Emak menggebrak pintu kamar Imam yang masih tertidur pulas. “Imam, bangun. Bocah edan, mau jadi apa kamu?” teriak emak untuk kali kesekian.
Imam kaget. Sebentar kemudian ia menguap panjang. ”Aduh, Mak, ada apa sih teriak-teriak?” sahut Imam dari dalam kamarnya. Ia menguap lagi.
”Ada apa...ada apa... Bangun cepat. Dasar pemalas!”
“Ini masih jam empat subuh, Mak. Masih dingin, masih gelap.” sahut Imam lagi, masih dari dalam kamar.
”Bocah sableng, jam empat subuh kamu bilang? Ini sudah jam dua belas. Tuh, matahari lagi redup sebentar. Gak ngerti, lagi makan siang kali.”
Imam keluar, mengucek matanya beberapa kali, ”Emak bisa aja.”
“Kamu gak bantuin Supri, Mam?”
”Supri saja gak kerja, Imam mau bantuin apa?” ia menguap lagi. “Makanya Imam bangun pagi.”
“Bangun siang, sableng!”
Imam ngakak. Ditinggalkannya pintu kamar menuju meja makan. ”Emak gak usah masuk kamar Imam,” dituangkannya air dari kendi tua ke gelas, diteguknya tiga kali dan segera gelas itu kosong. ”Nanti kalau Emak masuk kamar Imam, kertas-kertas Imam Emak bakar lagi. Susah Imam nanti.” katanya lagi, kali ini sambil mencomot pisang goreng sisa tadi pagi dan secepat mungkin memasukkannya ke dalam mulut.
”Kamu masih ngeramal nomer lagi, Mam?”
”Ya masih lah, Mak. Mau ngapain lagi? Batako di gudang masih numpuk. Belum bisa nyetak lagi.”
”Mbok ya kamu itu nyari kerja lain. Bocah kok kerjaannya ngeramal nomer terus. Punya uang sedikit sudah sibuk pasang nomer. Kalau uangnya habis, bingung minta ke Emak. Kalau gak dikasih, kamu rokok aja ngutang ke warungnya Yu Purnami.”
“Tapi kalau tembus kan lumayan, Mak. Dua bulan Imam gak akan minta uang ke Emak lagi. Bener ini.”
”Halah. Kayak pernah-pernahnya aja nomermu itu tembus. Emak kok gak pernah dapet kabar.”
“Nanti kalau tembus, Emak bakal Imam belikan sembako cukup untuk sebulan. Gimana?” Imam mencomot sisa pisang goreng terakhir, mengunyahnya halus-halus, kemudian segera menelannya dibantu dengan segelas air dingin khas kendi.
“Emak gak mau uang hasil tembus nomermu itu. Kalau mau ngasih Emak sembako, mending pakai uang jual batako saja. Ketahuan halalnya. Dimakan ya kenyang.”
“Halah, Emak ini, ada-ada saja.”
“Ada-ada gimana?” Emak menatap Imam tajam-tajam, “Pokoknya Emak gak mau uangmu hasil masang nomer. Gak berkah! Dan satu lagi, awas kalau kamu masih sering begadang sia-sia cuma untuk ngeramal nomer.”
“Uang hasil jualan batako untuk beli nomer saja kurang, Mak. Kok malah untuk beli sembako. Apa gak ada-ada saja itu namanya?”
”Ya sudah, mulai sekarang kamu gak usah makan lauk telur goreng lagi. Kamu makan lauk kertas buram sama tinta pulpen saja. Awas kalau kamu minta digorengkan telur lagi. Emak gak mau gorengkan!” selesai berkata begitu, emak menghilang ke dapur.
”Loh...loh...Mak, jangan gitu toh, Mak...”
***
Imam, remaja diambang dua puluh lima, bangkotan, dan pengangguran tamatan SMP itu memang gila ngeramal dan pasang nomer. Hobi terbarunya, ngutak-ngatik nomer itu tadi, diputer-puter, dipasangkan dengan nomer lain, dikalikan sepuluh, dibagi seratus, ditambahkan dengan nomer yang keluar minggu kemarin, dikalikan lagi, dan yang terakhir disimpan dibawah bantal. Katanya biar nanti malam kalau mimpi, nomer itu bisa ditanyakan ke sesepuh jaman dahulu, apakah nomer itu punya harapan untuk tembus. Kalau memang nomer itu punya harapan untuk tembus, secara otomatis si penanya akan bangun pagi dengan sendirinya. Kalau tidak, maka si penanya akan bangun di atas jam dua belas.
Entahlah, Imam dapet rumus edan ini dari mana. Yang jelas, ia begitu yakin dengan hasil eksperimennya ini. Manjur, ampuh katanya, meski belum sekalipun nomer hasil ramuannya tembus.
Perihal hobi barunya ngeramal nomer ini, bermula dari seorang kakek tetangganya yang begitu ingin menyambangi keluarganya yang tinggal di Surabaya. Sayang niat tulus ini tidak didukung dengan budget yang memadai. Tentu saja semua itu tinggal mimpi semata.
”Mbah Min,” kata Topah, teman Imam bekerja mencetak batako di rumah Supri, suatu hari saat ngobrol ngalor-ngidul di warung Yu Purnami, ”Mbah bener kepingin pulang kampung?” Topah menyeruput kopinya, ”Tapi gak punya uang, gitu?”
Orang yang dipanggil Mbah Min tadi hanya diam, menatap kosong ke depan. Seolah di depan sana, keluarganya yang di Surabaya sedang melambai-lambai dan merentangkan tangan hendak memeluknya, sambil bibirnya tak henti mengucapkan kata kangen. Mbah Min kian miris begitu mengetahui itu semua hanya hayalan saja.
”Ada solusinya, Mbah.” ujar Topah dengan begitu meyakinkan.
”Kamu mau minjami aku uang, Pah? Halah, kok aneh-aneh, Pah. Ngopi saja kamu kadang-kadang masih ngutang sama Purnami.” sengit Mbah Min.
Topah masam, ”bukan gitu, Mbah. Kalau akau punya uang sebanyak itu, ngapain juga aku minjami Sampeyan. Bagus aku sendiri yang sambang ke Jawa.” katanya mantap, kemudian terkekeh.
”Lantas?”
Topah masih dengan sisa kekehnya, ”Tau rumahnya pak Cokro?”
Mbah Min mengangguk. Ia tau pak Cokro dulu orang kaya yang dermawan. Kalau ada warga yang pinjam uang, pasti dipinjami. Kadang-kadang gak dikembalikan juga tidak apa-apa. Sayang, sekarang orang baik itu sudah pindah ke Sumatera. Gara-garanya, anaknya meniggal bunuh diri setelah meneguk setengah botol obat semprot rumput. Tidak jelas apa sebabnya.
”Mbah Min tidur deh disitu, malam Jum’at Legi. Minta nomer sama ’yang jaga’ rumah. Berani gak?”
Giliran Mbah Min yang terkekeh. ”Mbah ini sudah tua, sudah capek dengan ramal nomer yang gitu-gitu. Dapetnya jarang, keluarnya banyak.”
”Weeeeee, yang ini lain, Mbah.” Topah menyakinkan, ”Lagi pula, nomer ngeramal dengan nomer minta sama lelembut itu beda. Ampuhan yang minta sama lelembut. Bener ini.”
Masih dengan kekehnya yang sumbang, ”Males, Mbah sudah males dengan yang gitu-gitu.” jelasnya, kemudian meninggalkan warung Yu Purnami dan Topah yang masih tersenyum gak jelas.
”Kamu itu, orang tua kok dipakai mainan. Dosa kamu, Pah.” Yu Purnami komentar dari dalam warungnya.
”Guyon saja kok, Yu. Lagian Mbah Min itu bukan males dengan nomer, tapi takut diganggu sama hantu anaknya pak Cokro. Terus, kok mau-maunya tidur di rumah kosong yang ada hantunya. Banyak nyamuknya lagi.”
”Lha iya, itu kamu pakai mainan juga toh, namanya. Bener, kamu nanti kualat. Dosa sama Mbah Min.”
Lusa, setelah percakapan di warung Yu Purnami itu, seisi kampung gempar perihal Mbah Min yang berhasil tembus pasang nomer empat angka. Tidak tanggung-tanggung, tujuh puluh delapan juta berhasil Mbah Min bawa pulang.
Ketika lewat di depan rumah Supri, dengan wajah cerah Mbah Min menyapa Topah dan Imam yang sibuk menyusun Batako.
”Pah, terima kasih ya, sudah ngasih saran nginap di bekas rumah pak Cokro. Tok cer, tembus empat angka. Nih, kalau gak percaya,” Mbah Min membuka bungkusan plastiknya dan menunjukkan tumpukan uang pecahan lima puluh ribuan. ”Banyak, kan?” lanjutnya dengan senyum.
Topah dan Imam yang seumur hidup di dunia fana ini tidak pernah melihat secara langsung uang satu juta, apalagi ini, tujuh puluh delapan juta, mendadak lemas dan gugup.
”I...ini u...u...uang sem...semmmua, Mbah?”
”Gak, uangnya selembar, sisanya koran digunting. YA UANG SEMUANYA, SEMPRUL...”
”Edan tenan, banyak sekali, Mbah.” Topah masih terpana tak berdaya dan sedikit tak percaya dengan apa yang dia lihat.
”Yah, mungkin rejeki di saatingat saudara jauh.” ucap Mbah Min diplomatis dan sedikit merendah, ” Pas kepingin sambang, gak punya uang. Eh, kamu malah ngasi saran bagus. Ya ini, hasilnya.” Mbah Min ngakak semaunya. ”Nih, Mbah kasih kalian satu jutaan. Itung-itung sebagai ucapan terima kasih. Sisa tujuh puluh enam juta ini, masih cukup kok untuk beli tiket pesawat dan sedikit oleh-oleh buat keluarga di Surabaya.” Mbah Min berlalu dari hadapan Topah dan Imam, tanpa peduli lagi dua mahluk sableng itu ingat bilang terima kasih atau tidak.
Sejak saat itu, Imam jadi keranjingan ngutak-ngatik nomer. Bongkar-pasang dan mencocokkan dengan nomer lain, diputer-puter, dipasangkan lagi dengan nomer lain, dikalikan sepuluh, dibagi seratus, ditambahkan dengan nomer yang keluar minggu kemarin, dikalikan lagi, dan yang terakhir disimpan dibawah bantal. Semakin keranjingan saja kalau nomer yang keluar mendekati dengan nomer hasil ramuannya. Begitu saja kerjaan sepanjang hari kalau lagi tidak sibuk mencetak batako. Emaknyua sendiri sampai pusing dibuatnya.
Kalau sedang tidak meramal nomer di rumah, mencari Imam sangat gampang. Kalau tidak di rumah Supri, juragan batako tempatnya bekerja, pasti di rumah Mi’an. Mi’an memang temen Imam sejak keduanya mulai belajar merangkak sampai akhirnya bisa dan mahir merokok. Anaknya sedikit mujur, bisa melanjutkan sekolah lantaran keluarganya mampu. Karenanya, Mi’an anak yang sedikit berpendidikan. Ia sekolah di kota. Pulang kampung hanya pas liburan seperti sekarang ini.
Imam selalu betah main ke rumah Mi’an lantaran Mi’an punya komputer baru. Imam sama sekali asing dengan barang yang satu ini. Tapi lambat laun ia bisa memainkan satu dua game yang kebetulan ia suka. Kesukaannya memang dengan yang kasar-kasar. Game berantem misalnya. Ia senang menggebrak-gebrak tuts-tuts keyborad sambil teriak, ”Asu! Jagoanku kalah lagi,” dengan muka tak bersalah. Mi’an sendiri sering meneriaki kelakuan binatang sahabat bayinya ini. ”Nanti aku ramalkan nomer, kalau tembus aku belikan kamu komputer yang baru, kalau yang ini sudah rusak,” jawab Imam enteng dan ngerasa apa yang diucapkannya barusan itu memang bakal terjadi, ketika ia dimarahi Mi’an.
Mi’an hanya bisa geleng-geleng kepala, ”Dasar kuli batako!”
***
Imam berjalan penuh semangat. Pagi ini ia tampak sangat segar. Langkahnya tegap dan mantap. Warung Yu Purnami yang ia tuju pertama kali.
”Yu, ngutang rorok ya, sebentar lagi Emak ke warung, Emak yang bayar.” ucap Imam begitu dilihatnya Yu Purnami saat ia sampai di warung. ”Anu, Yu, sama buku tulis satu. Yang tipis saja.” lanjutnya kemudian.
”Ngeramal nomer lagi, Mam?”
Imam tersenyum, ”Ya iyalah, Yu. Masa iya sih saya mau ngerjakan pe-er adiknya Sampeyan. Ada-ada saja.” senyumnya tadi segera berubah jadi tawa yang sumbang.
Giliran Yu Purnami yang tersenyum, ”Kamu itu, Mam. Kok kepingin bener seperti Mbah Min.”
”Tujuh puluh delapan juta, Yu, tujuh puluh delapan juta. Apa Sampeyan gak kepingin dapat durian runtuh sebanyak itu?”
”Ya kepingin lah. Tapi kalau masang nomer itu kan gak selalu dapet. Nunggu nasib mujur, baru dapet.”
”Nasib mujur jangan ditunggu, Yu, tapi disongsong, dikejar, diusahakan. Bener gak?” Imam tersenyum lagi.
Yu Purnami tersenyum. ”Tuh, Emakmu datang.”
”Hah?” Imam menoleh kebelakang. Tampak olehnya emaknya berjalan dengan seseorang yang berpakaian rapi, mencangklong tas slempang, dan berkacamata putih. ”Sampeyan sih, Yu, ngajak ngobrol terus. Telat deh mau kabur. Walah...” gerutu Imam yang tampak susah.
”Ini bocahnya, Pak, anak saya, Imam Syuhada.” cerocos emak Imam begitu sampai di muka warung Yu Purnami. Sementara Imam belum mengerti apa sebenarnya maksud dari semua ini.
”Oh, nama yang bagus dan bermakna indah,” kata seseorang yang berpakaian rapi, mencangklong tas slempang, dan berkacamata putih tadi.
”Bagus namanya saja, Pak, kelakuannya selalu saja bikin kesal saya. Tuh, belum-belum sudah ngutang buku lagi. Sebentar lagi ngeramal nomer togel tuh, Pak. Gitu saja tuh, kelakuannya sepanjang hari. Ngeramal, ngeramal, ngeramal. Heran saya.” ucap emak, tepatnya mengeluh.
Seseorang yang berpakaian rapi, mencangklong tas slempang, dan berkacamata putih tadi hanya tersenyum, ”Suka meramal nomer, ya?”
”Imam mengangguk penuh hormat. Sesekali matanya melirik mata emak, meminta penjelasan mengenai semua ini.
”Kenalkan,” seseorang yang berpakaian rapi, mencangklong tas slempang, dan berkacamata putih tadi mengulurkan tangan, ”Saya Hendra. Saya pengusaha kecil-kecilan. Saya kenal dengan bapaknya Imam. Bapaknya Imam kerja juga dengan saya.”
”O...” Imam mengangguk paham. Bapaknya memang kerja di kota kecamatan. Seminggu sekali pulang ke desa. ”Maaf, Pak Hendra ke desa ini ada tujuan apa?”
”Mencari tenaga kerja yang masih segar.” jawabnya penuh senyum, ”O iya, Imam bisa mengoperasikan komputer?”
Imam mengangguk mantap. Ia tersenyum. Gak sia-sia rasanya tiap hari menggebrak tuts keyboard komputernya Mi’an. ”Bisa sedikit, Pak.”
”Bisa Excel?”
Imam ragu, tapi akhirnya menggeleng juga.
”Photoshop, bisa?”
Imam menggeleng lagi.
”Jadi bisa mengoperasikan program komputer apa?”
Kali ini Imam menjawab dengan mantap dan cepat, ”Games dan Winamp, Pak. Kalau engsel dengan soto sop tadi saya bersedia belajar, Pak. ” Jawabnya sedikit sombong. Bergantian dipandangnya Yu Purnami dan emak yang tampak takjub dengan apa yang barusan ia sebutkan. Pasti, kali ini ia akan terlihat sedikit gagah dan cerdas, pikirnya.
“Excel dan photoshop.”
“Iya, itu maksud saya, Pak.”
“Oke lah, sekarang intinya Imam bersedia tidak bekerja dengan Saya? Masalah kemampuan Imam dengan kedua program komputer tadi, pelah-pelan kita tambah. Bagaimana?”
Imam melonjak tak percaya, ”Ini beneran, Pak? Saya diajak kerja dengan Bapak di kota, gitu?”
”Iya,”
”Ah, jelas mau sekali saya, Pak.” Imam tertawa, kemudian menatap emaknya penuh haru, ”Mak, nanti Imam akan belikan Emak sembako yang cukup untuk sebulan ya, Mak.”
***
Sebulan setelah pertemuannya dengan Pak Hendra, Imam berubah drastis. Ia tak lagi menjadi kuli batako. Tapi tetap saja ia mengunjungi Topah dan Supri, setiap kali ia pulang kampung.
Emaknya pun tak lagi pernah teriak-teriak membangunkan kalau Imam sengaja bangun siang. Dalam pikiran emak, tentu Imam capek kerja di kota, seperti suaminya pernah cerita. Maka dari itu, emak membiarkan Imam istirahat sepuasnya jika ia pulang kampung.
Akan janjinya dulu, Imam sama sekali tidak ingkar. Imam benar-benar membelikan emaknya sembako yang cukup satu bulan. Lebih malah. Segala hutang emak di warung Yu Purnami dia bayar lunas. Arisan bulanan emak dia bayar untuk dua bulan ke depan. Sekarang di rumah sudah ada televisi, meski bukan yang berukuran besar seperti televisi yang ada di kelurahan. Setidaknya sekarang emak sudah tidak usah susah-susah lagi pergi ke kelurahan kalau ingin menonton tivi saja. Semua itu sudah cukup membuat emak bangga pada Imam.
”Kamu itu kerjanya apa toh, Mam? Kok bayaranmu besar bener? Bapakmu saja yang sudah hampir satu tahun kerja dengan Pak Hendra bayarannya gak sebesar kamu.” tanya emak pada suatu kesempatan.
”Bapak kan tukang jualannya, Mak. Kalau saya tukang mencatat keuangannya. Makanya saya diajari komputer program engsel sama Pak Hendra. Engsel itu isinya kotak-kotak semua, Mak. Kayak kolom-kolom gitu, banyak bener kolomnya. Imam saja sampai pusing. Tapi lama-lama bisa kok, Mak.”
”O...” emak menanggapi pendek. Setahunya, engsel itu untuk pintu dan jendela. Tapi kemarin pak Hendra juga ada menyebut-nyebut engsel, gitu. ”Terus, yang dijual Pak Hendra apa?”
”Ya buah-buahan, baju, mecem-macem lah, Mak. Kan Bapak sudah pernah cerita.”
”Iya, Emak tahu kok. Emak nanya lagi, karena itu tadi, heran kenapa kok bayaran kamu bisa banyak gitu. Kok kayaknya gak masuk akal. Kerjanya ringan, bayarannya besar.”
Imam diam mendengar penuturan emaknya barusan. Memang benar, kalau dipikir-pikir memang tidak masuk akal. Tapi begitulah kenyataannya. Apa dia harus...
”Atau jangan-jangan kamu nyembunyiin sesuatu dari Emak, ya?”
”Eh...enggak kok, Mak. Sesuatu apa? Emak ini, suka yang aneh-aneh saja.” jawab Imam, sadar atau tidak, ia mulai gugup.
”Hayo, ngaku saja. Rupanya bener dugaan Emak belakangan ini. Pantesan dada Emak deg-degan terus.”
“Gak kok, Mak. Imam kan sudah cerita sama Emak tentang kerjaan Imam tadi.” Imam diam sesaat. “Bayaran Imam kurang lebih ya sebesar bayaran Bapak. Cuma Imam selalu dapat komisi. Semacam jasa gitu lah, Mak.”
Emak mengernyitkan dahi, “Jasa apa? Kamu gak usah aneh-aneh, gak usah berbelit-belit.”
Imam gusar. Napasnya turun naik tak beraturan, seperti ragu ketika hendak mengatakan sesuatu. Tapi toh dia berkata juga. “Belakangan Pak Hendra itu sering tembus nomer, Mak. Kadang-kadang sampai empat angka. Makanya Imam sering dapet tambahan bayaran. Baik kan, Pak Hendra itu?”
Emak menggeleng lemah. Terdengar decak halus dari bibirnya. ”Kok kamu saja yang dapet tambahan bayaran? Bapakmu kok nambahnya sedikit?”
Imam diam.
”Jangan-jangan kamu pasang juga? Bener gitu?”
Buru-buru Imam menggeleng, ”Gak kok, Mak. Imam gak pernah pasang. Cuma...”
“Apa, heh?”
“Cuma yang meramal nomer yang dipasang Pak Hendra itu Imam, Mak. Waktu pertama kali meramal, dipasang langsung tembus. Makanya Pak Hendra minta ramalkan lagi. Karena sering tembus, Imam jadi sering dikasi tambahan bayaran, Mak. Itu tadi, uang jasa katanya.” Imam tertunduk setelahnya.
Emak sendiri langsung mendelik kesal. Napasnya turun naik tak beraturan, hampir sama seperti napas Imam tadi. ”Jadi kamu belanja semua ini dari uang nomermu itu? Lupa kamu, Emak dulu pernah bilang apa?”
”Tapi...tapi... kan bukan Imam yang pasang. Imam hanya meramalkan saja. Beli nomer togelnya juga gak pakai uang Imam Kok, Mak.”
Emak berdecak lagi, kali ini nyata benar jengkelnya. ”Orang yang menyimpan, menjual, menyuguhkan minuman keras, dosanya sama dengan orang yang meneguk minuman keras. Lupa kamu, Mam?”
Imam kian dalam menancapkan pandangannya ke lantai. Belum pernah dilihatnya Emak meledak sampai sedahsyat ini. ”Anu, Mak... togel kan bukan minuman keras.” jawabnya dengan tampang tak berdosa.
”Bocah edan!”
Pontianak, 13 Juli 2009
Kost
Terinspirasi oleh Mas Imam, si peramal togel ulung,
yang selalu ngeramal togel tapi gak pernah tembus. Kwakakakakakakakakak...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar