“Barangkali ini terlalu cepat, tapi aku harus bilang sama kamu, aku suka kamu.” Begitu kata Arya, yang seketika membuat telinga sekaligus muka Mala merah karena kaget.
Air sungai kapuas mengalir begitu tenang, menghanyutkan apa saja yang terapung diatasnya. Dedaunan kering, boneka bekas, pecahan ember plastik, juga dahan-dahan yang sudah mulai rapuh. Mala memandanginya dengan tatapan sedih. Sama sedihnya ketika ia harus mendengar Arya mengungkapkan cintanya barusan. Kenapa juga harus secepat ini? Sementara diluar semua itu masih banyak kisah yang sebenarnya belum diketahui oleh masing-masing pihak. Mala sendiri misalnya. Ia masih balum begitu tahu benar saat ini apa Arya sudah benar-benar lepas dari Kak Laras kekasihnya? Jika belum, alangkah malang dirinya jika harus mengatakan ’iya’ atas pengungkapan Arya tadi, meskipun Arya belum memintanya untuk menjawab apa-apa. Tapi toh ia harus menentukan sikap juga.
Sejenak sepi begitu berkuasa diantara Mala dan Arya. Tak ada pembicaraan lagi selepas kalimat Arya yang terakhir tadi. Mala belum mengatakan apa-apa. Belum diminta menjawab atau memang saat ini ia tak punya jawaban, entahlah. Arya sendiri masih belum bisa menguasai perasaannya dengan sempurna. Pikirannya kacau, antara takut dan lega. Takut seandainya setelah pengungkapan ini, dan jika Mala menolak, lantas ia tak mau ketemu lagi, hancurlah sudah semuanya. Lega karena beban yang setiap malam ia pikul, akhirnya cair sudah seiring selesainya kalimat pengungkapan tadi.
”Mala, andai kamu sudah punya jawaban saat ini juga, Abang akan sangat senang, apapun itu. Tapi jika kamu belum punya jawaban, bahkan tidak punya jawaban apa-apa, Abang akan menghormati sikap kamu. Abang tidak akan memaksa, juga tidak akan memberi batas waktu seperti lazimnya mereka yang menunggu jawaban setelah mengatakan cinta. Setidaknya saat ini Abang merasa begitu lega. Abang sudah bilang ke Mala tentang perasaan Abang. Mala boleh tidak menjawab, tapi abang mohon, bicaralah, apa saja. Jangan diam saja.”
”Bang, kenapa Abang harus memojokkan Mala seperti ini? Mala harus bilang apa?” akhirnya Mala bersuara juga, sesuatu yang sejak tadi ditunggu oleh Arya.
”Memojokkan bagaimana? Toh Abang sudah memberi kebebasan buat Mala. Abang hanya ingin Mala bicara, tanpa harus membicarakan masalah kata-kata Abang barusan. Abang hanya ingin kita bicara seperti biasanya, mengalir seperti air Kapuas itu.”
”Lantas, apa Abang tidak ingin dengar jawaban dari Mala?”
Arya mengangguk, ”Itu terserah Mala.”
”Kalau begitu apa gunanya Abang mengatakan perasaan Abang tadi? Abang tidak siap mendengar jawaban seandainya Mala menolak? Begitu?”
Kali ini Arya menggeleng, tapi di dalam hati ia malah mengangguk lebih sering, ”Bukan begitu maksud Abang. Abang hanya berusaha mengurangi beban yang setiap malam Abang tanggung sendiri. Abang tidak kuat jika harus rindu pada Mala, tanpa Mala tahu. Makanya Abang bilang, abang hanya ingin Mala tahu. Itu saja.”
”Kalau begitu Abang sama sekali belum mengurangi beban Abang. ” Mala masih saja memandangi riak-riak air sungai yang tenang. Begitu jauh bedanya dengan perasaannya kali ini. Gundah dihatinya begitu besar. Malah sempat ia berpikir kalau lebih baik ia menenggelamkan diri saja, biar Arya tidak usah ketemu-ketemu dengannya lagi. Ah, tentu itu akan sangat konyol sekali.
”Mala...”
”Tiga hari yang lalu Abang masih begitu bersemangat cerita ke Mala tentang hubungan Abang yang kata Abang semakin romantis dengan Kak Laras. ” Mala memenggal sekenanya kalimat Arya barusan, ”Lalu kenapa sekarang Abang bilang kalau Abang suka sama Mala? Mala benar-benar tersudut, Bang. Mala harus bilang apa? Mengatakan ’iya’ sekaligus mengorbankan perasaan Kak Laras? Percayalah Bang, tidak ada seorangpun cewek di dunia ini yang senang diperlakukan seperti itu, dihianati cintanya oleh kekasihnya sendiri. Atau Mala harus bilang ’tidak’ saat ini? Apa setelah Mala menolak Abang, Abang masih mau ketemu dengan Mala? Ah, Mala tahu, tentu temenan kita tidak akan sehangat dulu. Abang sudah merusak semuanya.” lanjut Mala dengan perasaan yang mulai berantakan.
Benar, Arya sudah menceritakan tentang Laras ke Mala. Kadang-kadang ia merasa menyesal juga mengapa dulu ia bercerita itu. Ia sangat mencintai Laras. Tapi jujur, ia juga sayang sama Mala.
Kesunyian kembali menguasai keduanya. Air yang beriak tenang, bahkan angin yang berhembus semilir seolah-olah takut untuk mengusik kesunyian itu.
Dihadapan mereka, selembar daun kering lewat terbawa arus air yang begitu perlahan. Timbul, sesekali tenggelam. Kelihatan, kemudian hilang. Begitu seterusnya sampai ia benar-benar hilang dari pendangan. Kemudian datang daun baru. Begitu lagi. Hilang lagi.
Arya memandang daun-daun yang melintas begitu saja itu dengan tatapan sedih. Sesekali perasaannya ikut tenggelam dan hanyut seiring gerak dauh yang ia lihat. Perlahan diremasnya rambutnya sendiri. Jika memang ia bisa memutar waktu, tentu sudah ia lakukan dan kembali ke beberapa saat lalu. Ia akan mengurungkan niat untuk mengatakan perasaannya yang sebenarnya ke Mala, dan menggantikannya dengan kalimat ’Mala, kita akan berteman sampai mati. Tidak lebih, jika ini bisa membuat senyummu terus mekar seperti bunga di musim semi.’ Sayang sekali, semua sudah terjadi. Dan itu tidak bisa diulang, apalagi dihapuskan.
Mala sendiri bingung harus berbuat apa. Semua sekarang sudah diambang kesunyian. Ia harus mulai menjaga jarak terhadap Arya. Ia tak ingin Arya punya perasaan yang lebih jauh lagi terhadapnya. Bukan tidak mungkin Arya akan nekat. Ia tidak mau itu terjadi. Tapi apa ia salah jika ia juga merasakan sesuatu yang beda dari persahabatannya dengan Arya yang terjalin belum terlalu lama ini? Mala sendiri sebenarnya benci dengan keadaan seperti ini. Tersudut tanpa bisa berbuat banyak. Menyambut uluran perasaan suka dari Arya, berarti ia sudah belajar melukai perasaan orang lain. Kekasih Arya tentunya. Tapi jika ia membiarkan saja perasaan suka itu berlalu, berarti ia harus siap kembali ke masa-masa yang sepi seperti dulu. Masa-masa setelah ia ditinggal pergi oleh Bram yang lebih memilih Tantri yang memang sangat cantik. Sumpah, sakit sekali rasanya. Barangkali seperti inilah kelak perasaan Laras jika ia bersedia menerima sesuatu yang ditawarkan Arya tadi. Jika memang ini terjadi, dimana perasaannya sebagai seorang perempuan?
Hari mulai gelap. Semburat jingga senja mulai kalah oleh bias malam yang sebentar lagi berkuasa. Arya tak hendak membawa pulang Mala secepat ini. Jika toh ini adalah pertemuan terakhir, ia ingin selama mungkin bersama Mala, di sini, di tepian Kapuas yang menjadi saksi patahnya sebentuk hati.
Arya memutar masa lalu di kepalanya, kembali ke beberapa saat yang lalu dimana ia dan Sudir sahabatnya lewat di depan sebuah minimarket tanpa disengaja. Ketika itu beberapa orang gadis baru saja keluar sambil menjinjing plastik belanjaan. Seorang diantaranya sibuk membuka bungkus es krim yang memang sungguh enak bila dimakan sambil berjalan. Entah bagaimana ceritanya, seseorang menabraknya dari belakang. Es krim yang baru singgah di mulut satu gigitan itu pun harus rela jatuh dan tentu saja kotor juga tak mungkin untuk dipungut lagi.
”Waduh, maaf Mbak, saya tidak sengaja. Bener kok. Atau saya ganti ya Mbak, es krimnya. Bagaimana? ” seseorang yang sudah menabraknya tadi tulus membuat pengakuan.
Si gadis tersenyum, ”Nggak usah diganti, Bang. Nggak apa-apa kok. Abang kan tidak sengaja. Cuma lain kali hati-hati ya, Bang. ”
”Ah, terima kasih, Mbak. Iya, lain kali saya akan lebih berhati-hati. Sekali lagi maaf ya, Mbak. ”
Semua berlalu begitu saja tanpa ada keributan sedikitpun. Arya menamainya dengan kejadian yang luar biasa. Hari gini masih ada saja cewek yang kelewat sabar seperti tuh cewek?
”Kamu tunggu disini ya Dir, ” kata Arya pada Sudir yang masih terbengong-bengong.
”Abang mau kemana? ”
Sepi, tidak ada jawaban lagi. Arya sudah keburu hilang ditelan minimarket. Sesaat kemudian ia sudah keluar sambil menggenggam sebungkus es krim. Matanya liar mencari gadis yang sudah menawan hatinya barusan. Ia menemukannya, diantara umpatan ringan teman-teman yang tidak suka kalau si gadis membiarkan orang yang menabraknya tadi pergi begitu saja.
”Kamu sih gak mau di ganti. Kan lumayan kalau di ganti. ” kata teman di sebelah kanannya.
”Bener, La. Coba tadi minta ganti sekalian dendanya. Bagus tuh. Kan kita semua jadi makan es krim. ” kata temen yang di sebelah kirinya lagi.
Arya mendengar semua itu dengan jelas, termasuk pembelaan dari si gadis yang bilang kalau orang tadi bener-bener tidak sengaja. Arya semakin bersimpati.
”Ehmmm, ” sapa Arya setelah berhasil menyejajari langkah gadis-gadis tadi. ”Sebungkus es krim untuk gadis berhati malaikat, ” Arya mengulurkan es krim di tangannya sekaligus menjawab kebingungan yang ada di kepala gadis-gadis itu.
Arya senang sekali jika ingat peristiwa itu. Itulah kali pertama ia kenal dengan Mala, gadis yang sekarang ada di sebelahnya.
”Abang kembali saja ke cintanya Kak Laras. Kak Laras yang lebih dulu memiliki Abang. ” kata Mala perlahan, yang membuyarkan lamunan Arya.
”Jadi, kamu menolak Abang? ”
Mala mendesah pelan, ”Kan Abang sendiri yang bilang, Abang cuma berusaha mengurangi beban Abang, gak lebih kan? Jadi Mala rasa gak ada yang harus merasa ditolak atau diterima. ”
”Lantas, kita bagaimana? ”
Mala menggeleng, ”Mungkin sekitar seminggu lagi Radith akan datang. ”
”Pacar kamu? ”
Mala mengangguk pelan, ”Ia kuliah di Universitas Udayana. Ia bilang sebentar lagi akan pulang. ”
Sakit sekali hati Arya mendengar ini. Jadi Mala sudah punya pacar? Ia tak pernah cerita. Ini jelas tidak adil, pikir Arya. Tak ada lagi yang bisa ia katakan pada Mala. Mala sudah memutuskan meski tidak terang-terangan.
Tatap mata Arya kembali bermain dengan riak air di depannya. Permukaan air yang keruh. Ia menemukan wajahnya dipermukaan itu. Keruh, sayu, tak berdaya, dan kalah. Apalagi yang bisa ia harapkan dari Mala? Bahkan persahabatan yang sehangat dulu sekalipun. Tak ada lagi.
”Kita pulang yuk. Sudah hampir gelap. ” ajak Arya pada Mala. Disadari atau tidak, suara Arya sudah mulai bergetar.
Mala mengangguk. Sebelum beranjak, digenggamnya tangan Arya, ”Maafkan Mala ya, Bang. Mala gak ada maksud bikin abang jadi sedih. ”
Arya mengangguk. ”Maafkan Abang juga. Abang sudah merusak semuanya. ”
Mala berjalan diiringi Arya. Dikepalanya berkecamuk hebat sebuah penyesalan dan kebahagiaan. Ia sudah berbohong tentang Radith. Ia sendiri tak tahu Radith yang mana yang ia ceritakan tadi. Tapi bukankah berbohong untuk kebaikan tidak akan apa-apa? Lastas, apa ia akan bisa sehangat dulu dengan Arya? Ah, biar waktu yang menjawab. Luka akan sembuh seiring berjalannya waktu. Arya akan baik-baik saja. Arya akan bahagia bersama Laras, meski sejujurnya sesekali ia tentu akan merasakan perih. Tapi ia tahu benar, tidak akan kekal sebuah kebahagiaan jika kebahagiaan itu harus mengorbankan perasaan orang lain. Lagi pula, apa sih yang lebih menyebalkan dari seorang cewek selain predikat perebut kekasih orang? Mala gak ingin didaulat dengan predikat gak bagus itu. Sangat gak ingin.
Ah, sudahlah. Hidup bukan hanya untuk hari ini saja. Masih ada hari esok dan juga seterusnya. Ia yakin kelak akan datang Arya-Arya yang lain yang benar-benar tulus mencintainya dan belum terikat dengan cinta yang lain. Ini yang penting.
Mala menarik napas lega. Ia tau keputusan yang ia ambil sudah sangat tepat. Terima kasih, Tuhan...
Sementara senja benar-benar hilang ditelan malam. Angin di sekitar Kapuas mulai terasa dingin.
Pontianak, 30 Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar