Senja semakin merangkak turun. Sulung melirik jam dipergelangan tangan kirinya. Pukul enam belas lebih tujuh menit. Masih cukup banyak waktu untuk segera sampai ke rumah, pikir Sulung dalam hati. Kembali untuk kesekian kalinya, Ia menyeka kening dengan punggung tangan kanannya.
Tepi hutan yang dilalui Sulung belum terlalu banyak berubah. Ladang-ladang yang dulunya ditanami ketela pohon, sekarang masih juga ditanami ketela pohon, meski tak sebanyak dulu. Ladang Pak Misidi, Sulung ingat benar ladang di ujung sungai itu adalah ladang milik Pak Misidi, kini tak lagi banyak ketela. Jagung yang mulai mengering siap untuk dipanen yang lebih tampak. Sementara ketela hanya sebagai pembatas lahan saja, ditanam dipinggir-pinggir ladang. Dan, ah...pohon randu itu, iya, pohon randu itu sekarang sudah sangat tinggi. Berbeda sekali sewaktu Sulung masih sering main perang-perangan dibawahnya dulu. Sulung tersenyum menatap sebagian kecil kampung halamannya ini. Matanya jalang menatap apa saja yang bisa membuatnya rindu setengah mati untuk mengulang kembali masa-masa kecil dulu. Pohon randu, sungai yang jernih, ladang, ketela pohon, burung-burung pipit, dan...
”Bulau? Hei... ” Sulung melambai seseorang yang berjalan sedikit tergesa diujung sana, dekat dengan sungai yang selalu riuh bergemercik.
Serta-merta yang dilambai menghentikan langkah.
Sulung semakin yakin kalau itu adalah Bulau, teman sewaktu kecil dulu. Tak sempat lagi Sulung terpaku lama-lama. Diburunya Bulau, sigap Ia berlari sesigap saat mengejar anak rusa yang berhasil mereka panah, dulu sewaktu kecil. Kembali Sulung tersenyum.
”Bulau? Kau Bulau, kan? ” Sulung masih terengah-engah.
”Nggg... Sulung. Benar kau Sulung? ”
”Jadi benar kau ini Bulau? ”
”Sulung, iya, benar ini kau rupanya. Ah... ”
Sulung memeluk erat Bulau yang tak kalah erat memeluk Sulung. Ada rindu yang luar biasa mereka sampaikan lewat peluk perjumpaan itu. Rindu kepada sahabat kecil yang sekiranya lima tahun tak berjumpa.
”Sudah jadi orang kau rupanya, Sulung. Ah, aku bangga sekali sama kau. ” Bulau menarik lengan Sulung menuju tepi sungai yang riuh. Gemerciknya seperti ikut senang menyambut sahabat kecil yang telah kembali.
”Tidak, Bulau. Aku bukan siapa-siapa. Aku Sulung, temanmu. ” kilah Sulung sesaat begitu mereka duduk. ”Bagaimana kabar kampung kita, Bulau? Tak sabar sekali aku ingin jalan-jalan keliling kampung seperti yang sering kita lakukan dulu. Ingat kau? ”
Bulau menerawang jauh ke depan, ”Tentu saja aku ingat, Sulung. Kau kan dulu ketua kami, pemimpin kami. Kita pernah minta buah rambutan di ladang Bu Rosyid. Aku ingat benar apa kata dia dulu. Nantilah tunggu buah itu masak dulu. Sayang kalau masih kuning sudah diambil. Begitu dia bilang. Lalu kau perintahkan kami untuk benar-benar tunggu beberapa hari lagi, sampai rambutan itu benar-benar merah mengundang liur. Kita minta lagi. Ingat kan apa kata Bu Rosyid yang kikir itu? Jangan diambil, mau dijual ke juragan Bono. Kami diam saat itu. Kami benci. Tapi kami tunggu apa yang akan kau bilang. Lalu kau perintahkan kami untuk menghabisi rambutan ranum itu pada malam hari. Malam itu kita jadi kelelawar, Sulung. Kau yang pimpin kami. Menyikat habis rambutan si kikir Bu Rosyid. Ini bukan soal rambutan, tapi soal janji yang tak ditepati, begitu kau bilang dulu. Ingat kau, Sulung? ”
Sulung tersenyum. Tatapannya menerawang jauh menembus awan yang sebentar lagi jadi gelap. Ingat, Ia sungguh ingat benar apa yang barusan diceritakan Bulau. Sungguh, masa kecil yang indah, meski sedikit nakal, batinnya. ”O iya, tadi kau dari mana? Sepertinya ingin cepat-cepat pulang. Ada sesuatu yang akan kau kerjakan lagi? ”
”Biasalah, Sulung. Aku juga masih seperti dulu. Hanya saja sekarang ini kebutuhannya yang berbeda. Aku tadi merapikan jerat babi. Sama kan seperti yang kita lakukan dulu? Kita jerat babi. Kadang-kadang rusa juga yang dapat. Lantas hasilnya, kita panggang sama-sama. Kita ajak Karsimin, Topah, Wawan juga. Sisa panggangan itu, kita bawa pulang. Lantas, beberapa hari ke depan kita makan daging terus. Daging sisa kita menjerat. Ingat kau, Sulung? ” Bulau terkekeh sendiri. ”Tapi sekarang aku punya keluarga, Sulung. Aku sudah punya anak, dua orang. ”
”O ya? ”
Bulau mengangguk, ”Tahu kau siapa istriku? ”
Sulung menggeleng. Ia sedikit memutar duduk, bersiap untuk menerima kejutan yang sebentar lagi akan disampaikan oleh Bulau.
”Weni. Aku mengawininya. ”
Sulung tersentak, benar-benar tersentak. ”Weni anak ketua adat? ”
”Iya, ”
”Ceritakan sama aku, Bulau. Aku mau mendengarnya, ”
Bulau menarik nafas panjang. ”Aku bikin dia hamil, Sulung. Jika tidak begitu, tidak akan mungkin aku bisa kawin dengan dia. ” Bulau memandang Sulung yang juga memandangnya dengan pandangan penuh selidik. ”Jangan pikir aku jahat, Sulung. Biar aku cerita dulu. ”
Sulung mengangguk, menyilahkan.
”Kau tahu juragan Bono, kan? Baiklah, kau pasti tahu juga masih ingat sama dia. Tapi aku yakin kau tak akan tahu berapa jumlah istri dia sekarang. Aku yakin sekali kau tak tahu, Sulung. ”
”Dua? Tiga? Atau...”
”Sebelas, Sulung. ” Bulau menikmati keterkejutan Sulung yang amat sangat. ”Weni tidak mau jadi istri yang keduabelas. Dia yang paksa aku melakukannya, Sulung. Sungguh, ini satu-satunya jalan, tak ada lain. ”
”Apa ketua adat tak menghukummu? ”
”Hampir saja, Sulung. Hampir saja. Tapi setelah ketua adat tahu alasan kami, justru Ia rela melepas wewenangnya sebagai ketua adat. Ia lebih senang anaknya aku kawin ketimbang harus dikawin juragan Bono. ”
”Sebegitu takutnya kalian dengan juragan Bono? Ada apa? ”
Sekali lagi Bulau menarik nafas panjang. ”Segala tanah lahan di kampung kita ini, dia yang menguasai. Apa yang dia suka, kami harus beri. Jika tidak, tak akan hiduplah kami ini. Dia itu kejam, tapi pandai benar dia menutupinya. Dia beri kami apa yang kami perlukan untuk makan sehari-hari. Imbalannya, dia meminta gadis yang dia suka untuk dia kawin. Kalau tidak begitu, tanah lahan kami dia jual sama orang kota. Kau tahu sendiri, Sulung. Tanah lahan kita ini, dia yang bikin suratnya. Ah, biadab!!! ”
Sulung memejamkan mata. Lima tahun tak pulang, tak sadar dan tak tau kalau kampungnya telah kehilangan kebebasan. Barangkali anak-anak kecil sekarang ini tak akan leluasa lagi menangkap belut di sawah-sawah milik orang tuanya. Tentu saja sawah-sawah itu sudah dikuasai juragan Bono. Begitu kira-kira yang Ia tangkap dari cerita Bulau. Ah, ada apa ini?
”Sudahlah, Sulung. Kau baru saja datang. Jangan terlalu kau pikirkan. Kami sudah terbiasa dengan keadaan busuk ini. ” Bulau menarik tangan Sulung supaya berdiri. ”Pulanglah, tak rindukah kau dengan orang tuamu? Aku janji, aku akan tangkapkan babi yang besar. Kita bakar sama-sama. Kita ulang lagi masa kecil kita yang menyenangkan dulu. ”
Senja benar-benar telah jadi gelap. Sulung pulang dengan beragam perasaan yang berkecamuk dihatinya. Ia rindu, sekaligus sedih.
***
”Bulau dapat babi... Bulau dapat babi... ”
Sulung juga mendengarnya.
Riuh rendah suara orang-orang kampung yang mengekor dibelakang Bulau, yang dengan bangganya memanggul babi yang besar. Sulung tahu, Bulau memang pintar menjerat babi. Jarang sekali jeratnya gagal.
”Sulung, aku tepati janjiku. ” ucap Bulau begitu ia sampai di halaman rumah Sulung. ”Aku tangkapkan babi yang besar. Nanti malam kita bakar, ya. Kita makan enak. Puaslah kita makan daging segar ini. ” Bulau tersenyum senang.
”Bulau, ” Apoi terengah-engah menghampiri kerumunan orang yang sedang merencanakan panggang babi dihadapannya. ”Juragan Bono tahu kau dapat babi. Sekarang juga kau disuruh membawa babi tangkapanmu ke rumahnya. Cepatlah Bulau, nanti aku yang celaka, dikira tidak menyampaikan pesan dia. ”
Bulau mendengus marah, ”Selalu saja begini. Apa sih maunya dia? ”
”Bulau, jaga-jaga kata-katamu tadi. Biasanya banyak penjilat lewat. Dilaporkannya, celaka kau, Bulau. Tak kasihankah kau dengan orang tuamu? ” seseorang mengingatkan.
”Benar itu, Bulau. Susah nanti kau. ”
”Iya. Nanti kalau tidak orang tuamu, anak juga istrimu yang akan jadi korban. ”
”Sudahlah Bulau, ” kali ini Sulung yang berkomentar, pelan namun tegas, ”antar saja babi itu ke rumah juragan Bono. Perkara babi untuk dibakar, nanti kita tangkap lagi. Bukankah kita dulu selalu sama-sama keluar masuk hutan? Menangkap babi, memanah rusa juga. Kau masih ingat kan, Bulau? ” Sulung menepuk pundak Bulau. ”Sudahlah itu. Antar saja. Nanti aku ajarkan kau bagaimana cara menangkap babi yang lebih hebat dari cara kita dulu. Mau kau, Bulau? ”
”Bagaimana itu? ”
”Aha... ” Sulung menepuk pundak Bulau lagi, ”Kita bakar saja kandangnya. Merdeka kita. ”
Bulau tersenyum, entah paham atau tidak dengan kalimat Sulung yang terakhir barusan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dibawanya juga babi yang Ia panggul, mungkin ke rumah juragan Bono.
Sulung hanya terpaku saja mengiring kepergian sahabat masa kecilnya itu. Ia tersenyum. Sebentar kemudian rahangnya mengencang sembari Ia mendesiskan sesuatu dengan penuh geram. ”Babi!!! ”
***
Malam sudah sangat larut. Sayang, tak ada bulan malam ini. Sekeliling gelap, tak ada cahaya sedikitpun. Obor-obor yang terpasang di tiap-tiap halaman rumah penduduk telahpun padam sejak tadi. Suara jangkerik leluasa menerobos celah-celah dinding rumah yang terbuat dari anyam batang bambu. Semakin melelapkan siapa saja yang merebahkan diri di dipan tua kusam, yang kebetulan terbuat dari batang bambu pula. Tak ada firasat aneh, sama seperti malam-malam yang sudah-sudah. Kelelahan setelah bekerja seharian di ladang kian mengatupkan kantung mata, seperti tak sudi dibuka jika pagi belum membangunkan dengan paksa. Sementara malam di luar kian menua.
Malam yang tenang itu seketika berubah hingar. Teriakan dari sebagian orang telah berhasil membangunkan mereka yang terlelap. Suasana menjadi kian hidup. Bukan karena pagi yang datang lebih awal dari biasanya.
”Toloooong...toloooong.... rumah juragan Bono terbakar. Tolooooooong...... ”
Tak ada yang betah berlama-lama menunggu di rumah. Dingin belai embun tak menghalangi niat mereka untuk melihat apa gerangan yang terjadi.
Bulau melompat dari dipan kumalnya. Dipesankannya kepada Weni untuk tidak meninggalkan rumah dan menjaga anak-anaknya. Sementara ia sendiri berjanji akan segera kembali.
Sulung menepuk pundak Bulau, tepat di persimpangan jalan yang mempertemukan keduanya. ”Kau akan ke rumah juragan Bono? ” bisik Sulung yang dijawab dengan angguk oleh Bulau. ”Baik, kita sama-sama. ”
Di sebelah utara, api telahpun membumbung tinggi. Rumah juragan yang tidak disenangi warga itu hampir berubah menjadi puing. Sebuah kejadian hebat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Inilah untuk kali pertama ada kebakaran di kampung yang telahpun ditinggali oleh warga selama kurang lebih tiga puluh tahun.
”Haduh...ludes semua, ludes. Modar aku. Melarat aku. Halahdalah, sebelas istriku, dua puluh lima anak-anakku, mau makan apa? Walah walaaaah. Hancur semua, hancuuuurrrrr... ”
Orang yang dipanggil juragan Bono itu terus menerus mengumpat. Tak ada satu orangpun yang berusaha menolongnya. Mereka lebih senang menonton rumah itu hangus dan roboh ketimbang berusaha menimba air dari sumur-sumur yang sebenarnya tidaklah terlalu jauh.
”Besok kita ke hutan, Bulau. Kita jerat babi yang besar. Kita ajak Karsimin, Topah, Wawan juga. Kita bikin pesta. ” bisik Sulung sembari menyaksikan rumah termegah dikampungnya itu roboh, berantakan dan hancur.
Bulau memandang aneh, ”Kalau babi kita diminta juragan Bono lagi bagaimana? Apa akan kita serahkan lagi seperti kemarin? ”
Sulung merangkul pundak Bulau. Memutar tubuh, meninggalkan kerumunan orang yang masih begitu menikmati pemandangan langka yang tidak pernah mereka dapatkan. ”Kau jangan takut lagi sama dia. Bahkan istri-istrinya pun sebentar lagi akan meninggalkan dia. Sekarang, punya apa dia? ” Sulung tersenyum. ”Babi kita tidak akan diminta lagi sama dia. Aku sudah membakar kandang babi itu. Merdeka kita sekarang. “ Sulung mengerling ke arah Bulau.
“Jadi? “ Bulau menghentikan langkah.
Sulung mengangguk mantap. “Iya. “
Keduanya tersenyum, masing-masing membayangkan enaknya daging babi panggang ala mereka sendiri, seperti waktu kecil dulu.
Pontianak,
Februari-Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar