Label
SAJAK
(89)
KARYA KAKANDA REDI
(60)
CERITA PENDEK
(59)
GALERI
(49)
KISAH
(47)
KARYA TEMEN
(24)
ARTIKEL
(13)
MATERI PELAJARAN BAHASA INDONESIA
(11)
JALAN-JALAN
(10)
PROFIL SASTRAWAN
(4)
NOVEL
(3)
LIRIK LAGU BAGUS
(1)
Selasa, 30 Juli 2013
Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie "Jalan-jalan ke perbatasan"
Jalan-jalan ke perbatasan Indonesia - Malaysia
Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang
Kalimantan Barat
Juni 2013
Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang
Kalimantan Barat
Juni 2013
Sabtu, 27 Juli 2013
Yang terasa, yang dipikirkan, yang ditulis… [sedikit uneg-uneg dari dalam hati]
Sangat menyenangkan jika
ada kesempatan untuk nongkrong bersama para karib di kedai kopi. Menikmati
kesibukan dan hiruk-pikuk orang-orang sekitar seraya menyulut sebatang rokok
dan menghembuskan asapnya perlahan. Secangkir kopi di hadapan menunggu giliran
untuk dinikmati juga. Sementara para karib sibuk mengaduk teh atau secangkir cappuccino di hadapan mereka
masing-masing seraya bersiap-siap melemparkan kalimat sebagai pembuka wacana.
Sungguh menyenangkan.
Banyak hal yang bisa
dibincangkan di kedai kopi bersama para karib tadi. Yang paling sering jadi
topik terhangat adalah keberadaan para penulis lokal dan apa saja karya-karya
yang sudah mereka buat. Dari sekian banyak nama yang kami sebutkan, tentu saja
lambat laun akan mengerucut pada nama yang itu-itu juga dan karya yang begitu-begitu
saja. Si A yang berani menulis karya yang mendobrak segala macam hal-hal yang
dianggap tabu. Si B yang karya-karyanya berbau sufisme. Si C yang
tulisan-tulisannya sangat dangkal. Si D yang begini begini begini…
Aneh saja rasanya jika
kami terpaksa harus diposisikan seperti komentator sepak bola.
Komentator-komentator itu biasanya cenderung bebicara saja tanpa paham
sedikitpun bagaimana sulitnya menggiring bola di lapangan dan harus menciptakan
gol.
Kami? Kami mengomentari
namun juga berbuat. Kami tidak diam saja. Kami juga punya karya yang bisa
(sedikit) dibanggakan.
Yang sedikit belum bisa
saya terima adalah, jika ada ‘komentator’ yang sedikit mengarahkan bahwa karya
yang bagus itu seperti ini, maka menulislah seperti ini. Oh, itu terlalu membebani.
Terlebih bagi seorang penulis pemula seperti saya.
Sedikit mengutip
pendapat Pram, bahwa semua harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca
atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti
berguna (Pramoedya Ananta Toer, Menggelinding I, 2004). Pelan-pelan saya mulai
menunaikan titah Pram tadi. Menulis. Apa pun. Saya yakin, suatu saat pasti
berguna.
Saya senang membaca
karya-karya penulis hebat. tentu saja sebagai penulis saya juga ingin seperti
mereka. Ingin sama hebatnya. Ingin punya nama hebat dan dikenang sebagai
penulis yang hebat. Tapi, dari segi teknik kepenulisan dan hasil karya, biarlah
saya menemukan jati diri saya sendiri tanpa harus dipaksakan sama dengan
penulis-penulis yang punya karya hebat tadi.
Dalam berkarya, saya
cenderung menuliskan apa yang saya rasakan dan apa yang sedang saya pikirkan.
Intinya, saya menulis jika perasaan saya nyaman. Nyaman dalam arti tanpa ada
tekanan atau paksaan harus menulis seperti ini atau seperti itu. Bebas. Perkara
nanti hasilnya memuaskan atau tidak, biarlah pembaca yang menilai.
Dalam berkarya, saya
juga memiliki keyakinan bahwa pembaca itu cenderung senang dengan bahan bacaan
yang sejatinya mereka pahami. Sederhana saja. Pembaca yang seperti itu adalah
pembaca yang membutuhkan bahan bacaan sebagai hiburan, bukan bahan bacaan untuk
diteliti dan sebagainya. Jadi, biarlah mereka mendapatkan dan menikmati
karya-karya yang bisa menghibur mereka. Dengan demikian, tentu saja karya-karya
seperti itu akan ada gunanya juga. Dan, bagi merekalah tulisan-tulisan saya
yang sederhana ini saya persembahkan.
Saya masih ingat kutipan
dari buku Teori Sastra karangan Austin Warren dan Renne Welleck. Di dalam buku
itu tertulis bahwa karya sastra adalah karya yang mengandung unsur keindahan
dan kebergunaan. Keindahan tentu saja berkaitan dengan nilai estetika sebuah
karya sastra. Saya sebagai penulis jelas tidak bisa memaksakan kepada pembaca
untuk mengatakan bahwa karya saya itu indah. Ini (indah atau tidaknya sebuah
karya) sudah menjadi urusan pembaca dan ini soal selera. Jika pembaca suka,
kebergunaan sebuah karya sastra akan muncul dengan sendirinya, sesederhana
apapun itu. Sekurang-kurangnya, karya saya akan menghibur mereka.
Pada akhirnya, saya
tinggal berharap saja semoga buku kumpulan cerita pendek Hujan Bulan Juni ini
memang memiliki unsur estetika dan semoga saja buku ini ada gunanya buat para
pembaca.
Mempawah, penghujung Mei yang tenang, 2013
Salam,
Redia Yosianto
Kata mereka...
Kesedihan. Keputusasaan. Air mata. Tiga hal yang
bisa mewakili keseluruhan isi buku ini. Mungkin itulah mengapa buku ini diberi
judul ‘Hujan Bulan Juni’, meskipun ‘hujan’ tidak melulu membawa kesedihan atau
mewakili keputusasaan dan air mata.
(Maylisa
Santauli – Alumni Ganesha Operation, penikmat karya sastra modern)
Pak Redi menulis cerita pendek dengan sangat
bagus. Ide-idenya cemerlang dengan ending
yang tidak terduga. Seandainya saja ide-ide yang cemerlang tadi tampil dalam
bentuk novel, tentu akan lebih hebat lagi dan saya yakin Pak Redi mampu
mewujudkannya.
(Adhitya
Pangestu – Siswa Kelas Akselerasi Ganesha Operation)
Membaca judulnya saja sudah membuat saya ingin
segera ‘membongkar’ isinya. Redi memang jagoan dalam menciptakan rasa penasaran
pembaca.
(Ffate’
– Penulis buku Edelweis Berkisah)
Redi. Saya memanggilnya dengan sebutan ‘Bung
Redi’. Dia adalah guru Bahasa Indonesia. Buku ini sangat penting untuk beliau
sendiri dan juga tentu saja untuk para siswanya. Setidaknya, dalam mengajarkan
materi tentang cerita pendek, Bung Redi tidak sekedar memberikan teori belaka.
Buku ini adalah contoh nyata dan buktinya.
(Ade
Ariyanto – Guru Matematika di SMA Negeri 1 Sanggau Ledo)
Saya tidak terlalu paham tentang teori
berkomentar. Ketika Mas Redi menyodorkan naskah cerpen-cerpennya, meminta saya
membacanya, dan meminta saya untuk memberi tanggapan, saya gak bisa bilang
banyak selain dua hal: BAGUS dan BAGUS BANGET.
(Danu
Priyadi – Mahasiswa Poltekkes Pontianak Jurusan Keperawatan Gigi)
Beberapa judul cerpen di dalam buku ini sudah
pernah saya baca sebelumnya di surat kabar. Sangat luar biasa jika pada
akhirnya cerpen-cerpen ini tampil lagi dengan wujud yang lebih eksklusif: buku
kumpulan cerpen. Selamat buat Redia Yosianto.
(Tri
Sugiarti – Ibu rumah tangga, penikmat karya sastra)
Membaca cerpen-cerpen Pak Redi seperti menonton
acara tv kesayangan. Terus pengen baca, baca, baca sampe habis. Belom puas kalo
belom kelar. Bagus. Sangat bagus.
(Andini
Shafira – Calon mahasiswi)
Tentang Penulis - dalam 'Hujan Bulan Juni' -
REDIA YOSIANTO
Kelahiran Jembrana, 28 tahun yang lalu ini
menghabiskan masa kanak di Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan
Barat. Mulai menemukan keasyikan tersendiri di dunia tulis menulis sejak duduk
di bangku SMP. Beberapa cerita pendek
dan sejumlah puisi lahir dari tangannya saat itu. Hingga kini sudah menerbitkan
beberapa judul buku kumpulan cerpen, novel, dan antologi puisi bersama.
Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain:
Coretan di
Langit Kapuas,
sebuah antologi cerita pendek bersama penulis muda Kalimantan Barat (Lentera,
2009), Ramadhan di Rantau (Penerbit
Harfeey, 2012), Ayat-ayat Ramadhan,
sebuah antologi puisi bersama penulis nusantara (Alif Gemilang Publishing,
2012), Suara Lima Negara, sebuah
antologi puisi bersama penyair lima negara (Tuas Media, 2012), Kalbar Berimajinasi, sebuah antologi
cerita pendek bersama 25 sastrawan Kalimantan Barat (STAIN Press, 2012), Di Tepi Pelabuhan Ini, kumpulan cerita pendek
tunggal (Literer Khatulistiwa, 2013), Arus,
sebuah antologi cerita pendek bersama penulis Kalimantan Barat (Literer
Khatulistiwa, 2013), Gerimis di Luar
Sana, sebuah novel (Seruni Creative Publishing, 2013), Rumah Datuk Uban, sebuah antologi cerita pendek bersama 13 penulis
Kalimantan Barat (Seruni Creative Publishing).
Hujan
Bulan Juni
adalah kumpulan cerita pendek tunggal keduanya yang diterbitkan oleh Literer
Khatulistiwa, 2013.
Saat ini menetap di Mempawah, Kalimantan Barat.
Ingin berbagi atau sekedar berbincang?
Redia Yosianto dapat dihubungi lewat e-mail kakanda_redi@rocketmail.com
Atau lewat Facebook Kakanda Redi
Lewat Twitter di @kanda_redi
Kata mereka tentang Buku Kumpulan Cerpen Hujan Bulan Juni
Cerita di buku ini enak-enak. Gue saat ini lagi
galau, lagi patah hati. Dan buku kumpulan cerpen Hujan Bulan Juni ini emang gue
banget dah. Salut buat elu, Di. Nulis terus. Tetep berkarya. Jangan mau kalah
sama penulis-penulis di tempat gue.
(Dita
Aditya – Drummer, tinggal di Jakarta)
Ide cerita di kepala Redi bisa bermanifestasi
dalam rupa tulisan yang bisa dicerna dengan ringan dan membuat ketagihan.
Seringkali sajian cerpennya ditutup dengan kejutan diluar dugaan. Dan, tentu
saja, kejutan bisa sangat menyenangkan sekali bukan?
(Tetty
Maria – Staf pengajar di Ganesha Operation Pontianak)
Redi pandai menjalin sebuah cerita. Bahasanya
bagus. Cerpen-cerpennya enak dibaca. Saya pikir untuk ke depannya nanti Redi
bisa jadi cerpenis jempolan.
(Dewi
Mustikasari – Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 3 Siantan)
Berkarakter. Bagus. Salut.
(Farninda
Aditya – Penulis buku Otakku Cenat-cenut)
Sebenarnya cerita-cerita di dalam buku ini
cenderung berkisar di kehidupan sehari-hari. Umum. Sederhana. Tapi, setelah
dituliskan dengan bahasa yang cantik, tema yang umum tadi bisa sangat memikat.
Untuk soal ini, Mas Redi jagonya.
(Febrian
Arie Waspodo – Mahasiswa)
Langganan:
Postingan (Atom)