Segalanya kini telah selesai. Telah terbongkar.
Asmawi telah mengakui segala perbuatannya. Dialah yang membunuh Sumi. Dia juga
yang mengubur Sumi di semak-semak, di belakang vila. Karenanya, ketika Mas Handoyo
memintanya untuk membersihkan rumput di sekitar vila menjelang kedatangan Re
dan kawan-kawan tempo hari, Asmawi memang sengaja tidak memangkas rumput di
sudut kanan belakang vila itu.
Kini jasad Sumi sudah digali, sudah
dipindahkan ke tempat yang semestinya. Di sebuah pemakaman kecil,
tulang-belulang Sumi dipindahkan. Upacara pemakaman yang berlangsung khidmat
itu dihadiri oleh hampir seluruh penduduk. Kebanyakan dari mereka sungguh tidak
menyangka jika Asmawi yang dipandang sebagai pemuda yang kalem, santun, dan
rajin, tega berbuat bejat seperti itu. Semua geleng-geleng. Tak habis pikir.
Beberapa ibu dan tetangga yang mengenal Sumi malah ada yang sampai meneteskan
air mata.
Yesi yang turut menghadiri
upacara pemindahan jasad Sumi mulai sadar apa yang sebenarnya telah terjadi.
Semalam dia pingsan dan baru siuman saat hari menjelang pagi. Tampilannya
kusut. Acak-acakan. Matanya sayu dan sembab. Sesekali dia tampak menyandarkan
kepala ke pundak Tetty.
“Semua udah kelar. Kamu
tenang aja,” Tetty menguatkan sahabatnya itu dengan pelukan.
Yesi mengangguk sekali,
“Kenapa mesti aku sih yang dipilih Ranti?” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.
Suaranya sudah mulai pulih sedikit demi sedikit.
“Kata Mbok War, mungkin
itu karena ulang tahunmu sama persis dengan ulang tahun Sumi. Makanya kamu yang
dipilih,” sahut Leli yang juga ada di sebelah Yesi.
Pemindahan jasad sudah
selesai. Orang-orang telah meninggalkan pemakaman satu demi satu. Lambat laun
pemakaman ini kian sepi saja. Yang tersisa hanya segelintir orang yang memang
punya kepentingan. Mbok War, Yesi, Ajeng, Re, Mas Handoyo, Tetty, Ayu, dan
Leli. Pakdhe Warno dan Budhe Lasmi memilih untuk meninggalkan pemakaman lebih
dulu.
Perlahan, langit tampak
gelap. Mendung berarak pelan, menutupi dusun dengan nuansa pekat. Angin
berhembus sedikit lebih kencang dari biasanya.
“Mbok, sebaiknya kita
pulang. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Lihat, langit sudah gelap.”
Ajeng merengkuh pundak Mbok War yang masih sesenggukan di nisan Sumi.
Meski kelihatan sangat
berat, perempuan tua itu berdiri juga seraya menyeka air mata yang masih
menetes. Diusapnya nisan anaknya itu sekali lagi, “Tidur yang nyenyak ya, Nduk. Emak akan sering-sering kesini,
menjenguk kamu. Kamu jangan nakal lagi ya, Nduk.
Masalahmu sudah selesai sekarang.”
Re memalingkan wajah. Re
tampak sedikit salah tingkah. Dia merasa bahwa dia kuat, dia tegar. Tapi toh pada
akhirnya dia sadar kalau dia salah. Pelan-pelan air matanya menetes juga.
Mati-matian disembunyikannya air mata itu. Dia tak ingin terlihat menangis.
Tapi bagaimanapun juga, apa yang sedang tersaji di hadapannya kini memang
sungguh menyentuh perasaan. Dadanya bergetar hebat. jika tidak ingat malu,
ingin rasanya dia menangis meraung-raung saat ini juga. Betapa tidak? Mbok War
tiba-tiba sesenggukan lagi, berlutut dan menciumi nisan Sumi, dan ini terjadi
persis di depan matanya. Re sadar bahwa hatinya tidak terbuat dari batu. Betapa
Re iri dengan teman-teman yang lain, yang dengan mudahnya sesenggukan tanpa
rasa sungkan sedikitpun.
“Kita pulang ya, Mbok.”
Gerimis kian membuat
hari jadi muram.
***
Siang, pukul 13.15 WIB.
Re memasukkan tas
terakhir ke bak Strada Silver Metalik kesayangannya. Tutup bak segera
dirapatkan setelahnya mengingat hujan masih turun rintik-rintik. Kemudian dia
bergegas ke beranda rumah. Disana, di beranda itu, sudah berkumpul teman-teman
Re, Ajeng, Pakdhe Warno, Bude Lasmi, Mas Handoyo, dan Mbok War.
“Kami harus segera
berangkat, Pakdhe. Betapapun ngototnya saya mencegah Yesi agar menunda
kepulangan, tetap tidak berhasil. Yesi minta pulang hari ini juga. Teman-teman
yang lain meluluskan permintaan Yesi. Jadi rasanya saya pun harus demikian,”
ujar Re pelan. Di hadapannya, Pakdhe Warno hanya bisa mengangguk pasrah.
“Tidak apa-apa. Mungkin
itu lebih baik. Kita harus menjaga hal-hal yang tidak kita inginkan agar jangan
terjadi lagi. Yesi sedang terguncang batin dan jiwanya. Jika dia terlalu lama
disini, mungkin itu tidaklah bagus buatnya.”
“Saya juga berpikir
seperti itu, Pakdhe.”
“Baiklah, hati-hati bawa
mobil. Pelan-pelan saja. Doa kami selalu menyertai dari sini.”
Re segera mencium
punggung tangan Pakdhenya itu. Lalu pindah ke Budhe Lasmi dan Ajeng. Di hadapan
Mas Handoyo, Re tersenyum, “Senang sekali bisa menghabiskan waktu liburan
bersama Mas. Saya harap suatu saat kita bisa berkumpul lagi seperti ini,” ujar
Re lirih.
“Iya, Re. kamu dan
teman-teman juga, jika tidak sibuk, sering-seringlah berkunjung ke rumah
pakdhe, ke dusun kita ini. Kami akan selalu merindukan kalian.”
Sejenak kemudian, tubuh
Re sudah melekat dengan tubuh Mas Handoyo. Mereka berpelukan erat. Terakhir, Re
mencium punggung tangan Mbok War yang tampak berkaca-kaca. “Saya pamit ya,
Mbok. Mbok jangan sedih lagi. Sumi sudah tidur dengan damai. Semua sudah
selesai.” Ujar Re nyaris berbisik.
Mbok War hanya
mengangguk-angguk, tak sanggup lagi
berkata-kata. Air matanya sudah bercucuran sejak tadi.
Sampai pada giliran
Yesi, tiba-tiba Mbok War meraung. Tangisnya meledak. Didekapnya tubuh Yesi
dengan erat, seperti tak ingin dia lepaskan lagi. “Mbok akan selalu merindukanmu,
Nak. Terima kasih karena sudah membantu Ranti,” ujar Mbok War disela
sesenggukannya.
Yesi mengangguk lemah,
“Iya Mbok.” Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Yesi. Selebihnya, dia pun
sesenggukan. Air matanya tumpah sudah.
Re menatap satu persatu
orang-orang di hadapannya. Teman-temannya berdiri di belakang. “Kami mohon
pamit. Kami minta maaf jika selama tinggal disini kami sudah banyak buat salah.
Banyak bikin onar. Mohon kami dimaafkan.”
Pakdhe Warno hanya
mengangguk sambil tersenyum sekilas.
Setengah berlari, Re
menuju pintu mobil, diikuti oleh Tetty, Leli, Ayu, dan Yesi. Mereka duduk di
posisi yang sama dengan posisi ketika berangkat dulu.
Re mengusap kepalanya
yang sedikit basah oleh gerimis. Ditolehnya sejenak Tetty yang duduk di sebelah
kirinya, lalu pandangan matanya pindah ke belakang, ke Leli yang duduk di
sebelah kanan, Yesi di tengah, dan Ayu yang merapat ke sebelah kiri.
Mesin mobil sudah
dihidupkan. Mobil bergetar pelan. Kedua tangan Re sudah melekat di setir mobil.
Re menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Liburan yang hanya
beberapa hari, tapi meninggalkan sebuah kesan yang dalam.
Semua yang ada di dalam
mobil terdiam. Sementara gerimis di luar sana kian menderas, kian membuat
suasana jadi kelam.
“Kita berdoa dulu,” ucap
Re dengan suara yang berat.
Re membunyikan klakson
dua kali, seiring mobil yang mulai bergerak perlahan. Re melambaikan tangan.
Tetty, Leli, dan Ayu juga melakukan hal yang sama. Kecuali Yesi. Dia hanya
tersenyum. Senyum yang sungguh kentara dipaksakan.
Mobil kian menjauh,
meninggalkan pekarangan rumah Pakdhe Warno, meninggalkan dusun yang tenang,
meninggalkan kehidupan yang damai, meninggalkan semuanya yang beberapa saat
lagi akan mereka sebut dengan sebutan ‘sebuah kenangan manis’. Entah kapan lagi
mereka akan berkunjung ke dusun ini.
Yesi melemparkan tatap
ke luar jendela. Tak begitu jauh dari jalan, di atas sebuah bukit yang tak
terlalu tinggi, tampak olehnya vila yang berdiri dengan gagahnya. Yesi
tersenyum. Di sana, di depan vila, berdiri seorang gadis yang tersenyum manis.
Sangat manis. Gadis itu mengenakan kebaya berwarna hijau muda dipadu dengan
kain batik di bagian bawah. Sungguh pantas dan terkesan anggun. Rambut
panjangnya tergerai tertiup angin. Gadis itu melambai ke Yesi. Senyumnya masih
mengembang.
Yesi menundukkan wajah,
berusaha melihat gadis itu dengan jelas. Bibirnya tersenyum. Yesi segera
membalas lambaian gadis di depan vila itu. Mobil yang berjalan tak terlalu laju
membuat keduanya, Yesi dan gadis itu, bisa saling melambai dengan sedikit lebih
lama.
Leli yang kali ini bisa
sedikit lebih tahan dari serangan mabok kendaraan, merasa bingung dengan sikap
Yesi ini. Matanya mencoba mengikuti arah tatapan mata Yesi. Leli yakin dengan
pasti jika tatapan mata Yesi saat ini sedang tertuju ke Vila. Tapi yang
membuatnya heran adalah: tak ada siapa-siapa di sana, di sekeliling vila itu.
Leli tak menemukan siapa-siapa, seorangpun. Alis Leli bertaut.
“Kamu lagi senyum-senyum
sama siapa sih, Yesi?” Leli mulai menyelidiki, sementara yang ditanya malah
melambai-lambaikan tangan lebih sering.
Tetty menoleh ke
belakang. Begitu tau kalau Yesi bertingkah aneh, sontak tatapan mata Tetty juga
mengikuti arah tatapan mata Yesi. Kening Tetty langsung berkerut. Bener aja
kalo Leli bingung. Tetty jga gak nemuin siapa-siapa di sekeliling vila itu.
Tetty berkata sedikit
membentak, “Jangan bilang kalo kamu sekarang sedang tersenyum sama…”
“Ranti,” Yesi memenggal
kalimat Tetty sekenanya, “di depan vila ada Ranti. Dia melambai ke arah kita.
Dia tersenyum, manis sekali.”
Mempawah, 10 Februari 2013
19.49 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar