Mobil
kami, maksudku mobilnya Bang Re, udah masuk di pelataran rumah pakdhe-nya.
Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku, pukul empat belas lewat dua puluh
tujuh menit. Masih siang. Berarti tadi kami tidak terlalu laju. Soalnya, kata Bang
Re, kalo kami laju, jam dua belas udah nyampe. Gila!!!
Aku
sempet dibuat takjub dengan sambutan yang kami dapat. Semuanya menyambut. Alam
nyambut kedatangan kami dengan sejuknya, dengan semilir anginnya, dengan merdu
kicau burungnya, dengan bebukitan hijaunya, dengan segala ketentramannya. Kotek
ayam yang berebut makanan di pelataran itu sungguh mengajak kami untuk
menikmati sajian alam yang tenang ini, yang damai ini. Suara ayam, hanya suara
ayam, tak ada suara deru kendaraan yang riuh. Tak ada bising suara yang keluar
dari knalpot motor.
Keluarga pakdhe-nya Bang
Re nyambut kedatangan kami dengan segala keramahannya. Kulihat, gak ada yang
gak senyum. Semua senyum. Pakdhe senyum. Istri pakdhe senyum. Anaknya pakdhe
senyum. Dan… pemuda di sebelah anaknya pakdhe juga senyum. Olalaaaaa. Manis
sekali senyum pemuda ini. Sungguh, aku kesengsem. Aku suka. Iya, aku suka, jika
terlalu dini untuk bilang aku jatuh cinta. Apakah dia keponakan pakdhe? Atau
dia ini anaknya pakdhe juga?
Bang
Re tampak takzim sungkem ke pakdhe. Diciumnya tangan pakdhe dan budhe. Kami
hanya bisa menebar senyum sebelum sampai giliran kami untuk bersalaman. Kulihat
Tetty senyum-senyum sama istri pakdhe. Leli manyun. Sebentar-sebentar memegang
pelipis. Yesi senyum-senyum ngelihat Tetty senyum-senyum. Aku? Aku pengen
senyum-senyum sama pemuda itu. Tapi kok dia gak lihat ke sini sih? Padahal aku
udah berusaha menarik perhatiannya. Mulai dengan pura-pura menjatuhkan bungkus snack, pura-pura berdehem, pura-pura
gatel dan garuk-garuk dengkul. Tapi percuma aja. Pemuda itu malah sibuk
melototin Bang Re yang sungkeman sama pakdhe. Ah…
“Mbak
Ajeng apa kabar?”
Bang
Re bersalaman dengan anak pakdhe. Aku tau nama anak pakdhe juga dari Bang Re.
Ah, aku hanya nunggu Bang Re nyebutin atau manggil nama pemuda itu.
“Mas
Handoyo, apa kabar?”
Oooooo,
namanya Handoyo ya? Aduuuh, kok pipiku jadi panas gini sih? Baru tau kalo jatuh
cinta itu selain dari pandangan pertama kali juga ada yang dari mendengar nama saat
disebutkan pertama kali. Ini, ini buktinya. Aku mesem. Mudah-mudahan gak ada
yang lihat.
“Ini
teman-teman saya, Pakdhe,”
Oke, saatnya tebar
pesona. Bang Re udah ngasih jalan yang sangat bagus. Teman-temannya? Oooh,
bagus sekali. Dengan begitu kami akan menyebutkan nama masing-masing kayak anak
SD lagi di absen.
“Saya Tetty,”
“Yesi, Pakdhe,”
“Saya Laily,”
Siiip, semua udah
nyebutin nama sambil mencium tangan pakdhe dan istrinya. Malah mereka juga udah
salaman sama Ajeng dan si pemuda tampan juga. Sekarang tentu saja giliran si
putri salju. Pemeran utama kan selalu muncul belakangan. Biasanya sih diiringi
dengan aktor utama yang tercengang karena kecantikan aktris utama yang muncul
belakangan tadi. Aihhh, indahnya. Aku sering lihat yang beginian di sinetron
dan film kartun.
“Nama saya Ayu. Lengkapnya Lituhayu Handayani.
Saya temennya Bang Re. Satu kHandoyor, Pakdhe,” ucapku berbasa-basi. Sangat
manis dan menawan, bukan? Tapi, tapi kok Tetty dan Yesi senyum-senyum gitu sih?
Apa ada yang salah?
“Kalian pasti sangat
lelah. Duduklah dulu. Istirahat sejenak. Selonjorkan
kaki dulu. Nanti Ajeng akan membuatkan minuman untuk kalian. Setelah itu,
kalian bisa mandi dan melanjutkan istirahat.”
Tuh, pakdhe aja gak ada masalah
dengan intro perkenalanku tadi. Malah beliau baik banget. Iiiiih, kok Yesi masih
senyum-senyum sambil lirik-lirik aku gitu sih? Pake colek-colekan lagi sama
Tetty. Lama-lama aku gampar juga itu anak.
“Nggggg, Mas Handoyo ini
abangnya Ajeng ya, Pakdhe?” Aaaah, canggih sekali aku ini. Keren, kan? Pinter
banget aku membuka percakapan. Biasa laaaah, mencairkan suasana yang kaku aja
kok.
“Bukan. Handoyo ini
anaknya Pakdhe Seno. Itu rumahnya di sebelah, yang cat rumahnya warna hijau
muda. Handoyo ini dari kecil memang sudah kerasan di sini. Dari dia baru
belajar jalan. Dari Ajeng belum lahir malah. Makanya itu, banyak yang bilang
kalau Handoyo ini abang kandungnya Ajeng. Lha
wong yang ngasuh Ajeng ini ya Handoyo. Iya to, Nak Handoyo?”
Ooooh, si tampan itu
mengangguk. Sumpah, ngangguknya aja cool
banget. Elegan. Ngangguk yang berkelas tuh ya seperti itu. Membenarkan tapi gak
terlalu bersemangat. Bikin aku tambah klepek-klepek
aja nih anak.
“Pakdhe Seno itu sahabat
saya. Dulu kami sama-sama berjuang membebaskan Irian Barat. Setelah Irian Barat
jadi bagian dari NKRI, kami memutuskan untuk sama-sama pensiun dari tentara.
Malahan, kami juga sama-sama memutuskan untuk mencari penghidupan yang baru di
luar Pulau Jawa. Kami ikut transmigrasi. Kalimantan Barat adalah pilihan kami.
Akhirnya ya disini ini kami menghabiskan hari tua.” Pakdhe Warno melanjutkan
ceritanya. Kisah persahabatan yang sungguh membuat aku takjub.
Ajeng keluar sambil
nenteng nampan berisi enam gelas teh panas. “Monggo, sambil diminum. Jangan
khawatir dengan teh panas ini. Walaupun panas, tetep enak kok diminum
siang-siang gini. Dicoba saja kalau ndak percaya.”
Kami semua tersenyum. Si
pemuda tampan itu juga. Huaaaaaaa… kalopun teh yang disuguhin Ajeng barusan itu
pahit, aku gak keberatan kok meminumnya. Kupikir, meneguk teh pahit asal sambil
ngelihat senyum Mas Handoyo, pasti akan jadi manis. Salting, aku salting
sesalting-saltingnya.
“Mbak Laily kenapa to? Kok dari tadi saya perhatikan nunduk
terus? Sakit ya?”
Demi Tuhan, teh dalam
lamunanku tumpah dan ngalir entah kemana. Teh ini jadi benar-benar pahit
rasanya. Pahit sekali. Gelasnya hancur berkeping-keping, seperti perasaanku
yang remuk redam. Dari tadi aku emang nungguin Mas Handoyo ngomong. Sekali
ngomong, suaranya sungguh merdu. Merduuuuuuuuuuuuu sekali. Tapi, tapi kenapa
mesti Leli yang diajak ngomong? Dan, what?
Mas Handoyo merhatiin Leli? Sejak tadi? Ooohhh, bahkan Mas Handoyo tau persis
Leli yang nunduk terus. Sedang aku? Aku yang pura-pura jatuhin bungkus snack, aku yang pura-pura garuk-garuk
dengkul, aku yang… aaaaah, apa semua itu gak kelihatan olehnya? Tuhan, adilkah
ini?
“Biasa itu Mas, mabok
dia. Tadi saja di jalan sudah dua kali dia muntah. Beuuuhhh.”
Itu barusan Bang Re yang
komen. Aku udah gak niat untuk berbasa-basi lagi. Malah kalo bisa, aku pengen
pulang aja ke Pontianak. Cintaku udah pupus, udah layu sebelum berkembang.
“Oh, mabok to? Sebentar ya Mbak Laily, saya
bikinkan wedhang asem. Nanti setelah
Mbak Laily minum wedhang asem buatan
saya, pasti langsung seger lagi. Sebentar ya,”
Aku cuma bisa ngiringi
perginya Mas Handoyo sambil manyun. Dalam hati aku cuma bisa berdoa, semoga
Tuhan menciptakan penyakit mabok ketika ngobrol seperti sekarang dan semoga
akulah orang pertama yang mengidap penyakit itu. Hiks… aku juga kepengen
dibikinkan apa itu tadi? Wedhang asem
ya? Mauuuuuuu…
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar