Re termenung di belakang
kemudi mobilnya. Tatapan matanya lurus menghujam ke depan. Sesekali kosong.
Kedua telapak tangannya erat menggenggam setir. Sesekali terdengar dia menghela
napas perlahan, lalu menghembuskannya perlahan pula.
Mobil masih terparkir
dengan gagahnya di pelataran rumah Re. Keberangkatan tinggal menunggu detik
saja. Begitu kontak diputar, mobil akan melesat meninggalkan Pontianak untuk
beberapa waktu lamanya. Sanggau Ledo adalah tujuan yang pasti. Tapi yang
terjadi adalah, mobil masih juga mematung. Diam. Tak bergerak. Tak bersuara. Sepi.
Duduk di sebelah Re
adalah Tetty. Dia juga diam. Sedikit gelisah. Sesekali salah tingkah. Rasa
bersalah begitu kentara disana, di wajah dan juga gelagatnya. Tatapan matanya
lebih sering bermain di dasbor, namun sesekali juga terlempar ke luar.
Di belakang Tetty, Ayu
menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok mobil. Kelihatan banget dia nyoba untuk
rileks, namun usahanya gagal. Yang tampak justru sebuah ketegangan yang sangat.
Sesekali pandangan matanya beradu dengan Tetty lewat kaca di atas dasbor. Cukup
dengan saling tatap saja. Tak ada yang berinisiatif untuk membuka cerita atau
sekedar menyunggingkan senyum.
Leli sendiri tampak
sangat gugup. Dia tak ingin melihat siapa-siapa untuk saat ini. Tangannya
begitu tegang dan sedikit berkeringat. Duduknya gelisah. Selalu berubah posisi
setiap tiga menit sekali. Dan selama berubah posisi itu matanya tak juga
terbuka. Sungguh mengagumkan melihatnya berganti posisi dengan memejamkan mata.
Tetty menyentuh pundak Re
yang masih juga mematung. Pelan namun pasti, tatapannya kini beralih ke wajah
Re yang masih juga termenung.
“Kalo diam kamu ini
memang benar karena mobil, aku sungguh-sungguh minta maaf,” ucap Tetty dengan
intonasi yang penuh penyesalan, “Bukan mauku jika pada akhirnya semua ini harus
terjadi. Aku mengira kalo mobil itu memang milikku. Rupanya aku salah. Mobil
itu memang diperuntukkan buatku. Tapi toh tetap saja belinya pake duit mama. So, jelas aja kalo mama masih punya
kuasa atas mobil itu. Dan begitulah nasib si anak bungsu, selalu saja
dimenangkan tanpa harus mempertimbangkan siapa yang lebih punya kepentingan.”
Re mengangguk-anggukan kepalanya.
Tatapan matanya masih belum beranjak dari fokus semula. Rasanya dia sudah cukup
maklum dengan kejadian semacam ini. Bukan sekali dua Elsa menggagalkan
kesempatan Tetty untuk membawa mobil. Dan tentu saja untuk urusan yang satu
ini, Re benar-benar gak bisa ikut campur apalagi memaksa.
“Kumohon, maafin aku.”
Untuk pertama kalinya di
pagi ini Re menyunggingkan senyum, “Aku gak mempermasalahkan mobil kok.” kata
Re akhirnya, “Malah lebih bagus kalo kita berangkat pake mobilku saja. Mobil
Kakak gak akan cukup untuk menampung barang bawaanku yang udah kayak bantuan
kemanusiaan untuk korban perang di Gaza ini.”
Tetty menarik napas
lega, “Trus, barusan manyun ngapain dong?”
“Tau nih,” sahut Leli
dari belakang, masih dengan terpejam, “Plis
lah, kita ini cuma mau ke Sanggau Ledo aja kok, mau liburan. Gak lebih. Kok
merenungnya khusyu banget, udah kayak mau dikirim ke medan perang aja.”
Re menautkan alis.
Sontak matanya melirik Leli yang terkapar di jok belakang lewat kaca di atas
dasbor. Aje gile!!! Sambil merem aja bisa
sesadis itu kalo ngomong. Apalagi kalo melek coba? Terus… terus kok dia bisa
tau aku barusan khusyu banget? Dia kan lagi merem. Wah… Re hanya bisa
membatin.
“Ngaku deh, Abang pasti
lagi mikirin Yesi, kan?”
Re tersentak pelan. Apa
yang disampein sama Ayu barusan memang benar adanya. Mau tidak mau dia harus
mengangguk membenarkan.
“Kalo gitu, sama dong.”
“Kasian dia,” kata Re
perlahan, “harusnya dia di sini bareng kita.”
“Iya, Bang. Dari tadi
aku juga mikirnya gitu. Kasian dia. Kurang lebih sekitar enam jam lagi kita
akan senang-senang di Sanggau Ledo. Sementara dia pasti lagi manyun sekarang.”
“Lagian mamanya sih
ada-ada aja. Yang punya tamu kan beliau. Ngapain juga pake nyeret-nyeret Yesi
segala?” tambah Leli, masih juga dengan memejamkan mata.
Re mendesah, “Kalian
ingat gak kejadian tiga tahun yang lalu? Waktu itu kita dapet libur tanggal
merah dua hari dan kita memutuskan untuk pergi ke Singkawang, ke Taman Pasir
Panjang Indah. Karena suatu hal waktu itu aku gak bisa ikut. Kalian udah
mati-matian membujukku. Aku ingat benar waktu itu. Akhirnya Yesi mengambil
keputusan agar kalian gak pergi aja semuanya. Atas nama solidaritas,
kesetiakawanan, kebersamaan, atau apalah namanya. Yang jelas, waktu itu aku
ngerasa kalo kalian adalah bener-bener sahabat sejati yang pernah aku punya.
Aku terharu. Kalian bener-bener gak berangkat padahal aku udah merelakan andai
aja waktu itu kalian beneran pergi.”
Tetty diam. Ayu dan Leli
juga. Ketiganya dipaksa untuk kembali ke suatu dimensi waktu, dimana ketika itu
mereka memang akhirnya gak jadi berangkat ke Singkawang dan memilih liburan ke A
Yani Mega Mal aja meskipun memang membosankan. Tapi atas nama kebersamaan, yang
membosankan itu terasa lebih indah ketimbang yang menyenangkan tapi harus ada
yang ditinggalkan.
“Setelah kupikir-pikir,
hari ini kita udah jahat banget sama Yesi,” Re berucap lagi, kali ini sambil
tertunduk, “Bukan kita sih, tapi aku. Kemaren Ayu udah ngasih usul yang bagus
banget sebenernya. Sebaiknya kita batalin aja rencana liburan kali ini. Demi
Yesi. Demi sebuah kebersamaan. Tapi, tapi…”
“Udahlah, gak usah
terlalu dipikirkan.” Tetty memenggal kalimat Re sekenanya, “Kita juga ngerasain
hal yang sama. Kita juga mikir, andai aja liburan kali ini gak melibatkan orang
lain seperti pakdhe sekeluarga yang di Sanggau Ledo, udah pasti kita lebih
milih gak berangkat. Tapi pakdhe sekeluarga di Sanggau Ledo pasti udah bikin
persiapan buat nyambut kita. Misal kita bilang kalo kita batal datang di saat
persiapan itu udah kelar, pasti mereka kecewa.”
Ayu hanya menganggukkan
kepala demi membenarkan apa yang barusan dikatakan Tetty.
“Iya, bener. Aku
setuju.” Leli menyahut lagi, “Kita udah kenal Yesi dangan sangat baik. Yesi
pasti sangat kecewa, tapi toh nanti bisa kita bujuk. Nah, kalo yang kecewa pakdhe-nya
Re kan susah. Boro-boro membujuk, kenal aja belum.”
Akhirnya tak ada lagi
yang bersuara. Masing-masing berkutat dengan pikirannya.
Ayu meraih kantong
plastik berisi snack yang dia simpan
di dekat kaki. Dibukanya sebungkus Potato rasa sapi panggang. Diambilnya
beberapa potong lalu dikunyahnya pelan-pelan.
Leli kembali mengubah
posisi duduknya. Matanya masih juga terpejam. Entah ada apa dengan dia hari
ini. Tingkahnya begitu aneh.
Tetty meremas jemarinya
sendiri. Sesekali dia menoleh kebelakang. Tanpa basa-basi dicomotnya beberapa
potong kentang berperisa sapi panggang dari tangan Ayu dan dikunyahnya.
Pikirannya sedikit tenang kali ini. Entah itu karena potongan kentang yang
barusan dia kunyah atau memang sudah waktunya.
Re memejamkan mata.
Tangannya menggenggam erat setir. Perlahan, tangan kanannya terulur.
Disentuhnya kontak yang sudah menempel. Hampir diputarnya benda itu, namun
urung. Satu persatu ditatapnya sahabat-sahabat yang kini ada di dalam mobilnya
ini. Tetty, Ayu, Leli juga. Dia sudah membulatkan tekad. Pikirannya sudah
mantap.
“Baiklah, kita berdoa
dulu. Sebentar lagi kita berangkat.”
Ayu meletakkan snack yang dia pegang lalu mengambil
posisi untuk berdoa. Matanya terpejam khusyu. Bibirnya sedikit komat-kamit. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Tetty, Leli, dan Re sendiri. Sejenak kemudian
ritual yang selalu mereka lakukan sebelum pergi jauh pun selesai.
Re memutar kontak.
Strada Silver Metalik bergetar dengan lembut. Pelan-pelan mobil mulai keluar
dari pelataran rumah dan menapak dengan mantap pada jalan beraspal halus.
Sesaat ketika Strada yang gagah itu akan tinggal landas, mendadak sebuah sedan
memotong jalan dan melintang persis di depan mobil yang dikemudikan Re.
Menyadari bahwa sedan
itu gak juga beranjak minggir, Re yang pada dasarnya memang emosian langsung
memencet klakson berkali-kali.
“Ini orang maunya apa
sih?” Re sudah akan keluar dari mobil ketika sebelah tangan Tetty berhasil
menangkap pergelangan tangannya.
“Tenang Re, gak usah
pake emosi gitu lah.”
Re memencet klakson lagi.
Kali ini cukup ampuh. Pintu sedan terbuka dan seseorang keluar dari sana.
Seorang perempuan yang memakai topi pantai dan kaca mata hitam berjalan
menghampiri mobil Re yang masih tak beranjak dari tempat semula.
Perempuan itu membuka
topi pantai dan kaca mata hitam yang dia kenakan, “Masih ada tempat duduk gak
buat aku?”
“YESIIIIIIIIIIIIIIIIIII???????”
Gak ada yang gak teriak.
Re teriak. Tetty teriak. Ayu teriak. Leli membuka matanya, lalu teriak,
“KRITIIIINGGGGGG???”
Mereka yang masih di
dalam mobil mematung sekian detik. Menganga. Mengucek mata. Mencubit lengan
sendiri. Menampar pipi temen terdekat. Seakan tak percaya dengan apa yang
mereka lihat. Sekian detik berikutnya, mereka berempat saling belomba untuk
turun dari mobil.
“YESIIIII, ini bener
kamu?” Tetty yang paling dulu nyampe di hadapan Yesi langsung memeluknya. Ayu
dan Leli segera menyusul.
“Iya lah, ini aku. Emang
kalian pikir ada orang yang mirip banget sama aku di Pontianak ini?”
Re merasa takjub dengan
kejadian ini. “Kok kamu bisa sih lolos dari lubang jarum di saat yang genting
seperti ini?” ah, tentu saja takjub. Bayangin aja. Mobil udah di jalan, mesin
udah idup, tinggal injak pedal gas aja maka mobil akan melesat dengan
kencangnya. Telat lima menit aja maka ketidakikutsertaan Yesi akan benar-benar
menjadi kenyataan.
Yesi meringis, “Kalian
juga udah pada tau kan kalo segala sesuatunya tuh selalu memiliki kemungkinan
untuk terjadi, meskipun beberapa diantaranya emang sangat tipis dan nyaris gak
mungkin. Dalam hal ini, aku ada di posisi yang nyaris gak mungkin itu. Tapi
bukan berarti gak bisa, kan?” jawabnya diplomatis.
Mereka semua tertawa
lepas. Benar-benar lepas. Tanpa beban. Tanpa kesedihan.
***