Warno,
laki-laki diambang lima puluh tahun, adalah seorang laki-laki yang penuh dengan
senyum. Pembawaannya tenang dan kalem. Tak pernah gegabah sedikitpun dalam bertindak
dan membuat sebuah keputusan. Banyak warga yang senang kepadanya. Tua muda,
besar kecil, semua membahasakan diri memanggilnya dengan sebutan ‘Pakdhe
Warno’. Pakdhe Warno sendiri tidak pernah keberatan dengan sebutan itu.
Baginya, sebutaan ‘pakdhe’ adalah anugerah yang sangat pantas dia terima.
Usianya sudah tidak muda lagi dan dia sadar betul akan hal ini. Tidak mungkin
dia memaksakan warga agar memanggilnya dengan sebutan ‘mas’ misalnya.
Budhe
Lasmi, istri dari Pakdhe Warno, juga seorang yang gampang memberikan senyum.
Berbincang dengannya selalu saja memberikan rasa senang dan betah. Budhe Lasmi
adalah tipikal ibu rumah tangga yang ideal. Lincah di masyarakat dan terampil
jika di rumah. Pendek kata, sepasang suami istri ini adalah panutan bagi masyarakat
di dusun yang jauh dari keramaian kota ini.
Tidak
seperti biasanya. Menjelang malam kali ini Pakdhe Warno duduk tepekur menghadap
ke langit yang penuh dengan semburat warna senja. Matanya menerawang jauh. Agak
lama dia terdiam seperti ini. Kopi dalam gelas di sebelahnya belum disentuh
sama sekali. Juga sepiring singkong kukus dengan lelehan gula merah yang masih
menyisakan kepul-kepul uap tanda belum lama diangkat dari dandang. Masih utuh.
Masih belum disentuh sama sekali.
“Ada
apa to, Pak’e? Ibu perhatikan dari
tadi kok Pak’e diam terus. Ndak biasanya Pak’e seperti ini. Kalau ada masalah mbok ya cerita sama Ibu. Siapa tau Ibu
bisa bantu-bantu sedikit,”
Pakdhe
Warno belum menunjukkan reaksi apa-apa meskipun dia sadar bahwa istrinya sudah
sejak tadi hadir di dekatnya. Tatapannya masih terbuang jauh, menjelajah langit
yang sebentar lagi akan jadi gelap.
“Apa
Pak’e sedang memikirkan kedatangan Re dan teman-temannya itu?” Budhe Lasmi
mencoba menerka-nerka. Tanpa dia duga, dilihatnya suaminya itu mengangguk.
“Benar,
Bu’e,” Pakdhe Warno menghela napas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan,
“Besok mereka datang. Saya cuma khawatir mereka itu minta nginap di vila. Itu
saja.”
Budhe
Lasmi tersenyum, “Kalau masalah itu Pak’e ndak usah khawatir. Vila itu kan
dalam keadaan kotor. Perlu waktu untuk membersihkannya. Paling tidak tiga jam
waktu yang diperlukan supaya vila itu bisa bersih dan siap untuk dipakai
istirahat.”
“Ah,
Bu’e ini kayak ndak tau kelakuan si Re saja. Anak itu kalau sudah punya maksud,
tetep nekat. Ndak perduli dia bakal ngepel lantai malam-malam, ya tetep bakal
dia kerjakan. Lihat saja nanti kalau Bu’e ndak percaya.”
Bu
Lasmi tertunduk. Dia sadar apa yang dikatakan oleh suaminya barusan memang
benar adanya. Re, keponakannya itu, memang luar biasa keras kepala. Paling
susah dikasih tau. Kalau sudah maunya begini, bakalan dia kejar sampai dapet
baru dia puas.
“Ajeng
sudah menyiapkan tiga kamar untuk tamu. Kita toh bisa maksa Re agar menginap
saja di rumah. Kalau Re dan temen-temennya itu kepengen main-main ke vila,
sebaiknya siang saja. Malamnya ya tidur di rumah. Bagaimana, Pak’e?”
Pakdhe
Warno menatap istrinya lekat-lekat, “Apa Bu’e yakin Re bakal mau?”
“Ndak
ada salahnya to, dicoba dulu?”
Keduanya
diam. Keduanya sama-sama memikirkan vila yang mereka miliki itu.
Dulu,
vila yang terletak di atas bukit itu sungguh menyenangkan. Tempatnya sangat
strategis. Vila itu persis menghadap ke areal persawahan milik warga yang
membentang luas. Jika musim tanam tiba, sejauh mata memandang, yang ada
hanyalah hamparan hijau yang membentang. Sungguh menyegarkan mata. Namun, jika
musim panen tiba, hamparan hijau menyegarkan tadi akan berubah menjadi padang
dengan nuansa keemasan. Semilir angin yang berhembus dan keheningan yang
tercipta akan ditingkahi oleh suara-suara riuh yang ditimbulkan dari
kaleng-kaleng berisi batu kerikil, yang digantung sepanjang sawah.
Kaleng-kaleng ini dikendalikan oleh seseorang yang sedang menunggui sawahnya
dari serangan burung-burung pemakan bulir padi. Setiap ada sekawanan burung
yang hinggap, seketika itu juga kaleng-kaleng ini riuh memecah sepi. Ah,
sungguh suasana yang menentramkan hati dan pikiran.
Di
belakang vila, agak menurun sedikit, terdapat anak sungai yang airnya jernih
dan berarus sedikit deras. Bebatuan yang bertaburan memudahkan warga yang
singgah untuk mencuci, membasuh tubuh, atau mungkin sekedar merendam kaki saja.
Anak sungai ini tak pernah sekalipun mengalami kekeringan. Selalu begitu
sepanjang hari, bertahun-tahun. Gemericiknya adalah obat yang paling ampuh
untuk mengobati lelahnya warga sebab bekerja seharian di sawah dan ladang
masing-masing.
Vila
ini sering disewa oleh para peneliti yang datang. Kebanyakan dari mereka
berasal dari kota. Biasanya mereka melakukan penelitian tentang varietas padi
yang ditanam oleh warga. Ada juga yang meneliti tentang hama. Tidak jarang
diantara mereka datang untuk memberikan penyuluhan kepada warga. Semua dari
mereka itu lebih senang menyewa vila ketimbang menginap di rumah warga yang
sebenarnya gratis. Tentu saja hal ini terjadi karena kenyamanan yang disuguhkan
oleh alam tadi.
Pakdhe
Warno sendiri sampai mempekerjakan seorang remaja putus sekolah untuk
membersihkan vila. Remaja itu bernama Asmawi. Pakdhe Warno mempekerjakan Asmawi
karena menurutnya Asmawi adalah seorang remaja yang baik dan penuh tanggung
jawab jika dilimpahi pekerjaan. Menurut Pakdhe, sangat kasihan jika anak sebaik
dia harus disia-siakan oleh keadaan. Kemiskinanlah yang membuat dia harus
meninggalkan bangku sekolah.
Asmawi inilah yang
senantiasa membersihkan kamar-kamar yang ada di vila setiap vila tersebut
hendak disewa. Vila tersebut memiliki empat kamar tidur, sebuah ruang tamu yang
cukup luas, sebuah dapur yang langsung bisa digunakan sebagai ruang makan, dan
dua buah kamar mandi. Setiap ada tamu yang akan menginap di vila ini, Asmawi
dengan tekun membersihkan setiap sudutnya. Sebuah penghargaan tersendiri
baginya jika tamu yang menyewa vila merasa nyaman dan betah sebab kebersihan
vila selalu terjaga dengan baik. Asmawi pula lah yang bertugas menjadi pemandu
jalan jika ada para peneliti yang ingin jalan-jalan melihat pemandangan
sekitar. Biasanya para peneliti dan sebagian besar pengunjung yang menginap
minta diantar ke anak sungai yang ada di belakang vila. Untuk jasa ini, Asmawi
sering mendapat upah dari para pengunjung.
Namun,
sesuatu hal yang aneh telah terjadi.
Dua tahun yang lalu, Sumi,
anak Mbok Warsini, salah seorang warga dusun, dikabarkan hilang di sekitar
vila. Saksi mata yang melihat Sumi terakhir kali adalah Asmawi. Menurut Asmawi yang
ketika itu sedang membersihkan rumput yang tumbuh liar di sekitar vila, Sumi
tampak berjalan menyusuri jalan setapak menuju anak sungai di belakang vila.
Sumi membawa bakul cucian yang berisi kain-kain kotor. Sepertinya Sumi akan
mencuci pakaian, kata Asmawi ketika itu.
Namun sejak itu Sumi tak
pernah kembali lagi. Sumi lenyap. Hilang tanpa jejak. Warga yang turut serta
mencari hanya menemukan beberapa helai pakaian Sumi yang belum sempat dicuci.
Kejadian aneh ini jelas saja membuat warga resah. Dusun yang mereka diami
selama puluhan tahun ini tak pernah sekalipun mengalami kejadian-kejadian aneh
seperti ini.
Warga yang penasaran
terus saja mengejar Asmawi dengan berbagai pertanyaan. Menghadapi kenyataan
bahwa dirinya adalah target dari warga yang sedang mengorek informasi, seketika
membuat Asmawi seperti linglung. Lambat laun tingkahnya berubah. Setiap ditanya
soal Sumi, jawaban Asmawi kadang-kadang hanya membentak-bentak,
berteriak-teriak, malah sesekali menangis tersedu-sedu.
Benar, tak lama setelah
hilangnya Sumi di belakang vila, Asmawi pun manjadi gila. Banyak yang menduga
gilanya Asmawi ini karena kerasukan arwah Sumi yang dipercaya sudah meninggal.
Namun tidak sedikit juga yang menyangkal. Perdebatan pun terjadi tanpa bisa
dicegah. Hilangnya Sumi dan gilanya Asmawi hingga kini masih jadi bahan
pergunjingan warga.
Rupanya kasus ini tidak
berhenti hanya sampai disini saja. Konon kabarnya, beberapa pengunjung vila
yang menginap sering kali diganggu dengan kejadian-kejadian aneh. Ada yang
mengaku kalau dirinya dicolek-colek ketika tidur. Ada yang mengatakan tiba-tiba
saja gorden jendela bergerak seperti dihembus oleh angin, padahal pengunjung
tersebut yakin benar ketika itu jendela dalam keadaan tertutup rapat tanpa
menyisakan celah sedikitpun. Ada juga yang mengaku mendengar rintihan yang
sangat menyayat hati dan tentu saja mengerikan. Bahkan ada yang bilang kalau
mereka pernah melihat penampakan seorang perempuan yang tertunduk dengan rambut
terurai acak-acakan.
Hal ini tentu saja
membuat popularitas vila semakin melorot. Tak pernah ada lagi pengunjung yang menyewa
vila. Para peneliti yang datang kini lebih senang menginap di rumah warga
ketimbang harus bertemu dengan hal-hal yang menyeramkan.
Vila yang nyaman itu
kini mendapat julukan baru. Vila angker!
“Pak’e,”
Pakdhe Warno tersentak
manakala pundaknya disentuh oleh istrinya. Lamunannya tentang kejadian setahun
yang lewat seketika lenyap begitu saja.
“Sudah gelap. Sebaiknya
kita masuk saja. Ndak baik saat-saat seperti ini kita berada di luar rumah
seperti ini.”
Keduanya bangkit dari
duduk. Pakdhe Warno membawa gelas kopinya, sementara Budhe Lasmi menenteng
piring berisi singkong kukus.
“Besok kalau Re dan
teman-temannya datang, tugas Bu’e lah, bagaimana caranya supaya mereka tidak
minta menginap di vila. Saya cuma tidak ingin membuat kunjungan mereka jadi berantakan.
Saya takut kalau cerita-cerita para pengunjung dulu itu benar adanya.”
Budhe lasmi mengangguk,
“Akan Ibu bujuk sebisa Ibu. Pak’e tenang saja.”
Tampak Pakdhe Warno
tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Di luar, malam kian menjelma. Kadang-kadang
kalau malam seperti ini, ada rasa ketakutan yang muncul dengan tiba-tiba.
Ketakutan luar biasa, bahkan ketika sebelum malam itu datang sekalipun,
ketakutan sudah lebih dulu mengetuk pintu, sudah lebih dulu datang bertamu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar