Ibu
hanya memandang segala hal yang aku lakukan saat ini. Tak banyak yang dia
lakukan. Sesekali terlihat mengangsurkan beberapa potong baju yang bakal aku
bawa saat liburan nanti.
Aku
hanya menyiapkan bekal baju seperlunya saja. Kata Re, di sana kami gak bakal
pergi kemana-mana. Kalaupun akan pergi, kami gak memerlukan baju yang bagus.
Aneh saja kelihatannya pergi menjerat burung menggunakan pakaian yang biasa aku
pakai untuk pergi ke pusat perbelanjaan.
Menjerat
burung? Kedengarannya menarik. Aku suka itu. Belum pernah aku liburan ke desa
dan melakukan kegiatan outdoor
seperti itu. Menjerat burung dan memancing di sungai yang berair deras,
berbusa, dan penuh dengan bebatuan. Membayangkannya saja aku sudah sangat suka.
Sudah aku bayangkan ketika aku menarik kail dan di mata kail itu akan
menggelepar ikan segar. Wuiiihhh, pasti seru.
“Rencananya
berapa lama kalian di Sanggau Ledo?”
Ibu
membuka percakapan dan sedikit mengagetkanku. Ikan dalam hayalanku tadi lepas
lagi dan berenang entah kemana.
“Belum
tahu, Bu. Mungkin seminggu. Mungkin juga bakal lebih lama. Tergantung bagaimana
nanti. Toh liburan juga masih lama. Masih sekitar dua minggu lagi.”
Ibu
tersenyum, “Hati-hatilah kamu di sana. Jaga sikap dan tingkah laku. Di rumah
orang selalu berbeda suasananya dengan rumah sendiri. Jika sempat,
bantu-bantulah bekerja. Sekedar mencuci piring setelah makan tentu tak akan
berat.”
Aku
mengangguk. Tiga potong jilbab segera masuk ke dalam tas.
“Solat
jangan ditinggalkan. Dimanapun itu, kalau sudah sampai waktunya, segerakanlah
solat,” tambah ibu lagi, yang segera aku jawab dengan anggukan kepala lagi.
Sungguh,
aku senang diperhatikan seperti ini. Ibuku baik sekali. Tak pernah sekalipun
beliau melarang kegiatanku selama itu baik menurutku dan menurut beliau.
Kemanapun aku akan pergi, beliau selalu seperti ini, berpesan ini-itu dan
memberi wejangan yang tentu saja benar.
“Kapan
rencana kalian akan berangkat?”
Aku
terdiam sejenak, “Kalau tidak ada halangan, kemungkinan kami akan berangkat lusa,
Bu.”
“Berlima
lagi?”
Eh?
Berlima atau berempat ya? Aku bingung. Aduh, Yesi sekarang lagi apa ya? Apa dia
lagi packing barang juga? Atau…
“Laily?”
“Eh,
iya Bu, ngggg… mungkin kami hanya berempat saja. Liburan kali ini Yesi tidak
ikut katanya.”
“O
ya?”
Tentu saja, ini adalah
reaksi yang wajar yang akan dikeluarkan oleh ibu. Siapa lagi temenku yang rajin
datang ke rumah selain Tetty, Ayu, Re, dan si rambut kelewat bergelombang itu?
Pasti akan aneh kedengarannya jika salah satu dari kami bakal tinggal di
Pontianak sementara yang lain pergi berlibur ke suatu tempat yang jauh.
“Kok dia tidak ikut?
Biasanya dia kan, temenmu yang paling rajin mengusulkan tempat-tempat yang akan
kalian kunjungi menjelang liburan?”
Aku hanya bisa
mengangguk. Aku tak ingin menjelaskan apa-apa untuk saat ini. Kupikir biar Yesi
sendiri saja yang menjelaskan alasannya tidak ikut liburan ke ibu, nanti jika
ibu masih juga penasaran dengan ketidakikutan Yesi ini.
“Ya sudah kalau begitu.
Itu saja pesan Ibu. Jaga diri, jaga sikap dan tingkah laku. Jangan lupa solat.
Jangan malas di rumah orang.” Kulihat ibu beranjak dari duduknya lantas pergi
meninggalkanku sendirian di kamar.
Aku ingin sekali
menelpon Yesi sekarang, menanyakan kepadanya apakah benar dia tidak jadi ikut.
Keinginan ini kuat sekali. Namun kadang-kadang muncul juga perasaan segan.
Bukan…bukan, bukan segan. Ngggg, apa ya? Mungkin tidak enak saja. Sebuah kabar
baik jika tiba-tiba dia mengatakan bahwa dia bakal ikut serta. Tapi jika dia
mengatakan sebaliknya? Ah, tentu saja aku akan semakin membuat dia sedih.
Sendirian di rumah disaat teman-teman sedang bergembira tentu bukan situasi
yang menyenangkan.
Aku meraih Hp di atas
meja rias. Kurebahkan tubuhku di pembaringan. Kuatur posisiku senyaman mungkin.
Aku harus berbicara dengan salah satu dari temenku. Siapapun itu.
Ah, baiknya aku nelpon
Tetty saja dulu. Mungkin dia punya solusi yang bagus.
“Oiii, aku lagi di jalan
nih…”
Aku sedikit menjauhkan
Hp dari telingaku. Di jalan? Oh, pantas saja suara di seberang sana begitu berisik.
“Mau kemana?” balasku,
juga sedikit berteriak.
“Ke minimarket, beli sunblock.”
Apa? Beli apa tadi? Aku
gak salah dengar kan? Sunblock?
Apakah memancing di sungai yang kiri kanannya adalah pepohonan yang teduh juga
memerlukan sunblock? Tuhan, anak ini
kenapa sih?
“Oiii, udah dulu ya.
Nanti aku telpon balik deh. Dah ya.”
Telpon dimatikan. Aku
masih ternganga gak percaya. Ada-ada saja si Tetty ini.
Ngggg… nelpon Ayu saja.
“Hallo, ada apa?”
“Udah packing?” sahutku. Suara di seberang
tidak berisik. Itu artinya Ayu gak kemana-mana, gak ke minimarket apalagi beli sunblock.
“Belom. Aku lagi mau
pergi nih,”
Oh Tuhan, aku mohon,
jangan biarkan Ayu mengatakan bahwa dia akan ke minimarket untuk membeli sunblock. Aku bisa stress kalau sampai Ayu
mengatakan hal itu.
“Kemana?”
“Minimarket.”
GLEG!!!
“Ngggg… mau beli sunblock ya?” tanyaku hati-hati.
“Ya ampuuuuuun,”
Ya Tuhaaaaan, tuh
kaaaaan beneeeeer, Ayu beli sunblock.
Aduuuuuuuuuuuuh.
“Ngapain juga aku beli
begituan? Kita kan mau ke gunung, bukan ke pantai.” Ayu cengengesan di ujung
telpon.
Tuhan, terima kasih.
Masih juga ada temenku yang sedikit waras. “Terus kamu mau beli apa dong?”
“Aku mau beli masker
anti sinar ultra violet.”
AAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRGGGGHHHHH!!!
“Mau nitip?”
“ENGGAAAAK,
MAKASIIIIHHH. O IYA, SEKALIAN AJA BELI PERLENGKAPAN BUAT CREAMBATH DAN MANICURE
PADICURE!”
Telpon aku matikan. Aku
kesaaaaaaaaaaaaaaaaaaaallll.
Liburan kali ini memang
sebuah rencana besar. Rencana spektakuler. Belum pernah sepanjang aku hidup di
muka bumi ini aku berlibur ke desa. Tapi kalo berlibur sama temen-temen yang
aneh kayak gitu, mending aku nemenin Yesi aja deh.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar