Sangat menyenangkan jika
ada kesempatan untuk nongkrong bersama para karib di kedai kopi. Menikmati
kesibukan dan hiruk-pikuk orang-orang sekitar seraya menyulut sebatang rokok
dan menghembuskan asapnya perlahan. Secangkir kopi di hadapan menunggu giliran
untuk dinikmati juga. Sementara para karib sibuk mengaduk teh atau secangkir cappuccino di hadapan mereka
masing-masing seraya bersiap-siap melemparkan kalimat sebagai pembuka wacana.
Sungguh menyenangkan.
Banyak hal yang bisa
dibincangkan di kedai kopi bersama para karib tadi. Yang paling sering jadi
topik terhangat adalah keberadaan para penulis lokal dan apa saja karya-karya
yang sudah mereka buat. Dari sekian banyak nama yang kami sebutkan, tentu saja
lambat laun akan mengerucut pada nama yang itu-itu juga dan karya yang begitu-begitu
saja. Si A yang berani menulis karya yang mendobrak segala macam hal-hal yang
dianggap tabu. Si B yang karya-karyanya berbau sufisme. Si C yang
tulisan-tulisannya sangat dangkal. Si D yang begini begini begini…
Aneh saja rasanya jika
kami terpaksa harus diposisikan seperti komentator sepak bola.
Komentator-komentator itu biasanya cenderung bebicara saja tanpa paham
sedikitpun bagaimana sulitnya menggiring bola di lapangan dan harus menciptakan
gol.
Kami? Kami mengomentari
namun juga berbuat. Kami tidak diam saja. Kami juga punya karya yang bisa
(sedikit) dibanggakan.
Yang sedikit belum bisa
saya terima adalah, jika ada ‘komentator’ yang sedikit mengarahkan bahwa karya
yang bagus itu seperti ini, maka menulislah seperti ini. Oh, itu terlalu membebani.
Terlebih bagi seorang penulis pemula seperti saya.
Sedikit mengutip
pendapat Pram, bahwa semua harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca
atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti
berguna (Pramoedya Ananta Toer, Menggelinding I, 2004). Pelan-pelan saya mulai
menunaikan titah Pram tadi. Menulis. Apa pun. Saya yakin, suatu saat pasti
berguna.
Saya senang membaca
karya-karya penulis hebat. tentu saja sebagai penulis saya juga ingin seperti
mereka. Ingin sama hebatnya. Ingin punya nama hebat dan dikenang sebagai
penulis yang hebat. Tapi, dari segi teknik kepenulisan dan hasil karya, biarlah
saya menemukan jati diri saya sendiri tanpa harus dipaksakan sama dengan
penulis-penulis yang punya karya hebat tadi.
Dalam berkarya, saya
cenderung menuliskan apa yang saya rasakan dan apa yang sedang saya pikirkan.
Intinya, saya menulis jika perasaan saya nyaman. Nyaman dalam arti tanpa ada
tekanan atau paksaan harus menulis seperti ini atau seperti itu. Bebas. Perkara
nanti hasilnya memuaskan atau tidak, biarlah pembaca yang menilai.
Dalam berkarya, saya
juga memiliki keyakinan bahwa pembaca itu cenderung senang dengan bahan bacaan
yang sejatinya mereka pahami. Sederhana saja. Pembaca yang seperti itu adalah
pembaca yang membutuhkan bahan bacaan sebagai hiburan, bukan bahan bacaan untuk
diteliti dan sebagainya. Jadi, biarlah mereka mendapatkan dan menikmati
karya-karya yang bisa menghibur mereka. Dengan demikian, tentu saja karya-karya
seperti itu akan ada gunanya juga. Dan, bagi merekalah tulisan-tulisan saya
yang sederhana ini saya persembahkan.
Saya masih ingat kutipan
dari buku Teori Sastra karangan Austin Warren dan Renne Welleck. Di dalam buku
itu tertulis bahwa karya sastra adalah karya yang mengandung unsur keindahan
dan kebergunaan. Keindahan tentu saja berkaitan dengan nilai estetika sebuah
karya sastra. Saya sebagai penulis jelas tidak bisa memaksakan kepada pembaca
untuk mengatakan bahwa karya saya itu indah. Ini (indah atau tidaknya sebuah
karya) sudah menjadi urusan pembaca dan ini soal selera. Jika pembaca suka,
kebergunaan sebuah karya sastra akan muncul dengan sendirinya, sesederhana
apapun itu. Sekurang-kurangnya, karya saya akan menghibur mereka.
Pada akhirnya, saya
tinggal berharap saja semoga buku kumpulan cerita pendek Hujan Bulan Juni ini
memang memiliki unsur estetika dan semoga saja buku ini ada gunanya buat para
pembaca.
Mempawah, penghujung Mei yang tenang, 2013
Salam,
Redia Yosianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar