Selalu begini setiap aku dan Tri berkunjung ke pelabuhan kecil ini. Setidaknya yang seperti ini terjadi seminggu minimal tiga kali. Sebuah pertemuan yang memang kami rencanakan. Selalu disini, tak bisa dan tak ingin di tempat lain.
Angin menyapu pelan. Mengusap wajah-wajah yang sesekali dilanda ketegangan. Juga sesekali membiaskan rasa takut. Tapi tak ada yang ingin mengatakannya lebih dulu. Aku dan Tri tentunya. Siapa lagi.
”Apa kita akan begini terus?”
Sesekali Tri memecah keheningan yang hanya disinggahi deru angin yang mengirim dingin. Sebuah pertanyaan sederhana sebenarnya. Tapi jika itu terlalu sering ditanyakan, menurutku sudah tidak sederhana lagi. Memang perlu ada tindakan tegas, terutama dariku yang secara pasti terlahir sebagai laki-laki.
”Sampai kapan?”
Tanya Tri lagi. Di sore yang lain.
Ah, Tri, aku harus bilang apa lagi?
Setelah itu kami diam. Cukup lama. Sesekali pula salah satu dari kami memandang keadaan sekitar, berusaha menemukan sosok yang barangkali dikenali.
Angin masih saja menebar pesona menjelang malam yang masih begitu belia. Belum tampak hari akan menjadi gelap. Namun pelabuhan kecil ini sungguh terasa begitu senyap. Sepi. Meskipun tidak terlalu. Bahkan bisa kudengar detak jantung Tri yang sesekali memburu seiring pandangannya saat mengamati keadaan sekeliling.
“Aku mencintaimu, Tri.” Kataku mencoba meredakan detak jantungnya. Tapi sepertinya gagal.
“Apa kamu akan mengatakan hal yang sama terus?”
Oh, tidak. Ada apa denganmu, Tri? Bukankah kamu juga kerap menanyakan hal yang sama terus?
”Ren, kita sudah memulainya hampir dua tahun. Sepanjang perjalanan kita, apa kita akan begini terus? Sampai kapan?”
Aku diam. Sama sekali tak ingin berusaha mendebat perkataan Tri, kekasihku yang sudah aku pacari sejak hampir dua tahun ini. Aku lebih memilih memainkan kaki-kakiku yang terbenam di air yang berwarna kecoklatan. Kesukaan kami berdua jika berkunjung ke pelabuhan kecil ini.
Dari sudut mataku, bisa kulihat Tri yang masih saja memandangiku dengan pandangan menunggu. Mungkin sedikit disertai rasa sebal. Atau apalah namanya. Aku ingin tertawa. Ingin sekali. Sudahlah. Mungkin aku akan menjadi sangat bodoh jika aku melakukannya pada sat Tri memasang wajah yang sangat masam seperti sekarang.
”Reno,”
Aku mengangkat wajah yang sedari tadi tertunduk memandangi sampah yang ikut terbawa arus air. Kutatap wajah Tri dalam-dalam.
”Kamu sama sekali tidak pusing dengan keadaan ini. Sepertinya kamu santai-santai saja. Ah...!”
”Apa seperti itu yang kamu lihat?”
”Iya.”
”Tri, dengar,” aku merapatkan duduk ke sebelah Tri, merangkul pundaknya, juga sesekali mengusap rambutnya, ”Aku belum menemukan waktu yang tepat untuk melamarmu, lalu menikahimu. Mungkin kamu sudah bosan dengan kata-kataku yang selalu itu-itu saja. Aku mencintaimu, aku mencintaimu, dan aku mencintaimu. Tapi kamu juga harus bisa nunggu. Keadaan yang membuat kita bertahan seperti ini.”
”Iya. Tapi mau sampai kapan?”
Duh, Tri. Pertanyaan itu lagi...
”Selalu saja di pelabuhan sepi ini. Memandang laut, melihat camar, air yang keruh, perahu-perahu, dan entah hari ini apa lagi yang akan kita lihat. Kamu tidak bosan, Ren?”
Aku mengiyakan dalam hati. ”Apa kamu sudah mulai bosan?”
”Kok kamu malah balik nanya sih?”
”Andai aku bilang tidak, apa kamu percaya?”
Tri menggeleng. ”Jelas tidak.”
Aku membenarkan lagi, masih dalam hati. ”Aku senang di tempat ini, Tri.” aku mulai berbohong. Sungguh, aku tidak ingin disalahkan. Keadaan, sekali lagi keadaan yang memaksa aku untuk berbohong. ”Terlebih jika disebelahku ada kamu.” kali ini aku jujur.
”Iya?”
”Iya.”
Seperti sore yang sudah-sudah, Tri akan semakin membenamkan tubuhnya ke dalam rangkulanku yang segera akan berubah menjadi sebuah dekap yang hangat di sebuah sore yang sepi. Aku larut dengan perasaan dan senyumku sendiri. Untuk beberapa saat ke depan, aku bisa menenangkan perasaan Tri dan membuatnya lupa dengan segala pertanyaannya yang selalu sama itu. Tri pasti akan memejamkan matanya dalam pelukanku, sebentar saja. Biarlah ia belajar membaca detak jantungku yang memang selalu mendetakkan namanya. Selalu.
”Kalau kamu menikahi aku nanti, kamu akan membawaku kemana?”
Aku tersenyum. Pertanyaan baru. Tapi menarik juga untuk dihayalkan. Menghayal itu sejatinya memang menyenangkan. Tidak ada yang mengganggu. Tidak pernah pula merugikan orang.
”Aku akan membawamu meninggalkan keramaian kota ini. Aku akan membuatkanmu rumah kecil dipinggiran kota. Rumah sederhana untuk kita dan anak-anak kita.” kumulai petualangan imajinasiku dengan sepetak rumah kecil yang indah. Cukup ampuh untuk membuat Tri tersenyum dalam dekapku.
”Ada taman bunganya tidak?”
Aku mengangguk, ”Tentu. Karena aku tahu istriku paling suka dengan bunga.”
Tri tersenyum lagi.
Senyum itu...
Apa aku tega merusak keindahannya? Menghancurkan hatinya? Atau hal yang terburuk, meninggalkan dia? Apa aku tega?
”Hei...”
Aku tersentak. Segera kuukir senyum di wajahku yang menggurat galau barusan.
Tri menarik tubuhnya dari dekapku. ”Kok diam? Kamu mikir apa?”
”Hmmm... ya itu tadi, taman bunga.” aku mulai sedikit gugup. ”Aku suka melamunkannya. Malah sekarang aku mulai mendesainnya. Letak dan tanaman apa yang akan kita tanam nantinya.” kataku, berbohong lagi.
”Yakin kamu sedang melamunkan itu?”
”Iya.” anggukku dengan perasaan yang sangat tidak nyaman.
”Bagus kalau begitu. Karena aku juga sedang melamunkan hal yang sama.”
Aku tersenyum bersamaan dengan Tri yang juga tersenyum. Manis sekali.
Sementara langit kian pekat. Gelap samar terlihat. Matahari mulai memamerkan siluetnya yang sangat indah menghias senja. Burung camar mulai jarang terlihat melintas. Entahlah. Biasanya justru menjelang gelap beginilah mereka akan tampak ramai menghias langit sore. Mungkin tidak untuk sore kali ini.
”Tri,” kataku pelan, sambil melihat Tri yang sibuk memainkan kaki-kakinya di air, membuat suara gemercik dan mencipta busa-busa yang akan segera sirna begitu Tri selesai mengayunkan kakinya.
”Apa?”
Aku diam. Sangsi dengan keberanianku sendiri. Tapi aku harus menaanyakan ini. Harus.
“Kamu mau bilang apa?”
“Tidak begitu penting,” jawabku sekenanya, berusaha membalut sedikit rasa gugup yang singgah tanpa kuundang.
“Lantas, kenapa wajahmu tegang?”
Aku menyerah. “Kamu masih ingat saat dulu aku memintamu untuk jadi pacarku?” tanyaku akhirnya.
Tri tersenyum. Aku tidak berani untuk terlalu menikmatinya. Aku takut seandainya aku salah menafsirkan senyumnya kali ini.
”Iya, aku masih ingat.” lagi, Tri menjawab dengan senyumnya.
”Maksudku...”
”Aku bisa menerimamu apa adanya, Reno. Percayalah. Jika tidak, mana mungkin aku mampu bertahan sampai sekarang ini. Waktu yang hampir dua tahun ini terlalu lama untuk menciptakan sebuah kepura-puraan. Bukan begitu?”
Aku mengangguk. Tidak begitu mantap. Aku takut jika besok atau kemudian hari jawaban Tri akan berubah seiring ketidakmampuanku dalam membuat keputusan. Melamarnya, menikahinya, setelah sebelumnya...
”Percayalah Reno, janjimu tadi sudah cukup buatku untuk bertahan disisimu. Aku tidak akan pergi darimu. Aku juga yakin kamu pasti akan menepati janjimu.”
Begitu kalimat Tri saat memenggal lamunanku sekenanya. Aku masih diam.
”Kamu janji, Reno?”
”Menikahimu?” tanyaku balik.
”Tentu saja. Apa lagi?”
Aku menghela napas. Sungguh terasa berat. Aku mencintai Tri lebih dari apapun. Hanya saja... Ah...
”Iya Tri, aku janji. Tapi tidak untuk waktu dekat ini.”
”Aku akan menunggumu, Reno. Bukankah aku sudah bilang jika aku bisa menerimamu apa adanya. Tentu ini adalah sebuah konsekuensi dari pernyataanku sendiri.”
Aku mulai berani tersenyum. ”Terima kasih, Tri.” Kataku pelan sambil menatap lembut matanya.
Kulihat lagi senyum manis Tri, kekasihku, diantara balutan remang cahaya senja. Siluet yang tersisa tinggal sedikit saja. Menyamarkan apa saja yang tadinya teramat leluasa untuk ditatap. Termasuk senyum manis Tri. Juga gurat wajahku yang sedikit lebih lega.
Pelabuhan kecil ini kian sepi. Keadaan kian terasa dingin seiring kaki-kaki kami yang membeku karena terlalu lama berendam. Juga karena air yang kian meninggi akibat pasang.
Kugenggam jemari Tri dengan perasaan mantap. Biar kuimajinasikan sejenak. Aku bisa menatap masa depanku kelak, di pinggiran kota dengan sepetak rumah mungil yang memiliki taman bunga. Berdua dengan Tri, tentu saja.
Masih kugenggam jemari Tri, saat mozart mengalun pelan dari Hp-ku. Kukeluarkan benda kecil itu dari saku jaket. Rania memanggil...
”Tri,” panggilku bimbang.
Lembut suara Tri mengalun, ”Angkatlah, Ren,”
”Hallo, Rani...”
”Mas Reno,” terdengar suara diseberang sana, disertai tawa. ”Cuma mau mengingatkan Mas Reno saja, takut Mas lupa.”
“Iya Rani, Mas ingat kok,”
“Baguslah kalau begitu.” Lanjutnya, masih disertai tawa. “O iya Mas, nanti malam sebelum ke rumah, tolong belikan anggur ya. Satu kilo saja. Mama yang nitip. Nanti uangnya diganti kalau Mas sudah sampai rumah. Jangan lupa ya, Mas.”
Pembicaraan terhenti. Meninggalkan sesak yang entah bisa digambarkan dengan cara apa. Untuk Reno sendiri. Bahkan mungkin Tri juga.
Reno menghujamkan tatapnya dalam-dalam ke mata Tri yang masih begitu teduh. Keadaan yang seperti ini yang paling ia benci. Sangat.
“Inilah alasan mengapa aku belum bisa menikahimu dalam waktu dekat, Tri.”
“Kamu sudah mengatakannya saat kamu mengutarakan cintamu dulu. Kamu sudah memiliki Rania. Tapi toh aku menerimamu juga. Sekali lagi, memang ini konsekuensinya, Ren. Sekali waktu memang aku tidak sabar untuk bebas dan memilikimu secara utuh. Tapi percayalah, aku akan menunggumu. Aku akan selalu menerimamu apa adanya.”
Tri tersenyum. Entah apa artinya.
”Kita pulang sekarang, yuk. Kamu kan harus bersiap untuk acara makan malam nanti dengan keluarga Rani.”
Masih dengan senyumnya, Tri menarik tanganku untuk bangkit dan meninggalkan pelabuhan kecil ini. Jujur, aku begitu ingin memaknai senyum Tri kali ini. Di senyum itu, pertama kali aku menemukan sebuah ketulusan sebentuk hati.
Aku tersenyum menyambut uluran tangan Tri, kekasihku. Waktu yang hampir dua tahun ini terlalu lama untuk menciptakan sebuah kepura-puraan. Kalimat Tri tadi. Dan aku percaya itu.
Kutinggalkan pelabuhan kecil yang dingin ini. Tapi tidak untuk hatiku. Genggam jemari Tri telah menghangatkan segalanya.
Pontianak, 14 Oktober 2009
Redi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar