Novel Cinta
Tak Pernah Tepat Waktu adalah satu-satunya novel karya Puthut EA. Setidaknya
begitulah informasi yang saya dapat dari kata pengantar yang ada di novel ini. Sebagai
satu-satunya karya yang berupa novel, tentu novel ini bisa disebut masterpiece dari Puthut. Abaikan beberapa
buku kumpulan cerita pendek yang juga sudah dia terbitkan. Nah, sebagai karya masterpiece, saya sebagai pembaca awam
yang memang mencari sebuah kesenangan setiap membaca karya sastra, justru
lumayan kecewa dengan konten novel ini. Saya sudah membaca dua kumpulan crita
pendek Puthut lainnya; Seekor Bebek yang
Mati di Pinggir Kali dan Kupu-kupu
Bersayap Gelap. Dua kumpulan cerpen tersebut sangat bagus menurut saya. Saya
begitu kagum dengan Puthut mengolah setiap cerita yang ada di dua buku
tersebut. Saya berharap ketika membaca buku Puthut yang lain, yang bentuknya
novel, tentu akan lebih bagus lagi lantaran banyak ruang di dalam novel yang
bisa diisi dengan adegan-adegan menyenangkan tanpa harus takut dibatasi oleh
tebal halaman. Ternyata, harapan saya tidak terkabul di novel ini.
Buku ini saya beli sekitar tahun 2016 dan baru
saya baca bulan Juni 2017. Buku yang saya pegang adalah cetakan kelima. Cetakan
pertama buku ini diterbitkan oleh penerbit Oracle tahun 2005. Menemukan nama
Eka Kurniawan di posisi penyunting sebenarnya sudah menjadi jaminan bahwa kelak
novel ini bakal menyenangkan sebab Eka adalah novelis yang beberapa bukunya
sudah saya baca dan berhasil membuat saya berdecak kagum. Begitu juga testimoni
singkat yang ada di sampul belakang novel. Oh iya, baru saya sadar begitu
kuatnya pengaruh testimoni terhadap keputusan yang akan diambil oleh calon
pembeli buku; beli atau tidak!
Novel ini dibuka dengan sebuah prolog. Berlembar-lembar
yang hanya berbentuk narasi. Berkisah soal segala macam kesialan si aku, kegalauan si aku, dan segala macam dosa masa lalu si aku. Biasanya nih, sekali lagi biasanya, kalau saya menemukan
bab awal seperti ini, saya tidak akan membaca buku tersebut sampai habis. Banyak
novel saya di rumah yang numpuk begitu saja tanpa saya baca lantaran merasa
kecewa dengan pembukaan bab yang remeh. Tapi, untuk karya Puthut, saya bertekad
harus baca sampai habis. Saya berpikir, di bab 1 ini Puthut belum ‘panas’.
Tapi, sampai pada akhir bab 6, saya belum
menemukan apa-apa. Saya mulai uring-uringan. Kenapa bisa begini? Saya terus
merangsang rasa penasaran di dalam diri saya sendiri. Harus selesai. Harus sampai
selesai. Ingat, di bab 2 sudah mulai enak. Sudah banyak dialog di bab tersebut.
Bahkan situasi sudah mulai tegang. Tapi kok balik lagi ke buku harian. Ah...
Bab 7 adalah bab yang membuat dorongan kuat pada
diri saya untuk tidak menyelesaikan membaca buku ini. Meskipun pada akhirnya
saya baca juga. Butuh beberapa hari untuk menyelesaikan membaca satu bab saja. Bayangkan!
Bab 7 berkisah tentang cerita-cerita si aku tentang kamu yang pada akhir bab ternyata kamu itu ya si aku
sendiri. Berlembar-lembar dihabiskan cuma untuk mengobral kisah-kisah narsis
dan pedenya si aku. Saya berharap
bahwa si aku itu bukan Puthut. Saya berharap
Puthut cuma menceritakan orang lain. Jujur, saya sangat tidak nyaman membaca
bab ini. Begitu banyak kisah heroik si
aku yang sepertinya ingin ditampilkan dan berusaha untuk meluruskan sejarah
yang ,barangkali, memang bengkok. Celakanya, segala macam kebosanan ini diulangi
lagi di bab 10, bab 11, dan bab 15. Aaarrrgggghhhh...!
O iya, di
bab 14 saya menemukan kisah hancurnya si
aku yang justru saya tangkap sebagai kisah yang lebai. Pada halaman 214, si aku berkunjung ke rumah Tante Wijang
dan menceritakan semua hal yang membuat dia hancur, tidak tidur berhari-hari,
dan kehilangan semangat hidup. Alasannya sederhana; ketemu dia. KETEMU DIA. Saya
beri tahu, dia itu adalah mantan si aku.
Coba kalian bandingkan dengan kisah heroik si
aku yang cetar dan bergelora di bab 7. Si
aku yang merupakan figur hebat, menjadi panutan, seorang pemimpin, disegani
oleh kalangan atas, bla... bla... bla... bisa hancur sedemikian rupa cuma
karena ketemu mantan??? Hahaha...!!!
Sebelum membaca bab terakhir novel ini, saya
merasakan banyak adegan yang terus diulang-ulang. Klise. Sebutlah si aku ini selalu begitu; bangun tidur,
menyalakan Hp, menjerang air, cuci muka, gosok gigi, bikin kopi, ke warnet,
makan, belanja, pulang. Begituuuuuuuuu terus. Adegan seperti itu terjadi hampir
di semua bab. Klise. Mirip dengan penggunaan kalimat ‘pada zaman dahulu...’
untuk memulai membacakan sebuah dongeng. Puthut mengisahkan si aku mulai dari bangun tidur sampai
mau tidur lagi. Seperti sedang menulis buku harian ketika mendapat tugas dari
guru Bahasa Indonesia saat SD dulu.
Bab 15 adalah bab terakhir sebelum epilog. Ini adalah
bab yang paling saya sukai. Peristiwa yang dibangun di bab ini terasa ringan
dan cair. Khas Puthut. Seperti yang dia pakai di buku Para Bajingan yang Menyenangkan.
Di bab 15 saya menemukan tokoh Eka Kurniawan dan
Puthut EA juga ikut berdialog. Artinya? Iya. Si aku ternyata bukan Puthut. Syukurlah.
Bab epilog. Bab penutup. Kisah yang sudah bisa
saya tebak begitu adegan kereta dimainkan. Dan... tebakan saja 100% jitu. Tepat.
Okelah. Pada akhirnya, saya harus jujur soal
novel ini. Saya tidak menemukan kesan yang dalam begitu saya berhasil
menyelesaikan membaca novel ini dengan susah payah. Satu hal yang harus saya
puji, tentang diri saya sendiri, bukan tentang novel ini, bahwa ternyata saya
bisa menyelesaikan membaca buku yang sedari awal sudah tidak menggugah minat
saya.
Saya bergarap Puthut EA menulis lagi. Bikin karya masterpiece lagi dan semoga tidak seperti buku harian lagi.
Gaes, ini bukan resensi. Bukan
juga kritik. Saya bukan resensator dan sama sekali tidak punya kapasitas
sebagai tukang kritik. Ini adalah rasa yang saya rasakan ketika membaca sebuah
karya sastra. Saya pembaca awam yang tak terlalu paham soal kritik sastra. Saya
hanya mencari kesenangan. Ketika saya senang, saya akan puji. Ketika tidak
senang, saya akan tinggalkan. Simpel. Jujur, novel ini tidak saya senangi tapi
berhasil saya baca sampai habis. Heheheheheee... maaf ya Mas Puthut.
Ketapang, 21 Juni 2017
13.42 Wib
Kakanda
Redi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar