Entah
kenapa kok rasanya hati saya ini ndak tenang. Ajeng ini loh, kok ada-ada saja.
Bisa-bisanya dia itu menemukan kunci vila yang sudah tak umpetin. Kok pakai acara membersihkan vila segala. Walah,
memang nyari penyakit bocah itu. Nanti kalau beneran si Re minta tidur disini
bagaimana coba? Ya ndak tega to saya
melarangnya. Lha wong vila sudah
bersih dan rapi begini. Alasannya melarang apa coba? Ndak ada lagi, to? Ah, Ajeeeng Ajeng.
Tapi
kalau sudah bersih begini, vila ini memang menyenangkan. Rasanya segar. Adem.
Mau tidur di kamar juga ndak panas meskipun siang-siang begini.
Rumput
juga sudah dipangkas dengan rapi. Bersih. Memang bener apa yang dikatakan Ajeng
tadi. Asmawi itu kalau kerja kok ya rapi begini. Kayak bocah ndak ada
kurang-kurangnya. Buktinya ya ini, rumput di halaman vila ini. Bersih. Rapi.
Bunga-bungaan juga jadi kelihatan lagi. Ndak kayak kemarin. Semua bunga kalah
oleh tingginya rumput.
Saya
mulai mikir, tepatnya mengingat-ingat, sudah berapa lama saya ndak menjenguk
vila ini. Sejak kejadian terakhir yang melibatkan beberapa orang peneliti dari
universitas, saya tidak pernah berkunjung ke vila ini lagi. Beberapa bulan yang
lalu memang ada sekelompok anak muda yang menyewa vila. Mereka akan meneliti
derajat keasaman tanah atau apalah itu istilahnya. Saya lupa. Tapi yang saya
ingat betul, mereka menginap di vila hanya dua malam dari total seminggu yang
mereka sewa. Empat dari tujuh orang yang menginap mengaku diganggu sama hantu
perempuan.
Rasanya sulit sekali
mengatakan kalau mereka itu bohong soal hantu perempuan itu. Waktu itu wajah
mereka nyata sekali ketakutan dan tegang. Saya dapat merasakannya. Bahkan salah
satu dari mereka sampai trauma. Apakah hal ini dibuat-buat? Kalaupun iya,
apakah bisa sesempurna itu sandiwara mereka? Rasanya tidak.
Lantas bagaimana dengan
pendapat Ajeng? Apakah benar ada orang yang iri sama keluarga saya? Kalau
memang benar, apa yang mereka irikan? Soal vila kah? Ada apa dengan vila saya
sebelumnya? Saya rasa saya ndak pernah punya masalah dengan warga. Atau… ah,
kok saya jadi mumet begini.
Saya jadi penasaran sama
suasana di dalam vila. Bagaimana suasana di dalam sana sekarang? Apa saja yang
sudah dibersihkan sama Ajeng dan Handoyo? Rasa penasaran ini semakin membuat
saya tergesa menuju ambang pintu. Saya masukkan anak kunci ke gembok yang
mengatup rapat. Agak seret memang. Tapi toh bisa dibuka juga.
Saya mulai melangkahkan
kaki ke dalam. Benar saja. Ruangan di vila sudah bersih. Perabotannya juga
tertata dengan rapi. Begitu juga kesan yang saya dapat ketika saya menilik satu
persatu kamar yang ada di vila ini. Bersih dan rapi. Saya senang. Pelan-pelan
pikiran saya soal hantu perempuan itu mulai hilang terkikis. Mana ada to hantu yang kerasan tinggal di tempat sebersih dan serapi ini? Atau mungkin
saya saja yang ndak pernah ketemu hantu di tempat yang bersih? Ah, mungkin juga
begitu.
Saya sudah menjelajahi
seluruh sudut ruangan di vila ini. Semua aman-aman saja. Maksud saya, aman dari
segala kekotoran. Saya tersenyum sendiri saat membayangkan andai saja saya
bertemu dengan hantu perempuan yang sering diceritakan oleh orang-orang yang
menyewa vila saya ini. Apakah hantu itu memang ada? Kalau memang ada, bagaimana
wujudnya? Seperti apa suaranya? Ah, yang namanya misteri itu ya selalu saja
begini, sering bikin penasaran.
Saya membuka pintu
belakang. Saya berjanji ini yang terakhir. Setelah menilik halaman belakang ini
saya akan pulang untuk bersiap menyambut rombongan Re.
Udara yang berhembus
masuk semakin membuat suasana adem. Siapa sih yang ndak betah tinggal disini?
Suasananya nyaman begini kok dibilang ada hantunya. Ada-ada saja.
Halaman belakang tampak
bersih juga. Rumput yang tumbuh kentara benar baru saja dipangkas. Rapi. Hanya
yang di pojok sebelah kanan itu masih tinggi. Kira-kira seperut orang dewasa.
Mungkin kata Ajeng benar kalau Asmawi sudah capek.
“Rupanya Pak’e disini
to?”
Saya tersentak. Saya
kaget, benar-benar kaget, “Ajeng???”
“Saya cari-cari di rumah
sampai ke belakang, Pak’e ndak ada. Saya kira Pak’e ada di kebun. Rupanya ndak
ada juga. Taunya disini.”
“Ada apa to?”
“Itu, tadi bu’e memetik
nangka muda dari ladang. Nah, seperti biasa lah, Pak’e disuruh bu’e ngupas
kulit nangka. Bu’e mau masak sayur gudeg.”
Saya berdecak, “Ibumu
itu ya selalu begitu. Ngupas kulit nangka saja ndak bisa.”
“Bukan ndak bisa, Pak’e.
Mungkin bu’e males kena getahnya.”
“Lha iya, itu dia,
males. Ah…”
“Ya sudah Pak’e, cepet
pulang. Nanti Ajeng yang dimarah bu’e, dikira ndak ketemu nyari Pak’e.”
“Iya… iya, ah…”
Setelah saya mengatakan
kalau saya akan pulang secepatnya, Ajeng langsung pamit mau pulang duluan.
Katanya mau bantu-bantu ibunya masak. Saya pun bergegas mengunci pintu. Pintu
belakang, pintu kamar, pintu kamar mandi juga, terakhir pintu depan, semua saya
kunci dengan baik. Saya bergegas pulang dengan hati yang senang. Saya tidak
menemukan sesuatu yang aneh di vila saya ini. Tapi tetap saja misteri itu
selalu membuat penasaran. Jujur, saya masih penasaran dengan hantu perempuan
yang sering jadi bahan cerita warga itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar