Redia Yosianto
Ramadhan hari kedua puluh satu,
tahun 2005. Seperti biasa. Sahur kujalani sendirian di kamar kost yang sepi dan
gelap. Aku benar-benar sendirian. Beberapa sahabat yang tinggal satu kost
denganku sudah pada mudik ke kampung halaman masing-masing. Aku sendiri
berencana untuk mudik sekitar sehari atau dua hari lagi.
Aku
tidak sadar sejak kapan kamarku gelap begini. Aku ingat ketika aku merebahkan
diri, lampu masih menyala. Sekarang, ketika aku bangun untuk makan sahur, kamar
sudah gelap. Kuintip keadaan di luar lewat celah jendela kamarku. Ternyata
gelap juga. Mati lampu total. Mungkin sedang ada pemadaman listrik bergilir.
Aku
berusaha menemukan sesuatu di sebelah bantalku. Yang pertama kali kupegang
adalah Hp, karena memang benda mungil inilah yang membangunkanku barusan.
Dengan cahaya redupnya, kucoba mencari lilin. Aku ingat aku masih menyimpan
sebatang lilin di pojokan dekat lemari pakaian. Lumayanlah. Meski tidak terang,
dapat juga aku makan sahur tanpa harus meraba-raba.
Rice cooker
kubuka. Betapa kagetnya aku ketika aku mencium bau yang tidak sedap dari dalam rice cooker di hadapanku ini. Aku mulai
curiga dan sedikit harap-harap cemas. Curiga jangan-jangan nasi bungkus untuk
sahur hari ini basi. Harap-harap cemas semoga hal itu tidak sampai terjadi.
Aku
keluarkan bungkusan nasi dari dalam rice
cooker. Dingin. Sama sekali tidak ada hangat-hangatnya. Berarti lampu padam
sudah cukup lama. Seketika kecurigaanku perlahan-lahan mendekati kenyataan
ketika sedikit demi sedikit bungkusan nasi kubuka. Dan, benar saja. Nasi
berikut sepotong tempe dan sebutir telur mata sapi yang sudah tersiram kuah ini
basi. Aku memang terbiasa seperti ini. Bukan terbiasa makan nasi basi maksudku,
tapi terbiasa membeli nasi bungkus lengkap dengan sayur dan lauknya sekalian.
Sejauh ini aman-aman saja. Nasi untuk sahur tidak pernah basi selama listrik
tidak mati. Tapi sahur kali ini sungguh membuatku sedih. Benar-benar sedih.
Sudah tidak ada apa-apa lagi yang bisa dimakan. Mie instan sudah habis dua hari
yang lalu. Minuman sereal saset, ada, tinggal sebungkus. Tapi tentu saja
percuma. Aku tidak bisa memasak air panas. Ceret pemanas air milikku tentu saja
tidak akan berguna jika listrik mati seperti sekarang ini. Memakan sereal itu
mentah-mentah? Kupikir akulah orang aneh yang melakukannya pertama kali andai
itu benar aku lakukan. Atau, beli makanan lagi saja? Nasi bungkus dengan lauk
telur mata sapi dan sepotong tempe tidaklah terlalu mahal. Tapi tidak untuk
kali ini. Aku ingat uangku tinggal lima puluh ribu. Sangat pas-pasan untuk ongkos
bis kalau aku mudik nanti. Dan kalaupun aku nekat beli makan sekarang, tentu
saja waktunya tidak akan cukup lagi. Aku tidak punya motor. Berjalan kaki
menuju kedai makan terdekat sekalipun sudah barang tentu akan menghabiskan
banyak waktu.
Kulirik
jam yang tertera di layar Hp. Pukul tiga lebih empat puluh enam menit. Sebentar
lagi imsak. Akhirnya kuputuskan untuk memakan apa yang ada saja. Nasi bungkus
dihadapanku aku kais-kais, kucari bongkahan nasi yang belum tersiram kuah.
Lumayan. Ada beberapa bongkah nasi yang masih bisa aku makan. Sungguh, rasanya
sangat aneh. Kupaksakan juga agar nasi yang aku kunyah itu tertelan dan segera
masuk ke perutku. Entah sejak kapan air mataku menetes. Yang aku tahu,
tiba-tiba pipiku terasa hangat. Ada yang mengalir di sana. Aku bukanlah
laki-laki yang cengeng. Aku tidak pernah menangis. Tapi entah mengapa, kali ini
rasanya lain sekali.
Sepi
ini terkoyak oleh Hp di sebelahku yang tiba-tiba berbunyi. Kulihat di layar,
Ibuku memanggil. Aku menarik napas. Aku tidak ingin terdengar sedang atau baru
saja menangis.
“Halo,
Mak, Assalamualaikum,” ucapku senatural mungkin.
“Waalaikum
salam. Sudah sahur, Mas?”
Ibuku
memang biasa memanggilku ‘Mas’ karena aku adalah anak tertua, “Iya, baru saja,
Mak. Di rumah lauknya apa?”
“Sayur
nangka sama tahu goreng. Mas tadi sahur lauk apa?”
Seketika
kerongkonganku tercekat. Tuhan, kuatkan hamba. “Lauk tempe sama telur.” Aku
tidak bohong, kan? Memang itulah laukku meski tidak aku makan.
“Wah,
enak itu, Mas. Hemat-hemat loh ya.”
Aku
cuma bisa mengangguk. Tentu saja ibuku tidak bisa melihat anggukanku barusan. Sedapat
mungkin aku tidak memperdengarkan suara yang mencurigakan. Susah sekali rasanya
berbicara sambil menahan isak tangis. Begini rasanya jika jauh dari orang tua.
Hal-hal yang tidak terduga seperti yang aku alami ini sungguh tidak enak. Tapi
aku sadar. Allah sedang berbicara denganku. Allah sedang mengujiku. Aku sadar
akan hal itu.
Pontianak, 2012
Mengenang Ramadhan tujuh tahun yang
lalu.
#dimuat dalam buku antologi Ramadhan di Rantau
diterbitkan oleh penerbit Harfeey
Tidak ada komentar:
Posting Komentar