Api unggun di halaman menyala benderang. Apinya
meliuk-liuk ditiup angin, menciptakan binar yang sesekali meredup. Di langit,
gemintang bertaburan mengelilingi bulan yang cerah. Malam begitu tenang. Malam
begitu menyenangkan. Malam seolah ingin memberi salam perpisahan yang sangat
manis dan tak terlupakan.
Mas
Handoyo yang memberi ide agar mereka singgah ke vila untuk kali penghabisan.
Setidaknya ada yang mereka kerjakan di vila malam ini meskipun gak harus
bermalam. Ajeng menawarkan acara bakar jagung saja, yang langsung disetujui
oleh Mas Handoyo dan tentu saja Ayu. Tadinya Tetty dan Yesi mati-matian
menolak. Mereka udah terlanjur ilfil sama yang namanya malam-malam di vila.
Tapi setelah Mas Handoyo memberi garansi rasa aman dan iming-iming beberapa
ekor ikan nila segar, Yesi dan Tetty sepertinya gak punya banyak pilihan selain
mengiyakan.
Yesi
dan Leli memilih duduk-duduk di dekat api unggun. Sementara Ayu, Tetty, dan
Ajeng berinisiatif mengupas jagung-jagung yang mereka petik tadi sore. Re
sendiri tampak sibuk mondar-mandir. Sebentar gabung sama Yesi dan Leli.
Sebentar kemudian nimbrung sama kelompok pengupas jagung di dapur. Mas Handoyo
belum kelihatan.
“Kok
Mas Handoyo belum muncul ya?” Ayu yang sibuk mengupas kulit jagung bergumam,
yang segera disambut dengan cemooh sinis dari Tetty dan Ajeng.
“Tau deh yang besok mau
pisahan. Bercucuran air mata tuh kayaknya.” Tetty menggoda.
Ayu cuma mesem sekilas.
Gak nyahut apa-apa. Tangannya mulai terampil mengupas kulit jagung.
Di luar, malam kian
gelap. Angin juga sesekali mengirim dingin yang sangat. Hembusannya
mempermainkan nyala api. Yesi dengan cekatan melemparkan beberapa potong kayu
bakar begitu nyala api kelihatan meredup.
“Yes, bukannya hari ini
kamu ulang tahun? Bener gak sih?”
Yesi yang lagi ngelihat
bulan dan sesekali melemparkan ranting ke kobaran api, seketika noleh ke Leli,
“Ini tanggal berapa sih? Kok aku lupa?”
“Tanggal dua puluh
sembilan. Kamu ulang tahun kan?”
Yesi memukul jidatnya
sendiri, “Buset, kok aku bisa lupa gini ya?” kemudian dia tersenyum sendiri.
“Gila! Aku ulang tahun di dusun ini. Pengalaman banget nih. Gak bakal aku
lupain deh pokoknya.”
“Harus dirayain nih
kayaknya. Ngggggg, pake apa ya? Tepung gak ada. Telur gak ada juga. Masa iya
sih ngerayainnya pake ditabokin?”
“Leli, jangan aneh-aneh
ya. Awas aja. Udah malem nih. Aku ogah kalo harus mandi lagi. Dingin.”
“Ada apa sih?” Ayu muncul
dengan tiba-tiba. Tangannya menenteng sebakul jagung muda yang sudah dikupas
kulitnya.
“Yesi ulang tahun,” Leli
nyahut dengan antusias. Senyum licik mekar di sudut bibirnya, “Bikin acara
dong. Apa kek gitu. Temen kita ulang tahun nih. Masa didiemin kayak gini?”
“DIRAYAIN PAKE INI
AJAAAAAAAAAA…”
Kelar teriak gitu, Tetty
menyiramkan seember air yang udah dicampuri dengan kulit jagung ke badan Yesi.
Leli langsung mencelat lantaran ogah ikut-ikutan basah kuyup. Yesi sendiri
pastinya gak bisa ngelak. Air yang dinginnya minta ampun itu sukses bikin dia
menggigil malam ini.
Semua cekakakan. Semua
ketawa. Semua tepuk tangan. Malam yang belum terlalu jauh seketika riuh
membahana. Gegap gempita.
“Kalian… aaaaaah, dingin
tauuuuuuu!!!” Yesi mengibas-ngibaskan sisa air yang masih ngalir di badannya.
Malam yang memang udah dingin kian dingin saja rasanya.
“Sukurin, siapa suruh
ulang tahun di tempat terpencil seperti ini?”
“Gak bisa! Gak bisaaaaa!
Pokoknya gitu nyampe Pontianak, aku minta kadoooooooooooo! Awas aja kalo gak
ada kado. Awasss!!!”
Semua, kecuali Yesi
tentunya, ketawa-ketawa lagi.
Satu persatu, dimulai
dari Leli, memeluk Yesi dengan penuh khidmat, “Selamat ulang tahun ya, Kriting.
Semoga kamu tambah dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan,” ucap Leli
seraya nempelin pipinya ke pipi Yesi.
Tetty menyusul, “Selamat
ulang tahun yaaaaa,” keduanya berpelukan, “Sehat selalu dan semoga cepet dapat
jodoh, hihihihihihihihihi…”
“Aku juga mau
mengucapkan selamat ulang tahun,” Ajeng maju memeluk Yesi, “Mudah-mudahan Mbak
Yesi bahagia, panjang usia, dan mudah-mudahan sudi main lagi ke dusun saya yang
sepi ini.” Ajeng mundur setelahnya, memberi jalan kepada Ayu yang udah
bersiap-siap.
Re cepet-cepet
mendahului Ayu yang pengen ngucapin selamat. Re udah merentangkan tangan sambil
monyongin bibir.
Yesi yang tanggap akan datangnya
marabahaya, segera aja berinisiatif ngambil batang kayu bakar yang cukup besar,
“Reee, awas ya. Jangan macem-macem! Berani maju selangkah lagi aku gampar pake
ini nih,” Yesi ngacungin kayu bakar yang tergenggam erat di tangan.
Re nyengir, “Ya elah,
cuma pengen ngucapin met ultah doang, udah mau kena gampar aja,”
“Gak perlu pake
monyong-monyongin bibir kali…”
Re ngakak seraya
ngulurin tangan kanan ke Yesi, “Met ulang tahun ya sahabatku. Semoga apa yang
belom sempet kamu dapet di usia yang kemaren, akan dapet di usia yang sekarang
ini,” Re menjabat tangan Yesi dengan
jabat yang erat.
Ayu memutuskan tangan
yang saling berjabat erat itu dengan paksa lalu menghambur ke pelukan Yesi,
“Hepi besdei ya Sist, mudah-mudahan kamu sehat, panjang umur, dimudahkan dalam
mencari rezeki, dan semoga persahabatan kita ini akan kekal abadi, kalo
diibaratkan seperti ngompol di celana. Orang laen cuma bisa ngelihat basahnya,
tapi cuma kita sendiri yang bisa ngerasain kehangatannya.”
Re, Leli, dan Tetty
seketika tepuk tangan begitu Ayu menyelesaikan kalimatnya yang sangat bagus
itu. Leli sampe terharu. Matanya berkaca-kaca. Tetty mengerjap-ngerjapkan mata.
Re sendiri malah meringis, cengar-cengir minta digampar.
“Loh, ada apa ini? Kok
pakai peluk-pelukan segala? Acara perpisahannya sudah dimulai ya? Wah, curang
ini. Kok ndak nunggu saya sih?” Tiba-tiba saja Mas Handoyo muncul. Tangannya
menenteng beberapa ekor ikan nila yang masih menggelepar sesekali. Sementara di
belakangnya mengekor seorang perempuan tua yang membawa bakul dalam keadaan
tertutup. Perempuan itu tersenyum ramah kepada semua yang ada di halaman, di
dekat api unggun.
“Mbok Warsini?” Yesi
memekik begitu tau siapa yang datang bersama Mas Handoyo barusan.
Perempuan tua itu
mengangguk takzim, “Wah, Anak ini masih ingat sama saya rupanya. Mbok senang
sekali. Mbok merasa sangat dihargai,” perempuan tua yang ternyata adalah Mbok
Warsini itu sekali lagi mengangguk.
“O iya, perkenalkan, ini
Mbok Warsini, yang saya ceritakan kemarin malam,” Mas Handoyo memperkenalkan
Mbok Warsini kepada semua, “Mbok War rupanya tau kalau teman-teman semua berencana
akan pulang ke Pontianak besok pagi. Maka dari itu, Mbok War tadi bertandang ke
rumah Pakdhe Warno, mengira teman-teman semua ada disana. Kebetulan sekali saya
singgah dulu ke rumah pakdhe untuk meminjam pisau. Makanya, sekalian saja Mbok
War saya ajak kemari.”
Mbok War tersenyum
ramah, senyum khas perempuan dusun yang penuh santun dan kasih sayang, “Saya
cuma mau kasih ini,” Mbok War membuka tutup bakul yang dia bawa, “Cuma singkong
rebus dicampur gula aren. Maaf, saya ndak bisa kasih apa-apa. Mudah-mudahan
Anak semua suka dan doyan,” ucap Mbok War pelan. Bibir itu masih juga
menyunggingkan senyum.
“Waaaaaaaaah, pas bener
ini. Singkong rebus campur gula aren. Dingin-dingin gini makan singkong hangat.
Cocok.” Re segera menyambar bakul yang sejenak lalu masih ada di tangan Mbok
War.
“Kamu apa-apaan sih,
Re?” Leli menepis tangan Re yang udah nyentuh dikit pinggiran bakul, “Yang
sopan dikit napa?”
Re mundur dua langkah,
Habisnya, kalian malah pada bengong. Kan kasian Mbok War kelamaan nenteng
bakul. Berat tuh,”
“Halah, alesan aja kamu.
Bilang aja kamu udah ngiler duluan,” sergah Leli lagi.
Tiba-tiba Ayu bertepuk
tangan sekali, seperti ingat akan sesuatu, “Naaaaah, gimana kalo ulang tahun
Yesi dirayain pake singkong ini aja? Sebagai ganti cake ulang tahun lah. Seru kan?”
“APAAAA??? NAK YESI
ULANG TAHUN???” jika gak segera disambar oleh Re, mungkin bakul di tangan Mbok
War udah jatoh dan isinya bakal berserakan. Mbok War sendiri kelihatan sangat
kaget. Shock tepatnya. Matanya
membelalak. Tangannya gemetaran, meskipun tidak terlihat begitu kentara.
Suasana seketika menjadi senyap.
“Mbok kenapa?” Leli
mengguncang pundak Mbok War perlahan.
Ayu menimpali sambil
sesekali mengurut dada, “Iya, kami sampai kaget. Apa ada yang salah?”
Mbok War seperti
mendapatkan kesadarannya kembali. Napasnya sedikit tersengal. Tapi itu sebentar
saja. Matanya kembali teduh. Tangannya tak lagi gemetar. “Oh, ndak, ndak ada
apa-apa kok. Mbok cuma kaget saja. Kaget anu, nggg… ah, sudahlah, ndak usah
dibicarakan lagi. Monggo, singkongnya
dinikmati.”
Semua menarik napas
lega.
“Eh, Mbok lupa. Selamat
ulang tahun untuk Nak Yesi. Semoga panjang umur dan sehat selalu ya, Nduk. Jika
ada waktu, sering-seringlah berkunjung ke dusun ini, berkunjung ke rumah Mbok
juga boleh.” Mbok War maju menghampiri Yesi yang mulai menggigil. Tiba-tiba
saja Mbok War meraih bahu Yesi, membawanya ke dalam pelukan. Dan sesuatu yang tak
diduga tiba-tiba terjadi. Mbok War sesenggukan. Mbok War menangis.
Yesi yang tak siap
diperlakukan seperti ini tentu saja gak bisa berbuat banyak selain membiarkan
tubuhnya di dekap oleh perempuan tua ini. Tapi sekali lagi, suatu keanehan
terjadi. kali ini hanya Yesi yang mengalaminya. Tubuhnya yang kedinginan
lantaran tadi disiram sama Tetty, mendadak jadi hangat begitu kulitnya bersentuhan
dengan kulit Mbok War. Gak cukup cuma itu. Tiba-tiba saja Yesi ngerasain
ketenangan yang luar biasa menyenangkan. Ada rasa damai yang menyelimutinya.
Rasa damai yang sepertinya tak mungkin dia dapatkan dalam situasi dan kondisi
seperti apapun. Hanya saat ini. Hanya saat dipeluk seperti ini. Anehnya lagi,
dipeluk oleh perempuan yang baru saja dia kenal tak lebih dari seminggu yang
lalu. Yesi memejamkan mata, seolah larut oleh isak tangis Mbok War yang belum
reda. Kian lama rasa hangat itu kian terasa, kian enggan rasanya untuk
melepaskan pelukan ini. Yesi ngerasa sangat bahagia saat ini.
“Oh, maaf Nak Yesi. Mbok
terlalu terbawa perasaan. Sekali lagi maaf,” Mbok War melepaskan pelukan
seiring dengan Yesi yang membuka mata.
“Tidak apa-apa, Mbok.
Yesi seneng kok dipeluk sama Mbok War, didoain sama Mbok War. Terima kasih ya,
Mbok.”
Mbok War menganggukkan
kepala dua kali. Meskipun masih ada sisa-sisa air mata, senyum kembali mekar di
bibirnya.
“Mbok, saya permisi
dulu, mau ganti baju. Dingin rasanya. Tadi saya disiram sama Tetty.” Yesi pamit
ke Mbok War. “Eh monyong, anterin aku ganti baju. Enak aja. Tanggung jawab
dong!” kali ini tatapan mata Yesi udah pindah ke Tetty yang seketika langsung
cengar-cengir.
Yesi berjalan beriringan
dengan Tetty menuju vila. Untung aja beberapa pakaian mereka belum dikemaskan
dan masih ada beberapa helai di kamar.
“Kok tadi Mbok War
mendramatisir banget deh. Heran aku. Gitu aja sampe nangis,” Tetty membuka
percakapan begitu mereka menjauh dari temen-temen yang laen. Tetty memang
ngerasa ada yang janggal, terutama saat Mbok War teriak kaget begitu tau kalo
hari ini Yesi ulang tahun.
“Sudahlah, namanya juga
orang tua,” sahut Yesi, “Tapi tau gak, tadi aku tuh ngerasa gimanaaaaa gitu,
kok rasanya enak banget saat dipeluk Mbok War. Menenangkan. Padahal sumpah,
mama aku aja gak pernah meluk aku sampe sehangat itu,” mereka udah sampe di
depan pintu kamar.
“Aku nunggu disini aja,”
Yesi segera masuk ke
dalam, menyiapkan setelan kaus warna putih kesayangannya dan celana denim tiga
perempat. Rasanya pas aja di acara bakar ikan malem-malem gini pake celana
pendek tiga perempat, pikirnya.
Yesi segera bergegas
keluar. Di dalam kamar cahayanya tidak begitu menyenangkan. Sebenarnya di luar
juga gitu. Tapi paling tidak kan ada Tetty. Ada yang diajak ngomong. Gak
sendirian kayak gini.
Tapi Yesi kaget begitu
keluar, Tetty udah gak ada di depan pintu kamar. Yesi mulai gusar.
“Tettyyyyyyy, udah
deeeeeeh! Gak lucu, tau gak??? ini bukan waktu yang pas buat becanda!!!”
Sepi. Gak ada sahutan.
Yesi mulai bimbang dan sedikit geram sama Tetty. Dalam hati dia bersumpah, kalo
dia udah kelar ganti baju dan ketemu sama Tetty, bakal dia tabok. Lihat aja
nanti, pikirnya.
“TETTYYYYY!!!” Yesi
mulai teriak. Tapi hasilnya juga sama, gak ada yang nyahut. Yesi bener-bener
jengkel. Gak mau buang-buang waktu, dia mutusin untuk ganti baju sendiri. Gak
perlu mandi atau apalah namanya. Cukup ganti baju aja.
Tapi, kulit jagung
sialan itu memang bikin gatel. Gak ada cara lain. Kalo mau gak gatel, memang
harus mandi. Harus. Yesi gak punya pilihan. Dia merayap menuju kamar mandi. Di
dapur ada lampu minyak. Diraihnya lampu minyak itu, dia besarkan sumbunya sampe
pol. Ruangan lumayan terang. Yesi segera bergegas menuju pintu kamar mandi.
Lebih cepet kan emang lebih baik,
batinnya. Gak enak banget sendirian di dapur yang nuansanya udah kayak diawasi
oleh sepuluh ribu roh-roh jahat dan menyeramkan. Membayangkan itu semua, Yesi
bergidik sendiri.
Baru saja Yesi memegang
gagang pintu kamar mandi, tiba-tiba sesuatu berdering dengan kerasnya. Yesi
hapal benar dengan suara itu. Itu suara Hp-nya. Itu tanda SMS masuk. Some One Like You-nya Adelle
meraung-raung dengan lantang ditengah kesunyian seperti saat ini. Padahal
sumpah, Hp itu sendiri bahkan dalam keadaan non-aktif saat ini. Yesi ingat benar.
Yesi urung membuka pintu
kamar mandi. Logikanya mulai bekerja. Gak ada yang dia pikirkan selain dua hal.
Yang pertama, arwah sialan yang sering mengerjainya belakangan ini. Siapa lagi?
Bukankah di dusun ini gak ada sinyal? Boro-boro deh sinyal, bahkan listrik pun
gak ada. Yang kedua, paling-paling ini kerjaannya Tetty. Pasti dia sengaja
ngumpet tadi. Dan sekarang dia mau nakut-nakutin. Ah, trik yang udah basi,
batin Yesi kesal. Tapi toh sedikit banyak dia ngerasa takut juga.
Meskipun ngeri dan takut
luar biasa, tapi Yesi berusaha untuk kuat dan gak teriak. Yesi udah berniat
untuk gak peduli sama dering Hp itu. Ketimbang ngurusin arwah yang iseng, kan
lebih baik mandi, batinnya. Gatel di badannya udah bener-bener minta digosok.
Pake sabut kelapa kalo perlu.
Pintu kamar mandi udah
kebuka. Yesi udah masuk. Namun pas pintu mau ditutup, sesuatu yang paling gak
dia pengen terjadi juga. Telinganya menangkap suara yang sungguh gak nyenengin.
Suara rintihan perempuan yang seperti menahan sakit. Suara perempuan yang
seperti menderita. Menyayat dan begitu mengiris perasaan. Bulu kuduk Yesi
merinding. Leher bagian belakangnya seketika menjadi dingin dan terasa begitu
tebal. Yesi ingin teriak tapi suaranya seolah gak mau keluar. Lututnya mulai
gemetar, makin lama makin kuat.
Yesiiiiiiiiiiiiihhhhhh, sakkkkkiiiittttt… sakit sekaliiiii…
Toloooongggg… tolong aku Yesiiiiiiiihhhhh… Semak-semak Yesiiiiiiiiihhhhhhh…
semak-semaaaaaaaakkkhhhhhhhh…..
Begitu terus menerus.
Makin lama rintihan itu makin nyaring, makin memilukan, tidak tidak, makin
menyeramkan tepatnya. Seperti rintihan dari alam kubur. Seperti bisikan dari
alam kematian yang penuh dengan roh-roh yang berterbangan.
Yesi mulai menggigil.
Matanya terpejam rapat. Dia ingin pingsan saja kalau bisa. Mungkin itu lebih baik.
Tapi suara-suara itu tetap saja masuk ke gendang telinganya. Membuatnya kaku.
Membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.
Yesi kaget luar biasa
begitu dia membuka mata. Tiba-tiba saja nyala api pelita di tangannya
terombang-ambing. Seperti ada yang meniup. Sebentar-sebentar nyala pelita itu
meredup. Sebentar-sebentar terang seperti semula. Mata Yesi sendiri lekat-lekat
memandang nyala api di depannya. Mulutnya menganga. Bahkan kini, lehernya
sendiri yang menjadi sejuk, seperti ditiup dengan perlahan.
Yesi memutar kepala.
Begitu matanya menatap ke arah bak mandi, seorang perempuan dengan pakaian yang
berantakan berdiri mematung. Mata perempuan itu tajam memandangnya. Sempat juga
Yesi melihat ada darah yang terus menerus mengalir di beberapa tempat. Di
bibir, di sudut mata, di lengan, dan di…
Yessiiiiiiiihhhhh… Tolong akkkuuuuuu…
TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKK!!!
Blap!!!
Nyala pelita padam
disusul dengan robohnya tubuh Yesi ke lantai.
***
Re yang sedang
berbincang dengan Mbok War di halaman memang sudah merasakan ada sesuatu yang
janggal sejak kepergian Yesi dengan Tetty tadi. Sudah hampir setengah jam, tapi
dua temannya itu belum juga menampakkan batang hidung. Kejanggalan itu bermula
dengan nyala api unggun yang lekas benar meredup. Padahal sudah beberapa kali
Re melemparkan batang-batang kayu bakar dan ranting-ranting kering. Selain itu,
Re tak merasakan adanya angin yang berhembus, tapi nyala api unggun terus saja
meliuk-liuk, seperti tersapu angin yang cukup kencang.
Re memperhatikan sekeliling.
Bulan lenyap di balik awan. Bintang memudar satu-persatu. Re mulai merasakan
suasana yang tidak nyaman. Telapak tangannya basah, padahal dia tak sedikitpun
menyentuh air. Lagi pula dia tidak dalam keadaan berkeringat. Selain basah,
pergelangan tangannya terasa bergegar.
Tiba-tiba Re menangkap
suara teriakan dari dalam vila. Re bangkit dan menajamkan pendengaran. Sepi.
Yang terdengar hanya suara-suara binatang malam yang saling bersahutan, juga
suara teman-temannya yang masih ngobrol di sini.
“Ada apa, Re?” Ajeng
memandang Re dengan tatapan bingung.
“Barusan Mbak denger
suara teriakan gak sih?” Re menjawab tanpa mengalihkan tatapan dari pintu vila,
“Rasanya itu tadi suara Yesi deh,”
“Iya, mandi kok lama
banget ya? Jangan-jangan…” Leli memenggal kalimatnya sendiri. Yang lain tak ada
yang bersuara setelahnya.
Tak ada yang bergerak.
Semua sibuk dengan seribu ‘jangan-jangan’ di benak masing-masing. Jangan-jangan
Yesi kehabisan baju. Jangan-jangan Yesi gak jadi mandi. Jangan-jangan air di
bak mandi habis. Jangan-jangan…
Re beranjak dari
tempatnya. Setengah berlari dia menuju vila.
“Mau kemana, Re?” Mas Handoyo
berteriak. Re sudah menjauh.
“Nyusul Yesi sama Tetty,
Mas. Perasaanku gak enak!” Re berlari lagi.
Di belakang, seperti
mendapat komando, semua bangkit dan bergegas membuntuti Re. Mbok War yang udah
gak bisa lari terpaksa jalan pelan-pelan sambil dituntun oleh Leli dan Ajeng.
Re menerobos pintu vila
yang sedikit terbuka. Begitu dia masuk, yang pertama dia temukan adalah Tetty
yang terbaring di sofa. Matanya terpejam. Posisi tidurnya membelakangi pintu
vila.
“Kak… Woi, bangun. Bangun…”
Re mengguncang-guncang pundak Tetty.
Tetty menggeliat seiring
Mas Handoyo dan Ayu yang masuk ke vila nyaris bersamaan. “Ada apa ini? Kok
kalian ngerubungin aku kayak gini sih?”
“Yesi mana?” Re
mengacuhkan pertanyaan Tetty barusan.
Tetty mengedarkan
tatapan, “Lah, tadi dia bilang, dia gak jadi mandi. Aku diajaknya duduk di sofa
ini. Dia ngantuk katanya. Dia pengen tidur aja di sini. Ya udah, aku pun ikut
tidur juga. Sekarang gak tau dia dimana.”
Re mengalihkan tatapan
ke Mas Handoyo, “Gimana ini, Mas? Sepertinya…”
Mas Handoyo mengangguk
sekali, “Saya tau apa yang kamu pikirkan. Kita berdoa saja, semoga pikiran itu
salah. Sekarang, mari kita cari Yesi sama-sama,”
Semua bergerak. Tetty
yang masih sedikit bingung terpaksa mengekor. Dia gak atau apa sebenarnya yang
udah terjadi. semua sibuk mencari Yesi. Padahal kan, plis deh, Yesi kan mungkin
lagi mandi. Ngapain juga kalut ngurusin orang yang lagi mandi?
“YESIIIIIIII… KAMU
DIMANAAAAAAA???” Re berteriak memecah sunyi. Suaranya menggelegar ke penjuru
ruangan. Semua kamar sudah diperiksa satu-persatu. Ruang tamu. Dapur. Hasilnya
nihil. Yesi tetep gak ditemukan.
“Tinggal kamar mandi
yang belom kita periksa,” ujar Leli yang mulai panik.
Tanpa banyak bicara, Re
bergegas menuju kamar mandi. Pintu pertama udah dibuka. Kosong. Tinggal kamar
mandi yang satunya lagi. Re menarik napas panjang. Gagang pintu sudah dia
pegang. Saat akan dibuka, daun pintu gak bergerak sedikitpun.
Re memandangi
teman-temannya satu-persatu, “Kayaknya dikunci dari dalam deh,” ujarnya
kemudian, seperti orang yang mulai putus asa.
Ayu memberi usul,
“Dobrak aja. Pasti Yesi ada di dalam,”
“Iya, dobrak aja.”
Re mundur tiga langkah.
Posisinya udah seperti orang yang ngambil ancang-ancang untuk mendobrak.
Sementara yang lain memberi jarak agar Re bisa dengan leluasa mendobrak pintu.
Begitu Re udah mulai
bergerak, tiba-tiba dia memalingkan muka ke Mas Handoyo, “Mas aja deh yang
dobrak. Lututku lemes, Mas. Gak kuat deh kayaknya,”
“Ya elah, kirain…” dalam
gelap, Tetty masih aja sempet mencibir.
Mas Handoyo pindah ke
posisi Re tadi. Dia mulai ancang-ancang. Selang sepersekian detik, tubuhnya
melesat. Kakinya menghantam daun pintu dengan keras. Dengan sekali hentak, daun
pintu di hadapannya sudah menganga lebar.
Di dalam kamar mandi,
Yesi tergeletak tak sadarkan diri. Pelita yang sudah padam juga tergeletak di
lantai, agak jauh dari kepala Yesi. Minyaknya tumpah dan membanjiri lantai
kamar mandi.
Semua yang ada di luar
kamar mandi segera berebutan untuk masuk. Re dan Tetty yang lebih dulu. Re
segera mengangkat kepala Yesi, menepuk pipinya beberapa kali. Sementara Tetty
mengusap wajah Yesi dengan kaus putih yang sedianya akan dipakai oleh Yesi
ketika dia kelar mandi nanti.
“Yes, kamu kenapa? Sadar
dong,” suara Tetty tercekat di leher. Kondisi sahabatnya sungguh
memprihatinkan. Acak-acakan. Tetty sungguh ngerasa bersalah. Kalo tadi dia gak
nyiram Yesi dengan air yang dicampur dengan kulit jagung, mungkin gak bakal
kayak gini kejadiannya.
“Apa ndak sebaiknya kita
bawa keluar dulu? Dibaringkan di sofa gitu,” Ajeng memberi saran yang sangat
bagus. Dia sendiri segera membantu membopong Yesi keluar dari kamar mandi.
Tapi, belum sempat tubuh
Yesi diangkat, tiba-tiba badannya menggelepar seperti sedang disulut dengan
bara api. Mata Yesi seketika terbuka lebar, melotot, menampakkan biji mata yang
seperti akan meloncat keluar dari kelopaknya. Yesi mengerang beberapa kali.
Tangan dan kakinya tiba-tiba menjadi kaku. Tetty dan Re yang posisinya paling
dekat langsung mencelat, ngerasa gak kuat untuk menahan tubuh yang
terus-menerus meronta itu.
“AAAAARRRRRRGGGGHHHHHH… AKU BUNNNNNNNNNNNNNNUUUHHH
KKKKAAUUU!!!”
Yesi mengeluarkan suara
yang melengking. Tapi sungguh, suara itu bukan suara Yesi. Sama sekali bukan.
Suara melengking itu terdengar sedikit serak dan penuh dendam. Penuh amarah.
Tubuh Yesi membalik
dengan cepat dan tangkas. Kini posisinya seperti kucing yang sedang berjalan.
Tangan kanan Yesi terjulur ke arah Mas Handoyo. Sementara dari mulutnya terus
menerus mengeluarkan desis, seperti ada puluhan ular berbisa di dalamnya.
“KUBUNNNNNUHHH… AKU BUNNNUHHHHH KAUUUUU!!!”
“Ranti, Ranti… ini Emak,
Nduk. Ini Emak.” Mbok War cepat
menangkap tubuh Yesi yang hampir jatuh terbaring. Entah dapat kekuatan dari
mana perempuan tua itu. Leli yang sejenak tadi masih memegang lengannya, kini
tinggal berdiri mematung sendirian.
Yesi yang kini ada di
pelukan Mbok War, masih juga mendesis. Tangannya terus terjulur ke arah Mas Handoyo.
Beberapa kali dia menyeringai.
“Kamu pulang saja ke
alammu ya, Nduk. Wes to lah, ndak usah balas dendam lagi. Emak sudah ikhlas kamu
pergi.” Mbok War tersedu. Matanya basah oleh air bening yang segera menetes ke
kening dan pipi Yesi. Seketika tubuh Yesi tak lagi meronta. Lamat-lamat,
terdengar Yesi sesenggukan.
“Kamu pulang ya, Nduk. Pulang ya,”
Isak tangis Yesi
terhenti. Keluar suara desis dari mulutnya lagi. Desis yang penuh kemarahan dan
dendam, “Diaahhhhh hhhhhaaarrrussssshhhh mmmmaaattttiii, Maaaaaak…
Haarrrussssss!!!”
“Dia itu siapa to, Nduk?
Siapa yang sudah membuatmu jadi seperti ini?”
“Diiiaaaaaa…” tangan
Yesi terulur, mengarah persis ke Mas Handoyo.
Mas Handoyo yang tampak
tegang, kini berubah jadi gusar dan gugup, “Apa??? Tidak, kamu salah, Sumi. Aku
tidak tau apa-apa. Kamu salah. Bukan aku yang membunuhmu!”
“Sssssssssssshhhhhhhh…
Kamu tidak mencegahhhhhh, kamu tidak mencegaaaaaahhhhhhhhh!!!”
Mbok War memandang Mas Handoyo
dengan tatapan miris, yang dengan cara itu seolah dia minta penjelasan saat ini juga.
Mas Handoyo semakin
gelagapan. Kini bukan hanya Mbok War yang memandangnya dengan tatapan penuh
selidik, tapi semua yang ada di dekat kamar mandi ini. Re, Ajeng, Tetty, Leli,
dan Ayu.
“Waktu itu,” Mas Handoyo
menyerah, dia tidak punya pilihan apa-apa lagi selain memang harus bercerita,
“waktu itu saya sedang memandikan kerbau di sungai. Belum, belum memandikan.
Baru akan memandikan tepatnya. Ketika saya akan menuntun kerbau saya masuk
sungai, tiba-tiba Sumi datang membawa bakul. Saya tau kalau sumi akan mencuci.
Makanya saya memutuskan untuk memandikan kerbau saya di sebelah bawah sungai
saja, supaya air yang akan dipakai Sumi mencuci pakaian tidak terkena kotoran
kerbau. Sumi tidak melihat saya waktu itu karena jarak kami memang agak jauh..
Saya, entah mengapa, bisa lupa tidak membawa sabut untuk menggosok badan
kerbau.
Saya memutuskan untuk
mencari sesuatu yang bisa saya pakai memandikan kerbau. Kerbau sudah saya ikat
di sebuah pohon, tak jauh dari tepi sungai. Saya lihat dari kejauhan, Sumi
sudah mulai mencuci.
Waktu saya sibuk
mengumpulkan potongan karung bekas untuk gosok, tiba-tiba saya mendengar sebuah
teriakan. Saya tau kalau itu adalah teriakan Sumi. Saya bergegas menuju ke
tempat Sumi mencuci. Ternyata di sana sudah ada seseorang yang sedang berusaha
menggagahi Sumi. Orang itu membawa sebilah sabit yang ditempelkan ke leher
Sumi. Saya takut sekali waktu itu. Takut seandainya saya mendekat, orang itu
benar-benar membunuh Sumi dan bahkan mungkin akan membunuh saya juga.
Akhirnya saya memutuskan
untuk mengintai terlebih dahulu. Ternyata keputusan saya salah. Sumi
benar-benar dibunuh dengan cara dibekap hidungnya. Tubuh sumi mengejang.
Sebelum dia menghembuskan napas terakhir, tatapan mata kami sempat beradu. Sumi
sempat melihat saya sedang bersembunyi di balik batu besar. Tubuh Sumi sudah
babak belur. Waktu itu saya tidak tau harus berbuat apa. Sampai akhirnya mayat
Sumi dipanggul oleh orang tadi, dibawa ke suatu tempat. Saya tak berani
mengikuti sebab tak ada lagi pepohonan untuk mengendap-endap. Di sisi lain,
saya memang tak bisa lagi bergerak. Terlalu ngeri rasanya menyaksikan seseorang
yang saya kenal dibunuh di depan mata saya sendiri.”
“Ssssssssssshhhhhh…
kaaaaammmuuuuu tidakkk mencegahhhhh…”
“Maafkan saya, Sumi.
Saya terlalu takut waktu itu.”
“Kamuuuuu harrrruuusssshhhhhhh
matttttiiiiiiiihhhhhhhhhh…” selesai berkata begitu, tubuh Yesi melesat, lepas
dari pelukan Mbok War, menghambur ke arah Mas Handoyo yang sama sekali tidak
siap menerima serangan.
Sejenak kemudian, Mas Handoyo
sudahpun bertarung dengan Yesi yang terus saja mendesis dan berteriak sesekali.
Tangan Yesi berhasil mencekik leher Mas Handoyo. Keduanya roboh ke lantai. Yang
satu ingin menghabisi yang lain, sementara satunya ingin mempertahankan diri.
Re yang mulai ngeh dengan apa yang terjadi, seketika
melompat ke arena pertarungan, mencoba menarik tubuh Yesi dengan sisa kekuatan
yang ada, namun gagal. Justru tubuh Re yang kemudian mencelat cukup jauh.
“CUKUUUUP!!!”
Di tengah suasana yang
kalang kabut dan mengerikan ini, tiba-tiba muncul beberapa orang yang segera
menyeruak ke arena. Mereka adalah Pakdhe Warno, Budhe Lasmi, dan Asmawi. Asmawi
lah yang berteriak lantang barusan.
“Sumi, jangan libatkan
orang lain. Urusanmu dengan aku,” Asmawi maju ke tempat dimana Yesi masih
mencekik Mas Handoyo.
Mendengar suara Asmawi,
cekikan di leher Mas Handoyo seketika mengendur. Mata Yesi masih seperti yang
tadi, nyalang, membara penuh dendam, kini beralih menatap Asmawi.
“Kaaauuuuuuuuuuuu…
AAAARRRGGGGGHHHHHHHH… AKU BUNUHHHHHHHHH…”
Asmawi dengan sigap
menyambut serangan yang dilancarkan oleh Yesi. Keduanya beguling dilantai,
saling serang, saling mencengkram.
“Akkkhh.. aku mengaku
salah, Sumi. Akkkkhhh akkku minta maaf,”
“SSSSSSSSSSHHHHH…
BUNUHHHHHH AKUUU BUNNNUHHHHH KAUUUUU!!!”
“Rantiiii, dengarkan
Emak, Nduk. Emak mohon, jangan kamu
berbuat seperti ini. Emak sudah ikhlas kamu pergi. Lagi pula orang yang
membunuhmu sudah meminta maaf.” Mbok War menangis sesenggukan lagi. Jemarinya terjulur
ke arah Yesi yang masih juga mencekik Asmawi.
“AAAAARRRRGGGGGGHHHHHH...”
“RANTIII…” Mbok War
mengerahkan segenap kemampuan yang masih tersisa untuk sekedar berteriak
seperti barusan. Usahanya ini tidaklah sia-sia. Yesi mengendurkan cekikan di
leher Asmawi, kemudian berbalik dan menghampiri Mbok War dengan wajah
tertunduk.
“Emak… Ranti pulang.
Ranti ingin tidur di tempat yang semestinya. Pindahkan Ranti. Pindahkan Ranti.
Pindahkan Ranti. Ranti sayang Emak.” Tubuh Yesi lemas dan terkulai persis di
pelukan Mbok War. Matanya terkatup rapat. Napasnya pelan-pelan mulai teratur.
Mbok War sendiri masih
juga menangis seraya memeluk tubuh Yesi dengan erat. Bahunya berguncang. Air
matanya tak terkatakan lagi. Deras, berlinang-linang. “Kamu akan tidur di
tempat yang semestinya, Nduk. Kamu
akan tidur di tempat yang semestinya. Emak akan memindahkanmu. Emak janji.”
Di luar, malam semakin
menua. Udara kian jadi dingin. Api unggun telah kehilangan cahayanya. Padam.
Gelap. Tinggal binatang malam yang menyanyi, saling bersahutan, menambah
syahdunya malam. Sebuah malam penghabisan.
***