Pakdhe
warno mematung di depan pintu. Beberapa jam lagi rombongan Re akan sampai.
Semakin dekat waktunya, rasanya semakin tidak tenang saja perasaannya.
Bermacam-macam ketakutan sesekali menghantui.
Nun
dikejauhan, di atas bukit yang tidak terlalu tinggi, tampak vila milik Pakdhe
Warno yang berdiri dengan segala misterinya. Segalanya telah berubah. Kalau
dulu vila itu sungguh gagah jika dipandang dari rumahnya ini, tapi tidak untuk
sekarang. Sekarang yang ada hanyalah kesan menyeramkan. Angker. Entahlah.
Mungkin karena jarang lagi ada yang mau tidur di situ.
“Pak’e
kenapa to?”
Pakdhe Warno tersentak.
Sungguh kentara sekali kalau dia memang benar-benar terkejut. Terkejut yang
sangat, “Kamu ini Nduk, bikin kaget
Bapak saja.”
Ajeng tersenyum, “Ya
habis Pak’e dari tadi melamun saja. Tak kirain Pak’e tidur sambil berdiri.”
“Bapak lagi memikirkan
vila kita itu,” Pakdhe Warno menunjuk vila dikejauhan sana hanya dengan isyarat
tatapan mata, “Bapak khawatir nanti Re dan teman-temannya memaksa untuk menginap
di sana.”
“Khawatir kenapa to? Kok Ajeng ndak ngerti dengan maksud
Pak’e.”
Pakdhe Warno diam.
Perlahan dia beranjak meninggalkan ambang pintu. Direbahkannya tubuhnya ke
dipan bambu yang ada di sebelah pintu, yang dia buat memang untuk sekedar leyeh-leyeh.
“Pak’e belum jawab
pertanyaan Ajeng,” Ajeng duduk di sebelah bapaknya yang rebahan.
“O iya, kamu sudah
menyiapkan kamar, Nduk?”
Ajeng cemberut karena pertanyaannya malah
dijawab dengan pertanyaan balik oleh bapaknya, “Sudah, Pak’e. Kamar sudah siap.
Malah vila juga sudah siap. Sudah Ajeng bersihkan.”
“APA???” Pakdhe Warno
bangkit dari rebahnya, “Kamu membersihkan vila, Nduk? Sama siapa? Kok Bapak ndak dikasih tau?”
“Bertiga Pak’e, sama Mas
Asmawi dan Mas Handoyo. Mas Asmawi yang bersihkan rumput. Mas Handoyo yang
bersihkan vila.”
“Terus, kamu sendiri
bersihkan apa?”
“Ajeng ya jadi
mandornya, Pak’e.” Ajeng cekikikan setelahnya.
Pakdhe Warno
geleng-geleng kepala. “Padahal itulah senjata Bapak agar mereka tidak jadi
menginap di vila. Bapak sengaja membiarkan vila dalam keadaan kotor. Eeeeh, kok
malah kamu sama Handoyo dan Asmawi yang membersihkan.”
“Pak’e marah?”
Pakdhe Warno
geleng-geleng kepala.
“Terus kenapa kok Pak’e
khawatir?”
Pakdhe Warno mendengus,
“Ya soal hantu perempuan itu to, Nduk.
Soal apalagi?” Pakdhe Warno merebahkan tubuhnya lagi.
Ajeng tersenyum, “Pak’e
terlalu mendramatisir keadaan. Hantu perempuan itu ndak ada, Pak’e. buktinya?
Ajeng sama Mas Handoyo ndak ketemu sama siapa-siapa. Mas Asmawi juga. Vila
dalam keadaan aman kok. Mungkin cerita itu disebarkan sama orang-orang yang iri
saja Pak’e. Tapi ndak tau juga sih.”
Pakdhe Warno
mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan, “Kok Asmawi mau kamu ajak membersihkan
rumput di sekitar vila? Apa dia ndak kumat, Nduk?”
“Lha wong yang ngajak Mas Asmawi itu Mas Handoyo kok, Pak’e. Kalau
Ajeng ya ndak berani to. Takut dia
kejang-kejang lagi kayak kapan hari itu. Serem banget Pak’e.”
“Terus, kerjaannya
rapi?”
Ajeng mengangguk, “Iya
Pak’e, rapi banget. Mas Handoyo saja sampai kagum. Kata Mas Handoyo, Mas Asmawi
itu kalau lagi kerja kok sepertinya sama sekali ndak mirip orang yang kurang.
Kerjanya rajiiiin bener. Bersih lagi. Yaaaaa, ndak semua tempat sih yang dia
bersihkan. Rumput di belakang vila yang agak di sebelah kanan itu masih tinggi.
Mungkin dia capek.”
Pakdhe Warno termenung
beberapa jenak. Tingkah laku Asmawi segera menguasai pikirannya. Apa yang
barusan diceritakan oleh anaknya ini memang aneh. Jangankan diajak membersihkan
rumput, kadang-kadang jika ditanya soal vila saja dia bisa mengamuk dan
kejang-kejang. Lha, ini?
“Ibumu kemana, Nduk?”
“Ke ladang. Tadi sih
katanya mau panen cabe. Kemaren waktu Ajeng ke ladang, Ajeng lihat beberapa
buah pepaya sudah mulai kuning. Mungkin sekarang sudah bisa dipetik. Jagung
muda juga lagi enak-enaknya untuk direbus. Ndak tau kalau ketela pohon. Apakah
sudah ada yang bisa digoreng apa belum.”
“Lha, yang di belakang gubuk kan ada. Kalau ndak salah Bapak, masih
ada sekitar lima atau enam batang ketela yang sudah pas untuk diolah.”
Ajeng meringis, “Eh iya,
Ajeng lupa kalau di belakang gubuk ada pohon ketela. Ajeng pikir pohon ketela
kita hanya yang di batas lahan itu saja.” Ajeng bangkit dari duduknya, “Ajeng
mau nyusul ibu, Pak’e. siapa tau barang bawaan ibu nanti banyak. Kan Ajeng bisa
bantu bawa.”
Pakdhe Warno hanya
mengangguk seraya tatapan matanya turut mengiringi tubuh Ajeng yang sejenak
kemudian hilang di balik rumah. Pikirannya kini kembali ke Asmawi dan vila.
Entahlah. Dia yakin benar kalau Re dan teman-temannya ndak akan betah tinggal
di vila itu. Apakah yang seperti ini yang sering disebut orang dengan firasat?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar