Oleh: Abroorza Ahmad Yusra
Tidak jarang, para penyair menyebut nama orang di dalam
sajak-sajaknya. Kadang ada di bawah judul, kadang menjadi bagian dari
sajak itu sendiri. Seolah, sajak tersebut memang diciptakan khusus untuk
seseorang. Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Sutan Takdir
Alisyahbana, Joko Pinurbo, dan macam-macam lagi –hampir semua penyair–
pernah melakukannya. Misalnya, pada sajak Rendra berjudul “Surat Cinta”.
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur mainan
anak-anak peri dunia yang gaib
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah
Wahai, Dik Narti, aku cinta kepadamu!
Bisa dianggap, sajak tersebut merupakan ungkapan lamaran Rendra
kepada seseorang yang dipanggil ‘Dik Narti’. Bagi yang mengenal kisah
hidup Rendra, sajak tersebut bisa dianggap sebagai pinangan Rendra
kepada Dik Narti, dan pada kenyataannya memang demikian. Dik Narti
menjadi istri Rendra.
Namun, meski terkesan si penyair berbicara langsung kepada seseorang,
sejatinya, sajak itu juga bicara kepada pembaca umum. Siapapun nama
yang tercantum di dalam sajak, pembaca juga diberi ruang untuk
meningterpretasinya. Sebagaimana sajak lain yang tanpa ada cantuman
nama, pembaca juga dituntun memasuki sebuah persitiwa. Bedanya, kali ini
pembaca diajak ‘menguping’ monolog satu arah, antara pengisah dan nama
atau orang yang dituju. Kesan personal pada sajak juga dapat menjadi
konsumsi pembaca umum. Sajak dengan cantuman nama, tidak harus menjadi
khusus. Interpretasi terhadap karya yang mencantumkan nama juga berarti
tidak selalu bersifat khusus.
Di dalam Sayap Imaji, boleh kita perhatikan sajak berikut ini. Judulnya, “Julius, Ketika Aku Rindu”, karya Herlina Kiei.
Desember adalah sebuah penantian
kelahiran yang menyelamatkan
tolong. selamatkan aku dari kerinduan yang membentang di segala zaman
lantaran padamu, aku akan dan harus pulang
**
Telah kucoba sembunyikan rindu
pada kaki-kaki langit yang jauh
tetapi desember selalu berhasil melahirkannya
kembali
**
Julius..
Telah kugeser ribuan kaki
Ke negeri yang jauh
namun, rindu tak pernah lelah memeluk
langkahku
**
Ah, bagaimanapun
hati kita sungai-sungai
sejauh mana mengalir
akan kembali ke muara yang sama
**
Meski layar telah kandas
Rindu ini tak pernah tumpas, Julius
Ia enggan menepi walau di tengah laut sepi
Dalam hati rindu bersarang tak pernah mati
Dalam sajak tersebut, Herlina sebagai penyair melakukan monolog
percakapan satu arah, dengan orang yang bernama Julius. Saya tidak tahu
apakah Julius itu memang sosok yang nyata, yang mengilhami sajak
tersebut, atau sekadar sosok imajinasi. Tetapi, tidak perlu kita
bersusah payah bertanya kepada Herlina Kiei sebab, telah disebutkan
tadi, sajak tidak melulu bersifat khusus, meski ada cantuman nama. Lagi
pula, pada prinsipnya ‘pengarang telah mati’. Interpretasi karya dapat
dilakukan melalui hubungan pembaca dengan karya, tidak mesti melalui
pengarangnya. Tugas pembaca bukan mendalami atau
kepo atas
hubungan antara Herlina dengan Julius, melainkan mendalami peristiwa
yang dibangun di dalam sajak, dengan berdasarkan pada kata-kata,
larik-larik, di dalam sajak.
Melalu piranti bahasa, Herlina mencoba mengungkapkan persoalan
perasaan yang disebut ‘rindu’. Indikasi tersebut dapat dilihat misalnya
pada larik-larik “
Julius / Telah kugeser ribuan kaki / Ke negeri yang jauh / namun, rindu tak pernah lelah memeluk / langkahku”.
Lantas, pengarang mencoba memberi arti pada ‘Desember’. Desember
menjadi simbol atau lambang sebuah kenangan, bukan sekadar nama bulan. “
Desember adalah sebuah penantian / kelahiran yang menyelamatkan” atau pada larik, “
Telah kucoba sembunyikan rindu / pada kaki-kaki langit yang jauh / tetapi Desember selalu berhasil melahirkannya / kembali”.
Lewat larik-larik tersebut, pembaca diajak menyelami nuansa bulan
Desember, yang menurut pengarang, memiliki suatu makna. Ada asa juga
yang ditawarkan, diibaratkan seperti “
hati kita sungai-sungai / sejauh mana mengalir / akan kembali ke muara yang sama”.
Herlina di dalam sajak telah berubah menjadi ‘aku lirik’ dan ‘Julius’
adalah tokoh yang diajaknya bicara sehingga terjadi sebuah monolog.
Dalam monolog itu, penyair tidak lagi menjadi sosok di luar sajak,
melainkan menyatu di dalamnya. Karena itu, nama apapun yang tercantum di
dalam sajak, hanyalah nama. Tidak perlu dihubung-hubungkan dengan
kenyataan di luar sajak. Bila kebetulan pembaca mengetahui hubungan
Herlina dengan Julis di dalam kenyataan sebenarnya, itu hanyalah bonus.
Bukan hal yang mesti dilakukan.
Ada sedikit cerita. Seorang kawan bercerita kepada saya mengenai
dosen yang meminta mahasiswanya untuk menemui pengarang agar
interpretasi mahasiswa tersebut terhadap karya pengarang mendekati
kenyataan. Saya pikir, itu sebuah hal lucu. Apakah memang harus bertanya
langsung kepada pengarang untuk memaknai sebuah karya? Jika memang
demikian, di mana letak kebebasan pembaca untuk memaknai sajak?
Bagaimana jika pengarang tersebut telah wafat. Anggaplah saya ingin
menafsirkan sajak Chairil Anwar, apa saya harus main jailangkung untuk
bertanya pada arwahnya? Bagaimana jika harus menafsirkan sajak-sajak
Pablo Neruda, mestikah saya pergi ke Amerika Latin? Merepotkan saja.
Pengarang adalah seorang penulis yang artinya menyampaikan semua hal
yang ingin disampaikannya melalui bahasa tulisan. Ketika sebuah tulisan
telah rampung, tulisan itu menjadi ‘hidup’ sendiri, sedangkan pengarang
‘telah mati’. Bahasa tulisan, hal itu yang menjadi poin penting dalam
mendalami karya, bukan sisi pribadi pengarang.
Memang, mungkin tafsir kita bisa saja mendekati kenyataan bila
mengetahui kehidupan pribadi pengarang. Tetapi bisa juga membatasi tasir
kita. Sebab, puisi bukan pada hakikatnya tidak berbicara tentang
kenyataan. Puisi lahir dari imajinasi penyair yang berdasarkan pada
kenyataan.
Pada dasarnya, sajak ditulis untuk pembaca, tidak khusus untuk
seseorang. Jika kita mampu melepaskan diri dari pengetahuan tentang nama
yang tercantum di dalam sajak, pembaca tentu bisa lebih membebaskan
imajinasi dan mencapai tafsir yang lebih mendalam. Yang terpenting
bukanlah hubungan antara Herlina dengan Julius, atau Rendra dengan Dik
Narti, namun lebih kepada bagaimana sebuah hubungan, entah itu cinta,
sakit hati, putus asa, rindu, diungkapkan oleh penyair.
Sebagai contoh lain, boleh juga kita simak puisi
‘Tenanglah Tenang, Angelica’, karya
Kakanda Redi.
pada tepi kota-kota yang sepi, malam telah sampai
perjalanan telah selesai
tapi rindu terus memburu temu
memaki tik-tok jarum yang yang terseok-seok
memberi rentang jarak bagi sebuah jumpa
tenanglah, Angelica
tak ada yang sia-sia dari setiap kecupan-kecupan mesra
cinta tak akan pernah membentang jurang
cinta tak akan pernah memberi sesat
Angelica, pada kecup yang paling sunyi, rasa telah sampai
pencarian telah selesai
terjal perjalanan itu hanyalah bebatu
sedang rindu hanyalah keresahan-keresahan
dan kau; jawab dari segala doa yang terpanjatkan
Tidak jauh berbeda seperti sajak Herlina, Redi juga menuntun pembaca pada nuansa mengenai rindu dan cinta, terekam pada larik “
tapi rindu terus memburu temu / memaki tik-tok jarum yang yang terseok-seok / memberi rentang jarak bagi sebuah jumpa”.
Pada larik-larik selanjutnya, Redi mencoba menampilkan suasana bahwa
‘peristiwa yang terjadi antara mereka’, kerinduan itu, bukan suatu hal
yang perlu diratapi. “
tenanglah, Angelica / tak ada yang sia-sia
dari setiap kecupan-kecupan mesra / cinta tak akan pernah membentang
jurang / cinta tak akan pernah memberi sesat”. Sajak lantas ditutup oleh harapan. Terekam pada larik “
Angelica, pada kecup yang paling sunyi, rasa telah sampai / pencarian telah selesai” dan “
dan kau; jawab dari segala doa yang terpanjatkan”.
Sebagai pembaca, kita diajak menyaksikan peristiwa itu, yang berisi
tentang suasana merindu, ketegaran, dan harapan. Melalui sajak, pembaca
‘menguping’ apa yang dikatakan Redi sebagai ‘aku lirik’ kepada perempuan
yang bernama Angelica. Kita bisa melakukan interpretasi dengan
berdasarkan bahasa, larik, kata, yang digunakan Redi. Kita bisa ikut
menyelami persitiwa yang dibangun tanpa harus bersusah payah mencari
tahu hubungan Redi dan Angelica. Yang penting bagi pembaca bukanlah ‘apa
yang terjadi’ di luar sajak, melainkan ‘apa yang bisa dihayati’ lewat
sajak.
Abroorza Ahmad Yusra beraktivitas sebagai penulis, peneliti
budaya, dan penggiat lingkungan. Hingga kini, telah menulis beberapa
buku. Berdomisili di Pontianak dan Surabaya. Dapat dihubungi melalui rozzay_abroorza@yahoo.com.