Ruang tamu begitu sepi. Senyap. Temaram lampu
minyak gak banyak membantu. Membantu apapun itu. Penerangan. Menenangkan
perasaan. Membunuh rasa takut apalagi. Semua orang mendadak jadi sibuk. Sibuk
oleh kekalutan dan perang di hati masing-masing. Sibuk menyembunyikan rasa
ngeri. Sibuk meredam detak jantung yang kencang dan jantung itu sendiri seperti
akan berloncatan. Sibuk ingin bercerita namun gak tau mesti mulai dari mana.
“Kalo
kita besok pulang saja, gimana?” Leli mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja,
menciptakan ritmis yang justru terdengar mengerikan. Diedarkannya tatapan. Yang
terlihat adalah wajah-wajah yang penuh rasa ngeri dan takut.
“Terlalu mendadak.”
sahut Re pelan. “Kalaupun mau pulang, sebaiknya lusa saja. Setidaknya pakdhe
dan budhe tidak merasa ada yang janggal di vila ini. Ya intinya jangan mendadak
lah. Kesannya juga gak baik.”
Yesi mengangkat wajah,
“Tapi kenyataannya memang ada yang janggal, kan? Dan sialnya lagi, kenapa mesti
aku yang kerap dihantui oleh arwah itu? Kenapa mesti aku sih? Bagus banget
tempo hari aku dikasih ijin ikut liburan sama mama. Tau gini, mending aku nurut
aja sama keputusan awal mama. Tinggal di rumah dan kesepian kayaknya lebih
nyenengin ketimbang disini sama kalian tapi terus-terusan dihantui sama arwah
gak jelas maunya apa!”
“YESI!!! Jaga mulutmu!”
“Kamu sih enak, Re, kamu
gak pernah dihantui. Aku? Tetty? Ajeng? Lihat ini,” Yesi mengeluarkan Hp dari
saku celananya. Diotak-atiknya benda mungil yang canggih itu. Betapa dia ingin
nunjukin SMS yang terus menerus menerornya sejak malam kemarin. Dan betapa dia
ingin bilang kalo dihantui seperti ini rasanya sungguh gak enak.
Tapi betapa kagetnya
Yesi manakala SMS yang dia cari udah gak ada lagi di layar Hp-nya. Di inbox juga gak ada. “Kok hilang?” teriak
Yesi penuh kekalutan, bukan ke siapa-siapa, melainkan lebih ke dirinya sendiri.
Meski udah dipencet-pencet, tetep aja SMS sialan itu gak muncul di layar
Hp-nya.
“Apanya?” Ayu yang
memang gak tau-menau soal SMS yang meneror Yesi, terang aja jadi penasaran.
“Mbak Yesi dihantui sama
SMS aneh. Ndak ada nama dan nomor pengirim, tapi di layar Hp-nya Mbak Yesi
selalu muncul kata ‘semak-semak’. Setiap dihapus, muncul lagi. Begitu terus.”
Ajeng memberi penjelasan ke semua yang ada di ruang tamu.
Leli tampak kaget. Ayu
lebih lagi. Raut ketakutan mulai muncul di wajah keduanya. Sementara Mas Handoyo
adalah satu-satunya orang yang terlihat paling tenang. Pembawaannya yang kalem
kian tampak begitu ada masalah-masalah yang bikin kalut kayak barusan.
“Sebenarnya ada apa sih
ini? Kamu tau soal ini, Jeng?” mata Yesi menatap tepat ke manik mata Ajeng yang
sedikit meredup.
Tidak siap diserang
dengan pertanyaan blak-blakan seperti barusan, Ajeng gelagapan, “Saya, eh… anu,
maksud saya…”
Tetty mengambil alih,
“Udah deh, kamu ceritain semuanya. Ada apa sebenarnya ini? Jangan bikin kami
terus-terusan menduga-duga. Kami capek ketakutan terus sepanjang malam.” Tetty
menghela napas sejenak, “Kamu juga Re, gak usah main rahasia-rahasiaan lagi.
Ceritain aja semua sekarang.”
Mas Handoyo berdehem dua
kali, “Biar saya saja yang menjelaskan,” katanya perlahan. Gak ada yang
mendebat lagi. “Kira-kira dua tahun yang lalu, memang ada anak gadis yang
hilang di sekitar Vila ini. Namanya Sumi. Sumi ini…”
“Maaf, aku potong. Kalo
boleh tau, nama lengkap sumi ini siapa?” Yesi ngajuin pertanyaan yang
sebenarnya gak penting untuk yang lain, tapi sangat penting untuk dirinya
sendiri.
“Namanya Sumi Prawiranti.”
Mata Yesi menyipit.
Sepertinya dia ngerasa gak asing dengan nama belakang Sumi. Jantungnya
tiba-tiba berdetak kencang. “Wiranti? Ranti. Ranti… Apa pernah Sumi dipanggil
dengan nama Ranti?”
“Iya, kadang-kadang
dipanggil Ranti. Ranti itu nama kesayangan dari ibunya. Sumi ini anaknya Mbok
Warsini, yang tinggal di ujung dusun.”
“Yang ladangnya di
selatan sungai?” lagi-lagi Yesi memotong. Selain dia memang tau, ini hanya
untuk basa-basi aja. Jelasnya, untuk meredam detak jantungnya yang udah gak
bisa diajak kompromi dan keringatnya yang mulai ngalir di pelipis. Tiba-tiba
saja dia ingat mimpinya saat berdua dengan Ranti, duduk di atas sebuah batu di
sungai. Wajah Ranti yang menyeramkan seketika melintas.
Mas Handoyo mengangguk,
“Benar. Pernah ketemu?”
“Pernah ngobrol malah.”
Suara Yesi mulai gemetar.
Tetty melirik Yesi
dengan lirikan kesal, ”Bisa gak sih kamu diem dulu? Motooooong aja kalo ada
orang cerita!” cercanya, “Lanjut deh, Mas, gak usah dijawab lagi kalo si
Kriting itu nanya!”
“TETTY!!!”
“APA??? Mau marah???”
Yesi geleng-geleng, “Gak
papa kok. Lanjut deh ceritanya, Mas.”
Mas Handoyo hanya
menanggapi kejadian gak penting kayak barusan dengan senyum, “Saya lanjutkan
ceritanya.”
“Iya Mas, lanjutin aja.
Kalo ada yang nanya lagi gak usah dijawab.” Komentar Ayu dengan mata
berkedip-kedip.
“Waktu itu ceritanya
Sumi mau nyuci baju di sungai. Tapi tiba-tiba saja dia menghilang. Misterius.
Ndak ada yang tau. Asmawi yang mengaku melihat Sumi ketika hendak turun ke sungai,
mendadak juga ndak bisa ditanyai. Dia sering berubah akal. Sebentar-sebentar
nangis, sebentar-sebentar ngakak ndak jelas.
Sejak hilangnya Sumi,
vila ini dikabarkan berubah jadi angker. Setiap ada yang menyewa, selalu saja
menyudahi sebelum waktu sewanya selesai. Ada yang mengaku dihantui oleh arwah
perempuan. Ada yang bilang pernah didatangi lewat mimpi. Didengerin suara
perempuan menjerit. Yang jelas, semuanya jadi ndak betah berlama-lama di vila
ini.
Saya dan Ajeng nekat
membersihkan vila ini tentu dengan satu alasan yang jelas. Tadinya Pakdhe Warno
melarang kami membersihkan vila ini. Tapi toh kami tetap saja membersihkannya
diam-diam. Asmawi kami ajak. Anehnya, dia mau dan tidak kumat gendheng-nya. Tujuan kami adalah ingin
melihat apakah kalian akan pergi juga dari vila ini secepat yang sudah-sudah.
Dugaan kami, pasti kalian akan ndak betah. Kenyataannya memang iya. Yang buat
kami heran, kalian masih mau saja bermalam di vila ini. Padahal beberapa dari
kalian sudah mengalami hal-hal yang ndak enak.”
“Eh, sumpah kalo aku sih
malam ini adalah malam terakhir nginep disini. Besok malam kalo aku masih harus
ada di dusun ini, aku gak mau nginep di vila. Titik!!!”
“Aku juga!” Yesi
mendukung pernyataan Tetty dengan semangat juang yang tinggi. “Kamu Yu, Leli?
Masih mau nginep disini?” Yesi menatap Ayu dan Leli bergantian.
“Aku sih ikut suara
terbanyak aja.”
“Aku sependapat dengan
Leli deh, ikut suara terbanyak. Masa iya sih aku mau nginep di vila sementara
kalian pada nginep di rumah Ajeng? Ogah banget.”
Ajeng yang sejak tadi
diam, tiba-tiba angkat tangan, “Boleh nanya ndak?”
“Ya elah, tinggal nanya
aja pake angkat tangan segala. Mau nanya apa sih?” sergah Tetty ngasal.
Ajeng yang tadinya
kelihatan sedih, sekarang semakin terlihat sedih dan bimbang. Ada beban berat
di wajahnya yang muram, yang begitu kentara ingin segera ditanyakan.
“Mau nanya apa sih,
Jeng?”
Ajeng gugup lagi. Ada
rasa segan yang sesekali terlihat di wajahnya yang pias. Sesekali juga dia
menundukkan wajah. Suasana mendadak jadi semakin terasa hening. Senyap. Tak ada
satupun yang mencoba untuk bersuara. Semua seperti menunggu. “Ngggggg…
teruuuuussss, mbak-mbak ini jadinya kapan mau pulang ke Pontianak? Bakalan
kesini lagi ndak? Kok perasaan saya mbak-mbak ini ndak ada yang mau kesini lagi
gara-gara arwah gentayangan itu. Kalau bener begitu, saya akan sangat sedih.
Saya seneng sekali ketika Re bilang mau liburan ke dusun dan ngajak
temen-temennya. Dan bener saja. Saya seneng ketemu sama mbak-mbak. Tapi kok
rasanya cepat sekali. Belum puas kumpul-kumpul, mbak-mbak sudah akan pulang.
Padahal waktu liburan masih lama.”
Tetty yang tadinya
jutek, ketus, mendadak melunak begitu melihat ketulusan Ajeng saat ngomong
panjang lebar barusan. “Kamu jangan sedih gitu dong ah. Kalo ada waktu dan
kesempatan yang pas, kami akan berkunjung lagi kok. Kamu jangan khawatir. Kami
memang gak bisa janji, tapi kami akan senang jika kelak bisa ketemu kamu lagi. Iya
kan, temen-temen?” Tetty mengedarkan tatapan ke Leli, Yesi, dan Ayu, maksudnya
mau minta dukungan.
“Bener banget. Kita
pasti bakal balik lagi ke dusun ini. Sungguh, dusun ini sangat menyenangkan.”
Timpal Ayu sambil lirik-lirik ke Mas Handoyo.
Leli yang paling dulu
tanggap langsung mencibir ke Ayu, “Beuhhh, itu sih maunya kamu ajah. Paham kok
aku. Gak usah dijelasin lagi deh.”
“Berarti, lusa kalian
beneran pulang?” meski temaram, kentara banget kalo raut wajah Ajeng mulai
sayu, “Re, kamu kan yang bawa mereka kesini, kamu juga dong yang bisa nahan
mereka untuk gak pulang cepet-cepet. Bisa kan, Re?”
Re yang sejak tadi diam,
mulai menarik napas panjang dan berat, “Bisa. Mengingat di dusun kita ini ndak
ada angkutan umum yang rutin keluar masuk dusun. Bisa saja aku tahan mereka
untuk tinggal lebih lama disini. Tapi nanti begitu mereka nyampe Pontianak, gak
bakal ada lagi dari mereka yang mau nyapa aku.”
“Paling lama lusa deh kita
harus udah pulang. Gak usah ditunda-tunda lagi. Dan penting untuk kamu tau
Jeng, kami mau pulang cepat-cepat bukan berarti kami gak seneng tinggal di
dusun ini sedikit lebih lama. Kami, terutama aku, gak mau lagi dihantui sama
arwahnya Sumi. Ya kamu tau lah yang sudah-sudah.” Ucap Yesi, pelan tapi tegas.
Sepertinya ini bakal jadi keputusan bersama dan gak bisa ditawar-tawar lagi.
Ajeng hampir terisak, “Kalau
kalian sudah membuat keputusan seperti itu, ya sudahlah. Saya dan Mas Handoyo
toh ndak bisa ngelarang-larang lagi. Cuma saya harap suatu saat nanti kalian
mau main ke dusun saya ini lagi. Itu saja.”
Tetty yang posisi
duduknya paling dekat dengan Ajeng, langsung meraih pundaknya, “Gak usah sedih
gitu. Kami masih disini. Setidaknya sampai lusa. Kita akan sama-sama
menghabiskan waktu.”
Ajeng mulai terisak.
Diam-diam, Ayu mulai
meneteskan air mata.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar