Di
depan, laut menghampar tenang. Permukaannya yang tertimpa sinar matahari senja
tampak berkilauan. Sesekali riak-riak kecil mesra mencumbui bibir pantai yang
kering. Pasir putih yang terhampar, tampak sesekali basah dan sedikit berbusa.
Ketenangan
ini memang begitu melenakan. Tak ada suara debur ombak yang pecah setelah
menghantam karang. Tak ada jerit anak-anak yang biasanya berlarian dan ribut
memperebutkan bola. Tak ada juga suara tangis bocah yang tidak suka bila istana
pasir yang ia bangun dengan susah payah, dirusak begitu saja oleh kakak atau
abangnya yang usil. Semua tampak senyap. Sesenyap camar yang melenggang tanpa
suara. Sesenyap perahu-perahu yang terikat diam dalam temaram.
Desah
kecil terhembus begitu saja dari bibir Alan, lelaki yang sejak tadi tak henti
mengamati kesunyian laut dihadapannya itu. Kerindangan pohon kelapa cukup
membuatnya merasa nyaman dan sejuk. Sesekali kantuk datang menyergap. Tapi cepat-cepat ia usir dengan paksa. Ia
tak boleh tertidur, pikirnya. Sebab kali ini ia tidak sedang berlibur bersama Lisa,
putrinya yang berumur lima tahun, dan Mira, mantan istrinya.
Mira?
Alan selalu menarik napas
dalam-dalam setiap kali nama itu muncul dikepalanya. Sudah sebulan ini ia
melakukan hal itu. Perceraiannya dengan Mira begitu membuatnya terpukul. Tidak,
bukan dia saja yang menderita. Lisa juga. Meski ia sendiri tak bisa menutupi
dan membohongi perasaannya bahwa ia sebenarnya belum siap kehilangan istrinya
secepat ini. Betapa ia ingin teriak sekuat tenaga sekarang ini. Meneriaki laut
yang diam tanpa ombak, meneriaki pantai yang sepi tanpa tingkah anak-anak. Ia
ingin melepaskan semua beban. Bukankah itu sesuatu yang wajar, pikirnya. Air mata bukan hanya milik perempuan saja.
Bukankah laki-laki juga boleh menangis?
Alan melirik jam dipergelangan tangan kirinya. Enam
belas lebih tiga puluh delapan menit, desisnya pelan. Sejenak kemudian ia sudah
berdiri tegak, menyapu sekeliling dengan tatapannya yang tajam. Puas ia
mencari, tak ada tanda-tanda seseorang yang ia tunggu akan segera datang. Ia
menghempaskan diri kembali ke tempat semula. Diputuskannya untuk menunggu
setengah jam lagi.
”Mas Alan,” seseorang
menyapanya pelan.
Alan berdiri dan mencoba
bersikap biasa saja. Sayang, ia gagal. Matanya sama sekali tidak tertuju kepada
orang yang menyapanya barusan, melainkan lebih kepada Strada silver yang
terparkir tak jauh dari tempatnya menunggu sekarang ini. Mata itu semakin
jalang ketika mendapati sosok lelaki keluar dari Strada silver tadi dengan
penuh ketenangan, setenang laut saat senja kali ini. Lelaki itu menghampiri
mereka, ia dan mantan istrinya.
Alan berusaha mempelajari
laki-laki yang sudah berdiri dihadapannya kini. Perawakannya tegap, bagus untuk
ukuran laki-laki yang masih terlihat muda. Ditaksirnya, laki-laki di depanya
ini belum sampai tiga puluh lima.
”Mas Alan sudah lama
menunggu?” Mira mencoba mencairkan ketegangan yang sempat ia baca dari wajah
Alan barusan ini. Ia paham Alan belum siap untuk bertemu dengan Sonny secepat
ini.
”Sejak pukul enam belas
tadi,” sahut Alan sekenanya, sambil matanya tak lepas dari sosok yang kini ada
diantara mereka, sekali lagi, ia dan mantan istrinya.
Mira segera tanggap dengan
suasana yang kurang nyaman ini. Cepat ia bertindak menyelamatkan harmoni yang
hampir tercipta. ”O iya, kenalkan, dia Mas Sonny, yang begitu ingin Mas kenal,”
katanya ramah kepada Alan, ”Dan dia Mas Alan, yang kemarin Mira ceritakan pada
Mas,” lanjutnya lagi, kali ini matanya tertuju kepada Sonny.
Sonny mengulurkan tangan
lebih dahulu. Senyum tipisnya mengembang, ”Sonny,” sebutnya singkat.
”Alan,” Alan menyebut
namanya, sambil sebelumnya menyambut jabat tangan yang diulurkan Sonny. ”Satu
perusahaan dengan Mira?” lanjut Alan sejenak setelah mereka melepaskan jabat
tangan perkenalan di senja yang cerah ini.
”Iya, Mas Alan. Saya dan
Mira satu kantor. Saya dibagian Public
Relation, sedang Mira, yah... Mas
Alan juga sudah tahu lah.” jelas Sonny dengan ramah dan bersahabat.
Alan mengulum senyum. Tak
ada yang ingin ia ucapkan setelahnya. Hanya saja hati kecilnya yang menahan
perih segera memberi kesimpulan yang menyakitkan, ”pantas saja...”
”Sendirian saja, Mas?” Sonny mencoba
membuka wacana baru. Jujur, ia sedikit tidak enak dengan ketegangan yang belum
juga mencair ini.
“Berdua dengan Lisa, putri saya yang
tercinta.” jawab Alan tegas, sengaja dengan memberi sedikit penakanan saat
menyebutkan kata ’tercinta’ tadi. Ia tak ingin menoleh pada Mira, sungguhpun ia
tahu seketika itu juga Mira membuang tatapan ke arah lain. “Masih punya waktu
untuk berbicara sebentar?” katanya lagi kepada Sonny.
“Oh, tentu saja, Mas.”
Alan memandang Mira yang belum juga
berusaha mengalihkan tatapan. Ditepuknya pundak Mira perlahan, “Kami ingin
bicara sedikit, bedua saja. Kamu tunggu sebentar.” Katanya pelan. “O iya, kalau
kamu rindu pada Lisa, temui saja dia. Sekarang Lisa di tempat biasa, tempat
kesukaannya saat belibur kesini bersamamu.”
Mira menganggap ini bukan sebagai
saran, melainkan sebagai keharusan. Baguslah, pikirnya. Toh ia pun sudah sangat
rindu pada Lisa, putrinya yang tercinta, batinnya lagi. Kali ini ada sedikit
pedih yang menyertai langkahnya.
Sonny merasa tak nyaman dengan kalimat Alan
barusan. Meski Alan mengucapkan dengan intonasi yang pelan dan terkesan sendu,
tapi ada makna yang dalam menyertai kalimat itu. Sonny mulai mengerti bagaimana
bahagianya keluarga yang sudah terpecah ini. Tapi itu dulu. Entah untuk saat
ini.
”Sudah lama dekat dengan Mira?” Alan membuka
percakapan, saat ia sudah merasa yakin sekarang ini mereka tinggal berdua saja.
Sonny mendesah pelan, ”Sejak saya sekantor dengan
dia, Mas. Kira-kira setahun yang lalu.”
”Saya adalah suami kedua Mira,” Alan bercerita
lagi, ”Dengan suami pertamanya, Mira tidak bisa memiliki keturunan. Bukan
karena salah satu dari mereka mandul atau apa. Yang jelas, menjelang tahun
kedua pernikahan mereka, Mira menggugat cerai suaminya. Suaminya bersedia
mengabulkan permintaan Mira dengan satu syarat, dia ingin mengenal siapa lelaki
yang berhasil menggoyahkan perahu rumah tangga mereka. Lantas saya memberanikan
diri untuk masuk lebih jauh ke dalam kehidupan mereka. Saya mulai kenal dengan
suaminya. Sejatinya dia orang baik. Sering kali ia menasehati saya tentang
banyak hal, termasuk tentang Mira.” Alan mengusap mukanya sendiri dengan
telapak tangan.
”Lantas Mira bercerai dan menikah dengan Mas
Alan?” tanya Sonny dengan begitu hati-hati.
Alan mengangguk, ”Lisa adalah bukti cinta kami.
Sayang, hanya enam tahun saya bisa mempertahankan bahtera rumah tangga kami.
Perahu kami karam oleh sebab yang tidak jelas. Mira meminta cerai dari saya.” alun suara Alan
terdengar kian lirih. Ada sedikit serak menyertai suaranya. Alan menatap Sonny
yang tampak salah tingkah. “Kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri. Bukan kamu
yang menyebabkan rumah tangga kami hancur. Lagi pula, setelah resmi bercerai,
hubunganku dengan Mira tidak begitu buruk. Sesekali ia masih menjenguk Lisa.”
“Saya jadi tidak enak, Mas.”
“Sudahlah, Son. Tidak usah memelihara perasaan
itu. Sekarang yang perlu kamu lakukan, jaga Mira jika kamu memang mencintai
dia. Sudah setahun lebih kami berpisah. Tentu sekarang ini ia sudah mulai
merindukan seseorang yang bisa melindungi dia.”
Sonny mengangguk pelan beberapa kali.
Alan sendiri merasakan risau yang amat sangat,
yang ia gambarkan pada wajahnya yang mendadak ragu untuk mengatakan sesuatu.
Ingin sekali ia katakan saat ini juga, tapi justru hatinya sendiri yang begitu
kuat melarangnya.
”Sudah sore, Mas. Kalau tidak ada apa-apa lagi,
baiknya kita pulang.” Sonny mencoba memberikan ide yang baik, yang segera
disetujui oleh Alan dengan dua kali anggukan.
”Kamu ambil ini,” Alan mengangsurkan selembar
kartu namanya sendiri pada Sonny, ”Saya yakin kamu akan mencari saya dan akan
menceritakan sesuatu. Tentu tidak dalam waktu yang dekat ini.”
Sonny menerima kartu nama Alan dengan sedikit rasa
heran. Tapi sudahlah. Apa susahnya sih menyimpan selembar kartu nama, pikinya
kemudian.
Langit tampak kian jingga. Keheningan semakin
berkuasa. Begitu juga dengan
gelap yang sedikit demi sedikit menebar pekat dan kelam. Hitamnya mulai
menyelimuti laut. Di langit, tak ada lagi camar yang hilir mudik. Yang
tertinggal hanya jingga yang menghampar, awan putih yang tinggal beberapa saja,
dan semilir angin yang sejuk menampar.
Alan mendesah, mencoba menenangkan diri. Matanya
sayu mengiringi langkah Sonny yang kian menjauh dari hadapannya, menuju Strada
silver yang menunggu dengan gagahnya.
Tampak Mira disana, disebelah Strada silver itu.
Ia tersenyum, melambai ke arah Alan beberapa kali. Alan membalasnya, dengan
senyum pula. Senyum yang begitu terpaksa dan ada gurat kepedihan yang menyerta.
Alan memejamkan mata.
***
Lisa, sudah delapan tahun
kini. Ia tumbuh sebagai gadis kecil yang lincah dan riang. Wajahnya cantik
sekali. Matanya tajam. Selalu tanggap akan segala sesuatu yang tidak mengena
dengan pikiran kanak-kanaknya. Tentu, kecerdasannya yang membuat ia demikian.
Alan merapikan buku-buku
Lisa menjelang ia berangkat sekolah. Sudah tiga tahun hal seperti ini ia
lakukan, sendiri saja. Tak pernah ia mengeluh sebab ia merasakan pekerjaan yang
seperti ini kelewat mudah.
”Nanti Papa gak usah
jemput Lisa. Soalnya kemarin Lisa sudah buat janji dengan Mama. Hari ini Mama
yang jemput Lisa.” ucap gadis kecil itu seraya memasang sepatunya.
Alan tak menanggapi.
Memang, sejak Lisa masuk sekolah dasar, masalah antar jemput bukan tanggung
jawabnya sendiri. Mira menghendaki ia juga dilibatkan dalam hal ini. Alan tak keberatan akan hal itu. Toh tak
ada yang merasa dirugikan.
”Papa tahu arti kata afiliasi?” Lisa berbicara
lagi, setelah usai mengikat tali sapatunya.
Alan mengernyitkan dahi.
Seketika di dalam hatinya memuji sekolah tempat anaknya belajar. Bagaimana
tidak? Untuk anak kelas tiga es-de saja sudah diberi pekerjaan rumah seberat
ini, menghapalkan arti kosakata yang lebih pantas dihapalkan oleh anak
setingkat SMP atau di atasnya lagi. Alan tersenyum, ”Memangnya gurumu sudah
memberikan tugas seperti itu?”
Lisa menggeleng, ”Tidak!”
”Lantas?”
”Tadi pagi Lisa nonton tivi, berita tentang SMA
apa gitu, berafiliasi dengan SMA ternama lainnya. Maksudnya berafiliasi itu apa sih, Pa?”
Alan tersenyum lagi. Ah, Lisa...cerdas sekali kamu. Andai saja kamu ini...
”Papa ditanya kok malah senyum-senyum sendiri?
Jangan-jangan Papa juga tidak tahu arti kata afiliasi!”
”Afiliasi itu artinya bergabung dengan, atau lebih
tepatnya menginduk. Contohnya ya seperti berita yang kamu tonton tadi. Ada SMA
yang baru saja didirikan, belum berprestasi apa-apa, belum maju, berafiliasi
dengan SMA yang sudah maju dan memiliki banyak prestasi. Ngerti?”
”O...” Lisa mengangguk-anggukkan kepala beberapa
kali.
”Oke, kita berangkat sekarang. Sebentar lagi pukul
tujuh. Mudah-mudahan tidak macet seperti tempo hari.”
***
Di depan, laut bergemuruh
dengan dahsyat. Ombaknya garang menghantam karang. Memporak-porandakan barisan
perahu yang tertambat pasrah tak berdaya. Menghempas tubuh bocah-bocah yang
berlarian ditepi pantainya. Angin tak henti menampar apa saja yang kebetulan
dilalui. Sementara di langit, tak ada sepotongpun awan putih. Warna biru begitu
angkuh menguasai angkasa.
Kali ini Alan memandang
laut sendirian. Lisa lebih memilih ikut bersama mamanya berbelanja ke butik
langganan.
Bukan tanpa sebab Alan berdiri di sini, sendirian
pula. Ia tengah menunggu seseorang yang dua hari lalu memintanya untuk bertemu
di tempat ini. Ada hal yang penting yang ingin ia ceritakan, katanya lewat
telepon.
“Sudah lama menunggu,
Mas?”
Alan menoleh ke arah
datangnya suara. Sonny sudah berdiri dibelakangnya, entah sejak kapan. “Saya
juga belum lama datang.” Jawab Alan sedikit berdiplomasi.
Keduanya terlihat akrab
menceritakan kabar masing-masing, apa saja yang sudah mereka perbuat sejak
pertemuan yang terakhir, keadaan keluarga, dan sedikit masalah pekerjaan.
Sesekali tawa ringan menghiasi pembicaraan yang sama ringannya itu. Tak ada
ketegangan di sana.
“Saya ingin bercerita
sedikit, Mas. Tentang Mira.”
Alan hanya mengangguk. Tak ada lagi senyum
dibibirnya.
“Mira meminta saya menceraikan dia, Mas.”
Alan terbelalak. “Bukankah kalian sudah
punya anak?”
”Mas tentu tidak tahu
bahwa Indri bukan anak kandung kami. Kami mengadopsi Indri ketika pernikahan kami menginjak usia satu tahun.”
Alan tercekat, tak tahu
mesti berkata apa. Ia seperti mendapati dirinya sendiri delapan tahun yang
lalu.
”Dulu Mas Alan pernah
bilang bahwa suatu saat saya akan datang mencari Mas dan saya akan menceritakan
sesuatu kepada Mas.” Sonny mengusap rambutnya sendiri, ”Rupanya ini yang Mas Alan
maksud dulu. Saya baru paham sekarang.”
Alan menghela napas
panjang. Entah mengapa dulu dia begitu yakin bahwa kelak Sonny akan datang
untuk menemuinya. Cepat atau lambat. Dan hal itu benar terjadi. Saat ini.
Disini, di tempat yang sama saat dulu dia berkenalan dengan Sonny.
”Kamu menyesal menikahi
Mira?”
Sonny melempar tatapan
jauh ke laut. ”Posisi kita sama, Mas. Kita adalah laki-laki yang sebenarnya tersakiti
namun tak ingin mengatakannya pada siapapun. Aku sudah merasakan apa yang Mas
Alan rasakan dulu, saat kita baru pertama kali bertemu disini. Aku pikir tak
ada lagi yang perlu Mas Alan tanyakan padaku, bukan?”
Alan mengangguk
membenarkan. Ditolehnya Sonny kemudian. ”Aku sangat sayang pada Lisa. Aku harap
begitu juga kamu pada Indri. Bukankah posisi kita sama?”
”Tentu Mas, tentu. Aku
sangat sayang pada Indri, meski Indri bukan anak kandungku.”
Sepi menguasai. Tak ada
percakapan beberapa jenak kemudian.
”Sudah hampir malam.
Sebaiknya kita pulang.” Alan yang lebih dulu memecah kesunyian. Sementara tak
banyak yang dilakukan Sonny selain mengikuti Alan yang mulai beranjak.
”O iya,” Alan menghentikan
langkah, ”apa kamu sudah bertemu dengan calon suami Mira?”
Sonny tersenyum. ”Minggu
depan, Mira akan membawanya menemuiku disini, di tepi pantai ini. Mungkin saat
senja seperti ini juga, Mas.” lagi, Sonny menyunggingkan senyum. Ada perih
menyerta di sana, di senyum itu. Alan sangat paham. Bukankah itu juga yang
dirasakannya dulu?
”Kira-kira apa yang akan
kamu lakukan?”
”Sama seperti apa yang Mas
Alan lakukan dulu saat pertama kali kita bertemu dulu.” sahut Sonny dengan
sangat yakin.
Keduanya tersenyum, lelaki
yang tersakiti itu. Alan dan Sonny.
Entahlah. Nanti, saat
senja seperti ini, mungkin akan ada lagi yang tersenyum. Perih. Senyum dari
laki-laki yang sebenarnya tersakiti namun tak ingin mengatakannya pada
siapapun.
31 Januari 2011
23.13 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar