: Nano Basuki
aku
melewatkan angka sepuluh sebelas duabelas di jam dengan sia-sia
menekuri
saja kemilau sayap enggang dalam sebuah pigura
sejenak
yang lalu, persis dua detik sebelum angka sepuluh
sarang
enggang dari jerami kata-kata itu
di
kepalaku benar-benar jadi istana
ayolah,
Nak, kita sulam lagi dedaunan belian yang tercabik-cabik
kita
buatkan anyaman yang nyaman
biar
enggang kita itu bisa mendengkur pelan
tapi,
Pak, tunas-tunas runcing sawit itu mulai bermekaran
menusuk
dada enggang, air matanya bertaburan
alahmak, kan
kamek udah bilang
lamak-lamak
sarang enggang ini bakal ilang
tidakkan
kita tepekur saja?
biarkan
enggang tinggal kenang, dikenang laksana simbol semata?
kite perang Nak,
kite perang!
tidakkan
mesti kita menghunus pedang
cukuplah
kita susun lagi serpih dedaunan itu jadi sarang
atau
dengan sajak kita menentang
sajak senjate
kite, sajak inilah mate pedang!
ah,
Pak, seketika ini juga
ingin
benar aku menjadi petani kata-kata.
Pontianak,
April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar