Beberapa saat
yang lalu.
Seperti biasa,
sepulang dari kerja, saya selalu menyempatkan diri berkunjung ke Kafe Pustaka. Tak
banyak yang saya lakukan di tempat yang sungguh nyaman ini. Sekedar duduk
melepas lelah, menyalakan dan menghisap berbatang-batang rokok, sembari
berbincang dengan teman-teman sastrawan lokal, adalah aktivitas yang bagi saya
sangat menyenangkan. Kafe Pustaka adalah tempat nongkrongnya para seniman
lokal. Penulis, pegiat teater, kelompok penari, seniman lukis, para backpacker, aktivis lingkungan, dan
mahasiswa rajin berkunjung ke tempat ini. Saya sendiri sepertinya sudah mulai
menemukan kelompok saya sendiri. Kelompok? Ah, tidak. Saya tidak suka
terkotak-kotak oleh sesuatu yang sifatnya membatasi ruang gerak. Baiklah, saya
sebut kelompok hanya karena mereka ini yang paling sering nongkrong dengan saya
di Kafe Pustaka.
Adalah Ilham Setia, Asmirizani, Herlina, Pay Jarot
Sujarwo, Dewi Mustikasari, dan sesekali juga muncul seniman lain yang juga
turut bergabung di meja kami. Mereka ini adalah teman diskusi yang
menyenangkan. Pengetahuan mereka tentang sastra sungguh luas. Saya yang
menempatkan diri sebagai pemula sering dibuat terkagum-kagum oleh apa yang
mereka bincangkan.
Ilham Setia
misalnya. Ilham baru saja meluncurkan buku kumpulan puisinya beberapa saat yang
lalu. Buku tersebut dia beri judul KAMA. Ilham adalah narasumber saya saat kami
berbual-bual soal sastra. Sebagai seorang lulusan ilmu sastra dari Jogjakarta,
sangatlah wajar jika pada akhirnya Ilham memiliki sesuatu yang lebih dari kami,
tepatnya dari saya.
Asmirizani. Karib
saya yang satu ini adalah salah satu penggerak roda keberlangsungan FLP
Kalimantan Barat. Tulisannya rapi secara alur dan kuat jika ditilik dari segi
tema. Berbincang dengannya soal Pramoedya Ananta Toer sungguh menyenangkan.
Beberapa saat
yang lalu, entah kenapa, Kafe Pustaka sedang sepi. Banyak meja yang kosong. Meja
kami yang kebetulan agak ramai. Saya dan dua karib saya tadi, Ilham dan Zani. Kami
hanya bertiga. Kami mengupas soal keberlangsungan sastra di Kalimantan Barat. Ilham
telah membuat terobosan yang menurut saya dan Zani adalah langkah nyata yang
sangat cerdas. Ilham membentuk wadah informasi soal sastra di Kalimantan Barat
yang kemudian dia sebut dengan nama Dialog Sastra Kalbar (DSK). Malah,
rencananya, DSK akan me-launching
buku kumpulan puisi dari seluruh penulis yang ada di Kalimantan Barat. Sebuah gebrakan
yang patut diacungi jempol dan wajib didukung.
Malam kian
beranjak saat Ilham berinisiatif membacakan cerpen karya Pay Jarot Sujarwo yang berjudul RANJANG. Suara Ilham yang berat dan
mendayu-dayu,mengekspresikan setiap dialog dalam cerpen, membuat saya takjub
dan tak hendak mengabaikan satu kalimat pun dari cerpen yang sedang dia
bacakan.
Begitu pembacaan
cerpen selesai, saya dan Zani memberikan apresiasi yang sangat sederhana: tepuk
tangan. Ilham berencana akan mementaskan naskah Ranjang menjadi drama monolog. Oh,
sebuah ide yang cerdas. Saya sungguh tak sabar menunggu pementasan drama
monolog-nya Ilham ini.
Kemudian,
kami larut kembali dalam konsep Ilham dalam upaya menghidupkan kembali geliat
sastra di Kalimantan Barat yang memang beberapa tahun terakhir sedang tidur
panjang. Saya menyimak dengan serius dan sesekali memberikan pendapat yang
menurut saya perlu. Zani juga demikian. Kami saling bertukar pendapat. Sungguh sebuah
diskusi yang bernas.
Akhirnya,
kami sama-sama menghabiskan sisa kopi di gelas masing-masing lantas membayar ke
kasir. Eva ‘Si Poni Kuda’ sudah
menunggu dengan judesnya. Hahahaaaa… kata Ilham, malam ini Eva cantik sekali. Saya
dan Zani mencibir dan tertawa setelahnya.
Pukul sepuluh.
Kami berjanji untuk berjumpa lagi esok malam. Tak mengapa hanya segelas kopi
dan sebungkus rokok. Tanpa sajian yang istimewa sekalipun, diskusi kami akan
tetap jalan. Saya akan selalu senang mendengarkan para karib saya itu bercerita
soal sastra.
Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar