kian terang.
”Baiklah. Jadi cara mengikatnya begini...”
Anggri tertegun disebelah suaminya, benar-benar
memperhatikan apa yang diajarkan oleh suaminya itu.
Pontianak, April 2009
Catatan:
(*) lirik
lagu Ebiet G. Ade yang berjudul
‘Nasehat
Pengemis untuk Istri dan Do’a untuk Hari Esok’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar