Semalam beberapa temen berlaku aneh. Dimulai
dari Tetty yang udah ketakutan ketika ketemu gelap. Terus, di kamar, dia bilang
ada aroma kamboja. Lalu Ajeng. Kalo Tetty mencium aroma kamboja, Ajeng justru
malah sebaliknya. Dia bilang dia mencium bau yang sangat busuk. Bau yang
menyengat seperti bau bangkai atau apalah namanya. Ini terjadi di tempat yang
sama dan dalam waktu yang nyaris bersamaan. Aneh kan? Aku sendiri yang ada di
sebelah mereka sama sekali gak mencium apa-apa selain pengap udara kamar. Ah…
ada-ada aja.
Lalu
Ayu datang nakut-nakutin. Kusumpahin itu anak beneran dilihatin kuntilanak.
Biar dia tau rasa gimana rasanya orang yang mati-matian nahan pipis karena
takut.
Leli
lain lagi. Pas acara bakar jagung, dia bilang kalo disekitar kami ada sesuatu
yang terus ngelihatin. Itu anak sepanjang acara terus-terusan celingukan kayak
beneran nyari sesuatu yang menurutku memang gak ada. Tapi toh Leli tetep ngotot
dengan apa yang dia rasakan. Aku baru yakin dia gak main-main ketika dia nyaris
pingsan pas dikagetin sama Mas Handoyo yang pura-pura jadi pocong dan berdiri
dibelakang Leli. Kupikir itu bukan lelucon yang pas di saat suasana gelap kayak
semalam. Mas Handoyo sendiri malah cekakakan senang karena ngerasa ulahnya
berhasil. Leli pura-pura merajuk. Tapi Ayu malah sebaliknya. Sepertinya dia
merajuk beneran. Aku gak tau apa yang dia rajukkan, tapi kayaknya gak jauh-jauh
dari perihal Mas Handoyo yang ngagetin Leli.
Re
malah memperparah keadaan dengan seolah-olah mendengar suara langkah yang
katanya makin lama makin dekat. Aku dan temen-temen menajamkan pendengaran.
Ajeng yang paling pertama bilang kalo dia juga mendengar. Lalu Ayu yang mulai
ketakutan. Kemudian kami semua mulai menyadarinya, menyadari suara langkah itu
maksudku, bukan menyadari Ayu yang mulai ketakutan tadi. Sebodo tuing sih kalo
sola Ayu. Bete deh sama dia.
Makin lama suara langkah
itu makin nyata. Jantungku mulai berdegup kencang. Jagung bakar yang aku pegang
entah kapan jatuhnya, tau-tau udah di tanah.
Ajeng udah mau teriak
ketika seseorang menyorotkan cahaya lampu senter ke arah kami. Huffffff…
rupanya pakdhe yang datang. Beliau cuma memastikan kalo kami baik-baik saja.
Sebenernya baik-baik saja kalo beliau gak datang dengan cara yang misterius
kayak gitu. Aku mendengus kesal.
“Lagi pada bakar jagung
rupanya.”
Gitu doang tuh komentar
pakdhe. Setelahnya beliau basa-basi sebentar sama Mas Handoyo dan Re, terus
pulang deh. Kami yang perempuan-perempuan ini cuma kebagian pesan agar
berhati-hati dan tidak terlalu riuh saja.
Tapi gimanapun juga,
yang semalam itu menyenangkan kok. Dan segala macam kesenangan semalam akan
kami lanjutkan lagi hari ini. Rencananya target sasaran hari ini adalah sungai
kecil di belakang vila. Mas Handoyo sama Re mau mancing katanya. Aku sih pilih
maen air aja. Lebih menyenangkan.
“Ayolah kita berangkat.
Nanti kalau keburu siang, panas loh.”
Kami bersorak menyambut
kalimat Mas Handoyo barusan. Ajeng sama Tetty gak kelihatan. Aku mulai
celingukan. “Ajeng sama Tetty mana?”
“Pulang. Ngambil bekal
untuk makan siang di tepi sungai nanti. Kalo Mbak Ajeng sendiri kan kasian.
Repot nanti.” Re ngasih penjelasan.
“Kok cuma untuk makan
siang? Emang kita gak sarapan?”
“Lah, kan tadi udah.
Jagung rebus sama ketela goreng itu kan sarapan juga.”
Ah, payah. Gak ada sesi
makan nasi dong kalo gitu. Tapi sudah lah. Ketela tadi enak juga kok.
***
Sampai di tepi sungai,
segalanya langsung terasa berubah. Apa yang tersaji disini sungguh luar biasa.
Aku ingin teriak sambil main air. Aku ingin menyelam. Aku ingin berendam di
sela-sela bebatuan yang menghampar. Aku ingin melepaskan penat. Aku ingin…
“Woi… aku mau ke bawah ya, pengen ke tempat yang sedikit lebih dalam,” teriakku
ke teman-teman. Re sedang memasang umpan. Mas Handoyo sedang menyiapkan senar
untuk dipasangi mata kail. Leli sedang merendam kaki di jernihnya air yang
bergemericik. Ayu sedang… ah, kayaknya lagi ngumpulin bebatuan sambil
ngelirik-ngelirik Mas Handoyo. Alasan aja dia. Untuk apa juga batu-batu itu
dikumpulin? Beuhhhh… kurang kerjaan banget.
“Jangan jauh-jauh ya?”
teriak Mas Handoyo yang segera kujawab dengan acungan jempol.
Aku menyusuri sungai
dengan perasaan bahagia. Air yang sangat dingin ini seolah berhasil
mendinginkan otakku juga. Letihku hilang seketika. Tatapan mataku sungguh
dimanjakan oleh pemandangan yang menyenangkan. Suara air yang bergemericik. Di
beberapa sudut, air membusa sebab menghantam bebatuan yang bertebaran. Kicau
burung kian menambah syahdu pagi ini. Oh, sungguh kebahagian yang tak dapat
kutukar dengan apapun.
Aku kian terpesona oleh
alam yang begitu cantik ini. Entah sudah berapa jauh teman-temanku kutinggalkan
di belakang. Aku tak lagi mendengar suara mereka. Hanya gerak tubuh saja yang
masih tampak. Re beberapa kali mengangkat joran pancing namun sepertinya tidak
menghasilkan apa-apa. Aku tersenyum. Mas Handoyo sepertinya terbahak-bahak.
Mata kailnya dimakan ikan yang cukup besar. Ayu bersorak sambil tepuk tangan
segala.
“Hai,”
Aku mencelat dan nyaris
terjerembab ke air. Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Seorang
perempuan. Kutaksir usianya sebayaku. Cantik. Kulitnya putih. Lesung pipinya
begitu kentara acapkali dia tersenyum. Bajunya kebaya model noni jaman Belanda
dulu, berkerah longgar dan diikat diujungnya. Aku pernah melihat baju seperti
ini di film Si Pitung. Rambutnya yang panjang terurai dipermainkan angin pagi
yang sesekali lewat. Bakul berisi beberapa potong pakaian terapit disela lengan
kirinya.
Sejenak aku linglung,
gak ngerti mesti ngapain. Aku cukup takjub juga. Gadis secantik dia rasanya
terlalu aneh berada di dusun terpencil seperti ini. Maksudku, nggggg, gini deh.
Kata Ajeng, orang-orang di sini setiap hari bekerja di ladang. Gak mungkin aja
kerja di ladang sambil bawa payung. Nah, kalo tiap hari tersengat sinar
matahari langsung, pasti hitam kan? Ini? Kulitnya kok bisa putih begini?
“Kenalkan,” gadis di
hadapanku mengangsurkan tangan, “aku Wiranti. Panggil saja Ranti.”
“Aku Yesi Vinawuli
Tabais. Ngggggg, panggil saja Tabais. Eh, bukan bukan, panggil saja aku Yesi.”
Aku gugup. Sementara gadis di hadapanku malah tersenyum. Dia berjalan menepi.
Aku membuntutinya.
“Sudah lama di dusun
ini?” tanya Ranti seraya duduk di bebatuan yang teduh. Sebuah dahan besar condong
ke sungai dan melindungi kami dari sengat sinar matahari.
“Ini adalah hari kedua
kami. O iya, rumah kamu dimana?”
Ranti menunjuk semak
yang tidak terlalu tinggi di seberang sana, “Lihat, disana ada jalan kecil.
Rumahku tidak jauh dari sini. Aku lebih senang ke sungai ini lewat jalan itu
ketimbang lewat vila. Lewat jalan itu lebih dekat.”
Aku mengangguk.
“Maaf jika aku terlalu
lancang, aku ingin bertanya tentang sesuatu. Itu pun kalau kamu mau
menjawabnya,”
Oh, tentu saja aku tidak
keberatan, “Silahkan,”
“Apa semalam kalian
diganggu oleh, nggggggg, oleh hantu perempuan? Baiklah, mungkin bukan hantu,
tapi apalah namanya yang memang menjurus kesitu.”
Aku berpikir sejenak.
Sepertinya semalam kami baik-baik saja. Tak ada apa-apa, kecuali ulah Ayu yang
pura-pura jadi kuntilanak. Oh, ada. Aku baru ingat. Semalam Tetty sama Ajeng
mencium bau-bauan yang berlainan. Tetty mencium kamboja, sementara Ajeng
mencium bau bangkai.
Kuceritakan kejadian
semalam ke Ranti. Dia mengangguk-anggukkan kepala. Kisahku yang seperti ngobrol
sama Tetty di belakang vila kemaren juga kuceritakan. Ranti menautkan alisnya.
“Kamu percaya sama
hantu?” tanyaku ke Ranti. Dia tak langsung menjawab. Bakul di pangkuannya dia
pindahkan ke tepi.
“Entahlah. Aku tak
pernah bertemu dengan hantu. Tapi aku sering mendengar cerita dari orang-orang
dusun, bahwa setiap orang yang menginap di vila itu pasti dihantui.”
“Dan kamu percaya?”
Ranti menggeleng, “Aku
bingung, karena itu aku diam saja. Aku tidak pernah mau ikut campur urusan yang
aku sendiri tidak bisa memastikan kebenarannya. Aku merasa nyaman dengan
keadaan begini.”
Aku memuji pribadi teman
baruku ini. Sebuah pelajaran penting kudapat dari ucapannya barusan bahwa jika
kita gak ngerti sesuatu yang sedang dibicarakan, lebih baik diam saja dan itu
akan membuat kita merasa nyaman.
“YESSSSIIIIIIII…”
Kulihat di kejauhan, Re
melambai-lambaikan sesuatu di tangannya. Piring dan sendok. Oh, bekal yang
diambil sama Ajeng dan Tetty sudah datang rupanya.
“Mari ikut kesana, nanti
kukenalin ke teman-teman. Mau kan?”
Tanpa aku duga, Ranti
menggeleng, “Aku harus segera mencuci.” Katanya singkat. Aku tak bisa
memaksanya.
“Baiklah. Aku kesana
dulu ya. Lain kali kita ngobrol lagi.” Kami saling melempar senyum. Aku bangkit
dan perlahan pergi meninggalkannya. Langkahku terasa berat sebab kali ini aku
melawan arus air yang deras. Tapi aku menikmatinya.
Oh, aku bahkan belum
mengatakan bahwa aku ingin berkunjung ke rumahnya. Mungkin nanti sore jika kami
tak ada kerjaan. Ide yang bagus bukan?
Aku kaget begitu
membalikkan badan. Ranti sudah tak ada di tempatnya duduk tadi. Kuedarkan
pandanganku. Sejauh mataku memandang dan menyusuri sungai, tak kutemukan Ranti.
Untuk sampai ke semak-semak di seberang sana tentu tidaklah mudah. Ranti harus
melewati bagian yang agak dalam di tengah sungai itu. Lagi pula, semak-semak di
seberang sana tak ada tanda-tanda bekas dilalui oleh apapun. Semuanya tampak
tenang.
Perasaanku mulai gak
enak. Kejadian kemaren melintas dengan cepat. Aku takut jika aku mengalaminya
lagi.
“YESIIIIIIII, AYO KITA
MAKAAAAAAAN…”
Aku mengacungkan
jempolku. Kupercepat langkahku saat ini. Aku tak ingin memikirkan apa-apa lagi.
Aku hanya ingin cepat sampai di tempat teman-temanku berkumpul. Itu saja. Tapi…
tapi sepertinya ada sepasang mata yang mengawasiku di belakang. Bulu kudukku
merinding. Keringatku mulai menetes. Jantungku berdetak kencang dan cepat.
Kuberanikan menoleh ke
belakang. Dan, tak ada siapa-siapa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar