Label
SAJAK
(89)
KARYA KAKANDA REDI
(60)
CERITA PENDEK
(59)
GALERI
(49)
KISAH
(47)
KARYA TEMEN
(24)
ARTIKEL
(13)
MATERI PELAJARAN BAHASA INDONESIA
(11)
JALAN-JALAN
(10)
PROFIL SASTRAWAN
(4)
NOVEL
(3)
LIRIK LAGU BAGUS
(1)
Kamis, 28 Juni 2012
Mancing
Saya sangat suka mancing. Mulai dari mancing ikan, mancing gadis, heheheeeee, sampai mancing keributan juga saya suka.
Momen ini terjadi di Kuala Mempawah, having fun bersama para brader, ngisi waktu libur.
Sepotong Doa di Ulang Tahunnya
12 Juni 2008
00.37 Wib
Tuhanku…
Engkau yang paling tahu apa yang sedang hamba pikirkan
saat ini
saat malam kian meninggi, menuju pagi
Tuhanku…
telah Kau utus
seorang hamba-Mu yang menenangkan, yang mengilhami
setidaknya sampai
saat ini ia telah menemaniku menjalani hari saat hamba jauh dari sanak dan
keluarga, jauh dari kasih sayang yang semestinya ada
tapi ia telah
Kau hadirkan menggantikan yang tiada tadi, dengan segala kasih sayang melebihi
hangat matahari pagi
Tuhanku…
jika memang
kelak ia yang Kau berikan untukku, untuk mendampingi hidupku
maka muliakanlah
ia, agar hamba, yang senantiasa menunggunya, dapat tersenyum sampai ujung usia
terangkanlah padanya
apa-apa yang masih belum ia mengerti
karuniakan kepadanya
ketangguhan sebagai seorang istri, untuk memberikan bakti yang sekarang masih
tertunda, untuk menjaga kehormatan dan cinta sebagai penetap bahagiaku
beri ia gelar
wanita solehah sebagai mahkota untuk mendampingiku, menyayangiku
Tuhanku…
hamba yang
sibuk dalam kelelahan penantian, sangat mendamba seorang penawar saat dahaga
yang menyenangkan
saat kupandang, yang patuh saat kupinta, yang pandai menjaga martabat saat kutinggalkan
jadikan ia
rumah yang lapang buatku, kendaraan yang nyaman bagiku, penunjuk jalan yang
lurus di depanku, penyejuk saat siangku, selimut saat malamku, pelipur saat
sedihku, penyemangat saat terpurukku
kepadanyalah kelak
aku memanggil istri, ibu dari anak-anakku
Tuhanku…
jika kelak ia menjadi rizki untukku
maka hamba ingin Engkau menjadikan pula hamba rizki yang
indah baginya
cinta yang senantiasa membuatnya tertawa, yang selalu
hadir dalam kosongnya, malaikat dalam mimpinya, warna di taman bunganya
Tuhanku...
gadis yang Kau pilihkan untukku, dua puluh tiga tahun
kini
pada kesempatan menghadap-Mu kali ini, hamba mohon...
berikan kehidupan yang terang di sisa usianya yang telah
terambil lagi satu
pimpin ia, lindungi ia dari marabahaya-Mu, karuniakan ia
dengan kesehatan, kecerdasan, dan rizkimu yang halal
akal setipis rambutnya, tebalkan dengan ilmu-Mu
hati serapuh kaca, kuatkan ia dengan iman
perasaan selembut sutera, hiasilah dengan akhlak
bisikkan ke telinganya bahwa kelembutan bukan kelemahan
Tuhanku...
kabulkan pinta hamba malam ini
Amien...
Singgahlah Kemari
Luangkanlah waktu, singgahlah kemari
ke negeri penuh mimpi
tempat enggang menetaskan telur
tempat bocah pulas tertidur
sungai yang jernih
lapang yang bersih
matamu, mataku
adalah matahari musim semi
sebab di sini
cinta dan peluk
akan senantiasa mekar sepanjang pagi
ke negeri penuh mimpi
tempat enggang menetaskan telur
tempat bocah pulas tertidur
sungai yang jernih
lapang yang bersih
matamu, mataku
adalah matahari musim semi
sebab di sini
cinta dan peluk
akan senantiasa mekar sepanjang pagi
Kita Adalah...
kau tau, Dinda...
kita adalah laut dan pantai
yang bercumbu saat langit
semburat jingga
kita adalah gerimis dan basah
yang menulis puisi sejuk di dahan akasia
kita adalah manis dan gula
tak rentang jarak, tak tau jeda.
Kamis, 21 Juni 2012
Senyummu Sore Ini
entah
dengan apa lagi kulukiskan
: manis benar senyummu sore ini
seperti sore pada awal musim semi
ingin
benar kugenggam tanganmu
meremasnya
dengan tergesa
sayang,
aku mulai kehabisan jingga
Jumat, 15 Juni 2012
Cerita Nenek tentang Ramadhan
Nenek berkisah, sekali
waktu
ketika gerimis
mendendang di atap rumah, bertalu-talu
ketika Ramadhan hampir
masuk tanggal satu
: Ramadhan di kampung ini, dulu sekali
adalah musim
bunga, mekar warna-warni
adalah musim suka
cita, musim-musim jadi pelangi
perjumpaan malam
tak pernah sepi
langgar-langgar
sesak oleh ayat suci
kita mengaji… kita mengaji…
tadarus mengalir
di sela sunyi
Nenek berkisah, sekali
masa
sambil menghitung
gerimis yang lama
sekian menit, tak juga
reda
: kampung terjaga, tak pernah tidur, Cu…
kentongan
sahut-menyahut, tiap pukul satu
sahur… sahur…
adalah lagu paling merdu
mata terjaga sampai subuh di tepi
kita mengaji… kita mengaji…
tadarus mengalir lagi di sela sepi
Lalu nenek menatap
senja
nyalang mata nenek
kesana-kemari
sibuk mencari
garis-garis pelangi
garis musim-musim
setiap Ramadhan dulu itu
kini pudar tinggal
kenang dan cerita paling kelu
: Ramadhan di kampung ini, sebentar lagi, Cu…
adalah kesepian
seperti Ramadhan setahun yang lalu
langgar-langgar
sepi ayat suci
mengaji juga kini
sekali-sekali
kentongan mati
setiap pukul satu
sebab penabuhnya
sibuk tidur melulu
Ah, Cucuku…
barangkali masa
memang sudah berganti
tadarus mengaji
kalah oleh lagu di televisi.
Kota
Baru, Mei 2012
[cerpen] Kawin
Redia Yosianto
Kawan,
kalau kalian ingin tahu siapa wanita yang paling cerewet yang pernah tinggal
serumah denganku, itu tak lain dan tak bukan adalah emak. Ah, kalian harus
dengar ceritaku, Kawan, biar kalian tahu kalau ibu kalian tidaklah secerewet
emakku. Semua hal yang sepele bisa dikomentarinya berjam-jam lamanya. Itu yang
sepele, seperti lupa menutup pasta gigi sehabis mandi, lupa menjemur handuk,
lupa menyalakan lampu teras ketika hari sudah gelap, dan macam-macam. Padahal,
ah, lupa menutup pasta gigi dua hari pun tak akan membuat benda itu lemau atau
basi, kan?
Itu
baru hal sepele, Kawan. Belakangan, tidak tidak, maksudku beberapa bulan
terakhir, emak sibuk mengomentari status lajangku. Emak meminta aku untuk
segera kawin. Dan kalau sudah membahas masalah kawin, bisa berjam-jam lamanya
emak ngomel. Ngilu sekali telingaku rasanya. Semua jadi serba gampang menurut
emak. Ya kawin itu tadi. Sudah puluhan anak gadis yang dikenal emak, turut pula
dikenalkan ke aku. Disebutkannya satu-satu. Mulai dari yang tinggal di pasar
sampai yang tinggal di pinggir sungai Kapuas pun emak kenal. Gila! Kawin sudah
seperti ngerebus mie instan saja. Jerang air, rebus, makan, habis.
“Bile
kau maok kawen, Mat? Nunggu Mak mati ke ape?” seperti biasa, setelah ngomong
gitu emak akan langsung batuk. Sapu tangan kecil yang belakangan selalu
tersedia di saku bajunya itu segera membungkam mulutnya sendiri, meredam suara
batuknya itu. Emak memang alergi dengan debu.
Nah,
Kawan, kalian dengar sendiri, kan? Dengar, kan? Itulah, aku tak pernah ingin
bohong pada kalian soal emakku. Terutama soal cerewetnya.
“Tak
tengok ke kalau umur kau tu udah tige puloh?” emak ngomel lagi, batuk lagi.
“Ape
die tige puloh pulak, Mak?” aku coba
membela diri, “Dua lapan. Dua taon agik baru tige puloh.”
“Ha,
dua lapan.” selain cerewet, emak juga pandai meralat kekeliruannya sendiri. “Pas
dah tu kawen. Maok nunggu ape agik bah?”
Aku
diam.
“Ape
lah agik yang maok kau cari? Kulu
kilik-kulu kilik ngikot pakde kau tuh ke? Jadi kernet bis? Hah, tue di
jalan gak nampaknye anak emak nih.”
“Nyari
pengalaman lah, Mak. Nyari duit gak.” aku memasang raut muka bodoh.
“Duit?
Untuk ape?” kulihat telinga emak sedikit mencuat.
“Ndak
e, untuk kawen lah dah. Emak gak yang besibuk nyuruh Mamat cepat-cepat kawen.”
sahutku, masih dengan tampang bodoh.
“Bile?”
cuatan telinga emak kian tinggi. Hal ini wajar terjadi bila emak mendengar
berita yang sekiranya bisa membuat hatinya senang.
Tuhan,
ini sungguh luar biasa. Raut wajah emak bisa langsung berseri-seri jika aku
sendiri yang menyebut kata kawin dengan sedikit antusias. Kalau boleh aku
tebak, selain raut wajahnya yang berseri-seri, kukira hatinya juga langsung
berbunga-bunga demi mendengar anak bujangnya ini punya niat untuk kawin. Padahal,
sungguh, aku cuma ingin segera mengakhiri omelannya untuk edisi kali ini. Itu
saja.
“Usah
nak lamak-lamak agik kau kawen, Mat. Usah kau ikotkan pakde kau tu. Macam tak
tau jak pakde kau tu, dude tak senonoh. Tak kawen-kawen. Mo jadi bujang agik ke
ape?”
Kawan,
tolong jangan tertawakan aku. Aku memang kelihatan bodoh jika berhadapan dengan
emak. Tapi sungguh, aku tidaklah seperti itu.
“Kawen
dengan Syarifah tu ha.” mulai lagi. Emak mulai lagi menawarkan anak gadis yang
dia kenal. Entahlah, kali ini anak gadis yang dia kenal itu tinggal dimana.
Aku
tertegun. “Syarifah anak Wak Mahmud ke, Mak?” aku menerka. Aku kenal dengan
beberapa gadis yang bernama Syarifah. Aku ingin memastikan, mungkin dari salah
satu Syarifah yang kukenal itulah yang ditawarkan emak saat ini.
“Iye lah dah.”
emak membenarkan. “Biar Mak mintakkan ke Wak Mahmud. Gampang lah tu. Wak Mahmud
tu kawan Emak sekolah dolok. Emak minta sekarang, lusa bise dah kau kawen.”
“Ape lalu Syarifah
pulak ni Mak?” protesku. Syarifah? Kawan, nanti akan aku ceritakan sedikit soal
perempuan pilihan emak kali ini. Lucu
sekali jika aku harus kawin dengan si Syarifah ini. Pasti akan aneh.
“Ngape pulak?” kali ini alis emak yang mencuat.
“Ngape pulak?” kali ini alis emak yang mencuat.
“Ck,” aku mulai
gusar. Kawan, akan aku ceritakan sekarang saja soal Syarifah tadi. Biar sedikit
mengurangi penasaran kalian. “Emak ni macam tak tau jak. Budak tu ngerebus aek
jak pandai hangus aek tu. Tak kan lah yang kayak gitu mau jadi istri Mamat
pulak. Tak pandai masak. Nyuci baju di Kapuas bah sikat cuci pandai anyot
sorang. Tak pandai bedandan. Nanti Mamat pegi undangan malu lah Mak, bini Mamat
tak cantek. Ape kate orang? Emak gak kan yang malu. Agikpun berape lah umur
budak tu? Paling baru tige belas. Mane nyaman, Mak.” sahutku lagi.
Kujelek-jelekkan si Syarifah itu sambil dalam hati aku meminta maaf kepadanya.
“Nyaman apenye,
Mat?”
“Eh, nyaman
apenye pulak? Mane nyaman ditengok orang lah dah. Mamat dua lapan, budak tu
baru gak tige belas. Mane cocok, Mak.”
“Halah, pandai
jak kau jawab omongan Mak ni.”
Aku tersenyum.
Kawan, tahulah kalian kalau kali ini aku bisa memukul mundur emak. Aku menang.
Calon pilihan emak kali ini sudah tereliminasi sebelum sempat bertanding.
Kawan, aku tidak sebodoh yang kalian kira bukan?
***
Di
rumah pakde, aku menumpahkan segala keluh kesah selama beberapa hari terakhir.
Soal emak dan obsesinya untuk segera mengawinkanku tentunya. Seperti biasa, pakde
hanya mengangguk-angguk sambil setengah terpejam. Entahlah, orang ini
mendengarkan apa tidak.
Oiya,
Kawan, pakde ini adalah adik emak. Dia sudah dua tahun menjadi duda. Istrinya
meninggal ketika hendak melahirkan anak pertama mereka. Mujur tak dapat diraih.
Selang beberapa jam setelah istri pakde menghembuskan napas terakhir, putri
kecilnya menyusul. Jadilah pakde duda seperti sekarang.
Sehari-hari
pakde bekerja sebagai sopir sebuah bis tua. Bis miliknya sendiri. Jangan salah,
Kawan. Biarpun tua, bis yang dinahkodai pakde ini sudah malang melintang di
pentas percarteran. Bis pakde sering disewa orang untuk acara-acara yang
penting dan lumayan jauh. Kabupaten di Borneo Barat ini hampir khatam
dijelajahi pakde dengan bis tuanya ini.
Aku
tak pernah secara resmi direkrut pakde menjadi kernetnya. Mulanya aku hanya
ikut-ikutan saja. Tujuannya jelas, agar aku bisa pergi dari rumah tapi bukan
secara liar. Dengan menjadi kernet, aku bisa melihat daerah luar. Lebih penting
lagi, aku bisa melarikan diri dari omelan emak.
Pakde
meneguk kopinya yang sudah dingin sejak tadi. “Tambah pengalaman kau tu, Jang.
Kawen gampang lah tu.” Pakde memanggilku dengan sebutan Bujang.
Nah,
ini yang aku suka dari pakde. Pandai sekali dia memahami perasaan keponakannya
ini. Aku tersenyum. Dudukku sedikit tegak.
“Kau
udah jadi sarjana, tadak gak maok kerje. Maok kau kasi makan ape istri kau
nanti kalau kau kawen cepat-cepat?”
Mantap.
Keren. Aku suka dengan pola pikir pakde yang berorientasi ke depan ini. Coba
saja emakku juga seperti ini.
“Ape
agik lah yang mak kau maokkan tu? Cucu udah dapat dari adek kau. Ape agik?
Menantu perempuan? Bilanglah ke mak kau tu Bujang, sabar-sabar. Macam lah die
tu besok maok mati.”
Aku
tergelak. Pandai juga rupanya pakde mengata-ngatai kakaknya sendiri. “Pakde macam
tak tau emak jak. Gitu lah die tu. Ape yang die maok, tak pernah bise sabar.”
timpalku masih dengan sisa tawa.
Pakde
menyulut rokok, “Kalau memang mak kau tak bise sabar agik, kau kawen jak dengan
Maria anak tetangga Pakde tu.”
Kali
ini aku menautkan alis. “Lalu Maria pulak yang Pakde sebotkan.” aku kenal
dengan Maria, Kawan. Dia itu teman satu kampus semasa kuliah dulu.
“Ape
agik kurangnye budak tu? Masak pandai dah. Segale macam lauk pandai die
mbuatnye. Ape agik? Nyuci? Jangankan nyuci Jang, nyangkul jak die lihai.
Bedandan? Tak usah bedandan pun cantek dah budak tu.”
“Pakde
ni emang tak paham dengan emak.” aku menghempaskan tubuh ke dinding terasnya.
“Ngape
tak paham pulak?”
“Maria
tu orang batak, Pakde.”
“Orang
Zimbabwe pun kalau memang jodoh tak kemane, Bujang. Ape kau ni, lalu gitu pulak
pikiran kau. Kesal benar Pakde dengarnye.”
“Emak
tu maoknye Mamat kawen dengan orang melayu gak, Pakde. Mane maok emak selain melayu.
Dolok pacar si Nina orang jawe, ndak gak boleh kawen same emak. Akhirnya kawen
lah si Nina tu dengan Ilham, budak melayu itam legam tukang mancing udang tu.”
Pakde mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasanku. Rupanya masih ingat
juga dia bagaimana menolaknya emak ketika adikku mengajukan calonnya sendiri.
Sama seperti si Syarifah, si Bambang juga tereliminasi sebelum sempat
bertanding.
“Oke
lah. Kalau menurut Pakde,” pakde menikmati betul setiap sedotan rokoknya.
Dihembuskannya pelan-pelan asap dari bibirnya yang sedikit diruncingkan. Asap
segera meluncur perlahan. Aku tak sabar menunggu kalimatnya yang terpenggal
oleh asap itu.
“Ape
Pakde?”
“Kau
memang harus kawen cepat-cepat, Bujang.”
Aku
bangkit dari duduk. Hari ini tak sudi aku ngernet bis tua Pakde.
***
Kawan,
kalian tahu aku ada dimana sekarang? Aku di rumah sakit, Kawan. Emak masuk
rumah sakit. Perkara batuknya itu, dulu kupikir hanya batuk biasa saja. Betapa
bodohnya aku yang selalu percaya setiap emak mengatakan kalau dia alergi
terhadap debu. Emak tak pernah bilang kalau dia mengidap kanker paru-paru. Dan
perkara sapu tangan yang selalu membungkam mulutnya sendiri selepas batuk itu,
rupanya untuk menyembunyikan darah yang keluar dari setiap batuknya, bukan
untuk meredam nyaring suara batuknya atau apalah namanya. Sekali lagi aku
merasa benar-benar bodoh. Tidak, Kawan, kali ini bodohku tidak kubuat-buat.
Aku
jengkel saat tahu bahwa sebenarnya pakde mengetahui penyakit emak ini. Aku
jengkel. Mengapa mereka harus menyembunyikannya? Apa salah jika aku, anaknya
yang tak tahu adat ini, turut mengetahui sakit emak? Dan perkara kawin itu, ah…
“Mat,
emakmu siuman. Temui emakmu dolok gih. Emakmu manggil-manggil kau terus tu ha.”
Pakde merangkul pundakku, menuntunku memasuki ruangan tempat emak terbaring.
“Mak,”
bisikku pelan. Kulihat emak membuka matanya. Kutelusuri tubuh emak. Baru sadar
aku kalau emak semakin kurus. Kulitnya yang keriput semakin membuat emak
terlihat lemah. Entahlah, Kawan, sudah sejak kapan aku meneteskan air mata. Aku
sungguh tak sadar.
“Mat,”
tangan emak terulur ke kepalaku. Lembut sekali rasanya. Belaian emak ini,
sungguh aku juga sudah lupa kapan terakhir kali aku merasakannya.
“Ngape
Emak ndak maok cerite ke Mamat kalau Emak ni sakit?” susah sekali mengatakan
satu kalimat ini sambil menahan tangis. Aku sesenggukan. Kulihat emak malah
tersenyum. Ah, emak…
“Emak
ni ade utang dengan almarhum bapak kau, Mat. Emak udah janji, emak tak akan
tenang nyusul bapak kau kalau Emak belom ngawenkan kau. Nina udah kawen.
Tinggal kau jak yang belom.”
Aku
masih sesenggukan. Kulihat emak memejamkan matanya. Sebentar saja.
“Tapi
rupenye Tuhan bilang lain. Tuhan tak mengijinkan Emak melunasi utang Emak ke
bapak. Emak kena kanker paru-paru. Pakdemu tu lah yang ngantar Emak berobat,
lapan bulan yang lalu. Kate dokter, kanker emak udah stadium tige. Entahlah,
Mat. Emak pun tadak gak tau arti kate stadium tu ape.”
Tangan
emak masih juga mengusap-usap kepalaku. Aku makin menenggelamkan wajah ke tepi
pembaringan emak. Tangisku tak kuat lagi kutahan. Air mataku menderas.
“Itulah
ngape Emak ni bekalut benar nyuruh kau tu cepat-cepat kawen. Firasat Emak tak
nyaman beberape hari belakangan ni. Emak temimpi bapak kau teros, Mat.” usapan
tangan emak pindah ke pundakku yang bergetar. “Emak minta maaf ye, Mat, kalau-kalau
udah kelewat cerewet dengan kau belakangan nih. Kawen dengan pakse pun tadak
gak bagos. Emak tau bah. Emak pun ngerase bersalah gak dengan Nina.”
“Emak
sembuh ye, Mak. Mamat janji, Mak. Kalau Emak sembuh, Mamat kawin. Emak lah yang
milihkan gadis untuk Mamat. Mamat ndak akan nolak, Mak. Tapi Emak harus sembuh
ye. Kite balek ke rumah ye, Mak.”
Emak
tersenyum. Kulihat senyum emak begitu tenang dan menenangkan. “Iye, Mat. Kite
balek ke rumah sebentar agik. Cume,” emak memejamkan matanya sejenak. Emak menyebut
nama Nina, adikku itu, dengan sedikit bergetar. Nina memang tidak disini
sekarang. Nina ikut suaminya. Mereka menetap di Sambas. Barangkali sekarang Nina
dan suaminya sedang menuju ke Pontianak. Pakde yang menelponnya, beberapa saat
setelah emak tumbang dan dilarikan ke rumah sakit.
“Kalau
Emak tak sempat balek ke rumah nanti ni, sampaikan ke Nina ye, Mat, Emak minta
maaf soal kawen die tu. Mungkin dengan si Bambang tu lah si Nina tu berjodoh.
Tapi Emak dah maksekan jodoh untuk die. Emak minta maaf.”
Aku
meraung lagi. Kuciumi punggung tangan emak berulang kali. Aku ingin mengatakan
satu hal yang selama ini begitu ingin kusampaikan langsung ke Emak. Aku sayang
emak. Aku tak pernah mengatakan ini ke emak. Aku sayang sama emak. Aku sangat
sayang emak. Aku harus bilang sekarang. Sebelum…sebelum…
“Mak?
Emak? Emaaaaaaaaaaaaak…”
Kota Baru, April 2012
n.b.
Cerpen ini dimuat dalam buku antologi cerita pendek
terbitan Borneo Tribune Press Pontianak.
Langganan:
Postingan (Atom)