Aku membuka mata dengan perasaan malas yang
sangat. Sinar matahari menerobos masuk lewat jendela yang sudah dibuka. Aku
menggeliat. Sudah siang rupanya. Kulihat di sekeliling kamar, gak ada
siapa-siapa. Tetty dan Ajeng gak kelihatan.
“Tetty,
Ajeeeeeeng…”
Gak ada yang nyahut. Aku
bangkit setelah menggeliat lagi sebelumnya. Pagi ini gak tau kenapa kok rasanya
males banget mau ngapa-ngapain. Aku menyeret langkah dengan berat dan sedikit
sempoyongan. Begitu keluar dari kamar, tujuan pertamaku adalah kamar sebelah.
Kamarnya Ayu dan Leli. Kuketok tiga kali daun pintunya. Gak ada sahutan.
“Leliiiiii,
Ayuuuuuuuuuuu…”
Gak ada yang nyahut
juga. Kudorong daun pintu dihadapanku. Rupanya gak dikunci. Kutilik ke dalam
kamar, sepi. Gak ada siapa-siapa.
Mataku seketika menjadi
segar dan lenyap sudah kantuk yang bergelayut sedari tadi. Amarahku mulai
berkobar. Itu bocah lima kok tega-teganya minggat dari vila tanpa
membangunkanku? Bener-bener ngajak perang terbuka ini namanya.
Aku membuka pintu depan
dengan sedikit kasar. Menutupnya kembali juga gak kalah kasar. Sebodo amat kalo
daun pintunya lepas sih. Siapa suruh menelantarkan aku sendirian di vila?
Tapi, aku harus mencari
kemana? Aku baru beberapa hari di dusun ini. Tempat yang aku tau hanya tiga,
kalo gak di rumahnya pakdhe, ya di vila. Tempat terakhir, ya di sungai.
Ngggggggg… okelah, aku akan cari ke sungai aja dulu. Yang deketan dikit. Siapa
tau mereka mancing lagi kayak kemaren.
Aku mulai menyusuri
jalan setapak yang masih basah oleh embun. Meski matahari udah lumayan tinggi,
rerumputan ini masih juga ada yang basah. Beberapa bagian memang terhalang dari
sinar matahari. Pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan menuju ke sungai
lumayan melindungi dari panas. Kupikir aku gak perlu tergesa untuk sampai ke
sungai. Suasana pagi ini sesungguhnya sangat menyenangkan. Aku bisa menghirup
aroma tanah yang basah. Aku juga bisa mendengar desau angin yang menyambangi
pucuk-pucuk pohon randu. Beberapa ekor tupai berlomba mencari makanan, berkejaran
dan melompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Aku menikmati semuanya dengan
perasaan yang tentram. Aku menghayal, andai aja temen-temen ada disini
sekarang. Pasti asyik. Pasti…
WHAT??? Oh Tuhan, bahkan sekarang ini aku sedang dianiaya oleh temen-temenku
sendiri. Aku tetep mikirin mereka. Sementara mereka? Apakah sedang mikirin aku
juga? Bagus deh kalo iya. Nah, kalo nggak?
Gak bisa! Ini jelas
gak bisa dibiarkan. Aku harus segera
nyampe ke sungai. Kalo misal itu bocah lima gak ada di sungai, aku kan masih
punya energi untuk kembali ke rumah pakdhe. Itu aja sih. Intinya, aku gak boleh
buang-buang waktu.
Baru aja aku akan menuju
tepian sungai, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Demi Tuhan, aku kaget.
Bahkan aku sempat memekik. Jantungku berdetak cepat. Secepat kilat aku memutar
tubuh. Begitu aku membalikkan badan, Ranti nyengir tanpa ngerasa bersalah
sedikitpun.
“Kaget ya?”
Ya ampun ini bocah,
polos banget sih? Udah jelas-jelas aku mencelat dan jantungku nyaris turun ke
dengkul, masih juga ditanya kaget apa enggak? Pake nyengir lagi. Beuhhh…
“Maaf deh. Kupikir kamu
udah tau kalo aku ada di balik pohon itu,”
Kuikuti telunjuk Ranti
yang mengarah ke pohon beringin besar, tak jauh dari bibir sungai, “Dua kali
aja kamu ngagetin aku kayak barusan, kurasa aku bakal pulang ke Pontianak pake
mobil ambulans deh. Besoknya aku bakal masuk koran dengan judul berita: seorang
gadis yang cantik dan rupawan tewas karena dikagetin sahabatnya sendiri!” Ranti
cekakakan setelahnya. Aku tambah manyun.
“Duduk di batu itu yuk,”
Entah mengapa aku kok
nurut aja ketika Ranti menyeret lenganku. Aku seperti disihir. Entahlah.
Mungkin kata ‘disihir’ kurang pas. Nggggg, terlena. Iya, aku seperti terlena.
Aku lupa kalo aku punya misi yang lumayan penting: nyari temen-temenku!
Aku duduk bersebelahan
dengan Ranti. Kaki-kaki kami masuk ke air sebatas betis. Dingin sekali rasanya.
Beberapa kali arus air menghanyutkan guguran daun-daun. Juga rerantingan yang
rapuh. Sementara hari kian menuju siang. Untunglah batu tempat kami duduk ini
teduh. Beringin besar di belakang kami menjadi payung yang sejuk.
“Kamu pernah dengar
cerita soal anak gadis yang hilang di sekitar vila?”
Ranti membuka
percakapan. Aku menanggapinya dengan gelengan kepala. Entahlah, perasaanku saja
atau apa. Kurasakan suara Ranti tiba-tiba jadi berat dan terkesan dingin.
Suasana yang menyenangkan tadi seketika berubah menjadi serius. Kulirik, kepala
Ranti tertunduk. Kakinya tak seperti tadi, tak digerak-gerakkan lagi. Air yang
mengalir lantas lewat begitu saja di sela-sela betis kami.
“Memangnya ada cerita
seperti itu?”
Ranti mengangguk, “Ada.
Sekitar dua tahun yang lalu, seorang gadis dikabarkan hilang di sekitar vila.
Sampai sekarang keberadaannya masih misterius. Tak jelas. Jika masih hidup, tak
ketahuan rimbanya. Jika sudah mati, tak tau dimana kuburannya.”
Eh? Anu, aku kok ngerasa
merinding ya? Kata ‘kuburan’ itu kok rasanya gimanaaaaa gitu. Serem.
Menakutkan. Terlebih saat ngucapinnya, Ranti setengah berbisik. Aaaaaaaaah, itu
bocah paling pinter deh menciptakan suasana mistis kayak barusan. Lama-lama aku
gampar juga nih bocah. Benci bener aku kalo udah gini nih.
“Dan, konon, semenjak
hilangnya si gadis, pengunjung vila sering mendapat teror. Ada yang mendengar
suara rintih kesakitan. Ada yang diganggu penampakan seorang gadis dengan baju
yang compang-camping. Ada yang diberi mimpi. Ada juga yang pernah melihat
secara langsung.” Lanjut Ranti, masih dengan misteriusnya.
Mendengar cerita Ranti
barusan, aku jadi ingat beberapa kejadian yang aku alami sendiri dan beberapa
diantaranya dialami oleh temen-temen. Kalo diambil garis besarnya, semua
kejadian itu punya beberapa kemiripan, yaitu terjadinya gak jauh-jauh dari
vila. Apakah semua kejadian itu kerjaannya arwah si gadis yang mati penasaran?
“Kira-kira seperti itu!”
SLAPPPP!!!
Tatapan mataku segera
terarah ke Ranti yang masih juga mematung, “KAMU BISA MEMBACA PIKIRANKU???”
Ranti mengangguk. “Yesi,
semak-semak… semak-semak…”
Usai berkata seperti
itu, kulihat tubuh Ranti perlahan berubah. Tiap kali aku mengerjapkan mata,
perubahan itu kian nyata. Pakaiannya tak lagi rapi, melainkan compang-camping,
koyak disana-sini. Rambutnya acak-acakan. Kulihat ada air yang mengalir dari
pelupuk matanya. Tidak, tidak hanya air, tapi juga darah. Kian lama kian deras.
Di sudut bibirnya juga berdarah. Matanya bengkak. Kulitnya tiba-tiba menjadi
sangat pucat. Bibirnya bergetar, seperti hendak meneriakkan sesuatu. Mulanya
mendesis-desis, lalu kian nyaring, kian menjadi erangan yang sangat mengerikan.
Aku mulai dihinggapi
rasa takut. Tatapanku kualihkan ke air sungai. Betapa kagetnya aku ketika
kudapati air sungai juga berwarna merah. Merah yang mengental. Darah mengalir
deras dari kaki Ranti yang masih terendam di air. Ingin kutanyakan kenapa ini
bisa terjadi. Tapi, begitu mataku bertemu dengan mata Ranti, terjadi sesuatu
yang membuatku mual dan ngeri. Bola mata Ranti lepas dari kelopaknya.
Menggantung. Otot-otot matanya menyerabut berhamburan. Meneteskan darah. Bibir
Ranti menyeringai. Taring tersembul di sela-sela giginya. Erangan yang tadinya
pelan, kini sudah menjadi jeritan yang menyeramkan. Kedua tangannya sudahpun
terjulur mengarah ke leherku. Kian lama kian dekat. Kakiku gemetaran. Gak bisa
ngapa-ngapain. Oh, ini tidak boleh terjadi. aku gak mau mati di sini. Gak mau. Aku
ingin lari tapi rasanya sangat berat. Tak ada yang bisa aku lakukan selain
berteriak. Berteriak sekencang-kencangnya. TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKK!!!
PLAK!!!
Pipi kiriku sungguh
terasa pedas. Aku membuka mata. Tetty dan Ajeng duduk dan memelototiku. Aku
sendiri ngerasa napasku seperti orang kelar maraton seribu tujuh ratus dua
puluh delapan kilometer. Sengal. Sesak. Keringat ngalir dari pelipisku. Deras.
Terasa dingin setelahnya.
“Kamu barusan mimpi
buruk ya?”
Aku ngangguk dua kali. Kepalaku
pusing. Aku berusaha mengingat-ingat apa yang barusan terjadi, “Barusan yang
gampar aku kamu ya, Tet?” kuraba pipi kiriku. Rasanya masih panas.
Giliran Tetty yang
ngangguk dua kali, “Iya. Habisnya, tidur kok teriak-teriak. Kayak orang demo
aja!” kelar ngomong gitu, tuh bocah ancang-ancang mau tidur lagi.
“Gila! Niat banget kamu
gamparin aku. Sampe pedes gini. Kalo sampe merah awas aja besok.”
Tetty nyengir. Selimut
udah nutupin kakinya sebatas dengkul.
“Barusan mimpi apa sih?”
giliran Ajeng yang nanya. Sesekali dia sibuk ngucek matanya dan menguap.
Aku ingat kejadian yang
barusan aku alami. Tuhan, cuma mimpi rupanya. Syukurlah. “Sekarang jam berapa
sih?”
“Kira-kira jam dua
malam.” Tetty yang nyahut.
Aku termenung. Pantesan.
Gelap banget gini. Lampu minyak itu rasanya gak banyak membantu. “Cerita
mimpinya besok aja ya. Ngeri rasanya mau cerita sekarang. Tidur lagi yuk,”
ucapku seraya menarik selimut. Tetty dan Ajeng gak banyak komentar.
Baru aja aku hendak
merebahkan tubuh, tiba-tiba sesuatu terasa bergetar di bawah bantalku disusul
dengan potongan lagu Some One Like You-nya
Adelle yang mengalun dengan lembut. Seperti biasa, aku memang senang menaruh Hp
di bawah bantal. Jadi kalo ada yang sms atau telpon malem-malem kan ngambilnya
gampang. Kayak barusan aja nih contohnya.
“SMS dari siapa?” tanya
Tetty seraya nguap.
Aku gusar, “Tau nih.
Malem-malem jam segini juga, nekat banget sih? Kayak gak ada hari esok aja.
Besok kan bisa.”
Ajeng yang rebah di
sebelah kiriku mendadak membalikkan tubuh dan menghadap ke arahku, “Ada-ada
saja kamu ini. Di dusunku boro-boro sinyal,
lha wong listrik saja ndak ada.”
DEG!!!
Mataku kembali
terbelalak. Kantukku hilang. Apa yang dikatakan Ajeng barusan benar adanya.
Bahkan seingatku, sejak aku di dusun ini, aku sama sekali gak pernah nyalain
Hp. Benda kecil di genggamanku ini selalu dalam keadaan non-aktif. Tapi ini?
“Alarm kali,” Tetty coba
menanggapi.
“Gak mungkin. Ngapain
juga ku nyalain alarm jam segini? Di dusun ini lagi. Kalo di Pontianak masih
mending, jam segini nonton Liga Inggris.”
“Ya udah, buka aja.
Siapa tau kamu dapet SMS dari Justin Timberlake.”
Pengen kutabok mulut si
Tetty itu. Dalam keadaan tegang gini masih aja sempat becanda. Aku aja udah
merinding dari tadi. Tapi soal Justin Timberlake? Sepertinya itu lelucon yang
oke.
“Udah, cepetan. Aku
nunggu nih,”
Kutatap layar Hp dengan
perasaan ngeri. Memang bener, disana tertera ada satu pesan masuk. Takut-takut,
kubuka SMS di Hp-ku ini. Pesannya sangat singkat, cuma tiga kata,
Yesi, semak-semak…
Tanpa nama pengirim.
Tanpa nomor pengirim. Bahkan di layar Hp-ku tak ada logo dan gambar apa-apa.
Kosong. Yang ada hanya tiga kata itu saja!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar