dan
begitulah menit-menit berlompatan
meninggalkan
wajah-wajah pucat oleh semburat jingga
termasuk
aku. termasuk aku yang mengira bahwa hidup ini
memang
benar-benar semakin payah
menit-menit
beringsut menyingkir
menyisakan
gelas-gelas yang mengepulkan sengat pekat aroma bir
aku
tersipu ketika menyadari bahwa gerimis hanya turun dimataku saja
aku
tersipu ketika kudapati sangkaku tadi akan benar jadi nyata
: hidup memang payah. payah!
kupu-kupu
cuma ada di dalam lukisan
terbang
mereka kesana-kemari
bersolek
warna-warni
terbahak-bahak.
betapa sungguh aku jadi muak!
lantas
kau datang
bukan,
bukan kupu-kupu bodoh dalam lukisan itu
kau
adalah bayang-bayang yang resah
dengan
setangkai kembang kenanga berdarah
: pulanglah! sepi menunggu diambang pintu
sembari taburkan sendiri
kenanga ini pada ritual tidur panjangmu
sebab sejatinya aku juga kupu-kupu yang
menghunus belati
yang sudah kau maki-maki sejak tadi!
Bengkayang,
2010
Sajak
kepada Arif
: dari sahabatmu, Zul
Rif,
sajak ini kutulis di bulan Juli
saat
angin pesisir timbul tenggelam
pagi
siang, sampai malam
tapi
layang-layangmu telah kau koyak
tak
akan lagi pernah terbang
sebab
kulihat kau sibuk kini mengayun parang
bantu
bapakmu bikin bersih lahan
bantu
bapakmu bakar habis ladang
ah,
Rif…
layang-layangku
terbang sendirian.
Kota
Baru, 2012
Soneta
Musim Api
: teruntuk Zul, sahabatku
: di langit, tak
pernah lagi kutengok layang-layangmu
seperti aku yang
duduk di bawah panas
layang-layangku
mati sendirian
tak punya kawan
bertarung gelas
o,
Zul, memang begitu jalan yang terpampang
aku
musti menepi, tak lagi main layangan macam bayi
tak
lagi benang, Zul, kini aku menggenggam api
parangku
sudah kuasah sejak tadi
: tapi Rif, kita
tak lagi punya unggas
sudahlah,
Zul, yang penting kita punya beras
lupakan
layang-layang, lupakan benang gelas
kau
tau Zul? disebalik api yang menari lekas
kugambar
wajahmu di layang-layangku yang naas
diam-diam,
air mataku menetes deras
Kota
Baru, 2012
Sayonara
bagaimana
jika tiba-tiba aku jatuh cinta padamu?
pada
lengkung bibirmu yang tiba-tiba jadi ranum
pada
setiap pejam matamu yang seketika penuh oleh rahasia
aku
cuma bisa berdecak
entahlah,
mungkin itu kagum
kagum
yang siap membunuh seperti runcing kaki-kaki gerimis
sedang
kau sendiri terlalu tersembunyi, terlalu ritmis
aku
hampir putus asa menengadahkan kenyataan
bahwa
sebuah perjumpaan tidaklah semestinya anggur dalam cawan
kau,
juga aku
masing-masing
cuma bisa menghitung detik-detik yang berloncatan
telah
berapa jenak lamanya mata kita saling bersitatap
lantas
sadarkah kita?
acapkali
malam melelehkan embun
malam
juga melelehkan air mata?
lambat
laun tinggallah kenangan yang mencabik-cabik
seperti
kau, akupun mematung
ketika
jemari kita terlepas dari saling berpegangan
lantas
menumpahkan anggur dalam cawan!
Pontianak,
2009
Ketika
Enggang (hampir) Kehilangan Sarang
: Nano L. Basuki
aku
melewatkan angka sepuluh sebelas duabelas di jam dengan sia-sia
menekuri
saja kemilau sayap enggang dalam sebuah pigura
sejenak
yang lalu, persis dua detik sebelum angka sepuluh
sarang
enggang dari jerami kata-kata itu
di
kepalaku benar-benar jadi istana
ayolah,
nak, kita sulam lagi dedaunan belian yang tercabik-cabik
kita
buatkan anyaman yang nyaman
biar
enggang kita itu bisa mendengkur pelan
tapi,
pak, tunas-tunas runcing sawit itu mulai bermekaran
menusuk
dada enggang, air matanya bertaburan
alahmak, kan
kamek udah bilang
lamak-lamak
sarang enggang ini bakal ilang
tidakkan
kita tepekur saja?
biarkan
enggang tinggal kenang, dikenang laksana simbol semata?
kite perang nak,
kite perang!
tidakkan
mesti kita menghunus pedang
cukuplah
kita susun lagi serpih dedaunan itu jadi sarang
atau
dengan sajak kita menentang
sajak senjate
kite, sajak inilah mate pedang!
ah,
pak, seketika ini juga
ingin
benar aku menjadi petani kata-kata.
Kota
Baru, 2012
Tuan-tuan
Asu
demokrasi
yang kita tata di piring
sudah
ludes semua dimakan anjing
dikunyah-kunyah,
ditelan dengan rakus
keluar
lagi ia dari lubang anus
jadi
koar-koar asal njeplak
dari
mulut-mulut yang memang tak punya otak
taunya
cuma menggasak ini itu
makan
ini itu
menggonggong
begini begitu
ASU!!!
Mempawah,
2012
Tentang Bapak yang Selalu Mandi
/I/
tamu
itu datang lagi, pak, suatu pagi
bawa
tas besar, isinya kesenangan banyak sekali
gemerlapan,
berpendar-pendar
kusampaikan
padanya
:
bapak sedang mandi
silahkan tuan datang lagi di lain hari
lantas
dia pulang, pak
matanya
membara sebuah benci
/II/
lain
pagi, tamu itu datang lagi, pak
kali
ini tak bawa tas
cuma
selembar kertas
warnanya
biru, merah, dan sedikit kuning emas
:
kasih ke bapak, lekas
cek seratus juta pas
sisanya nanti kubikin lunas
kalo proyek ini sudah tuntas!
kubilang
padanya pelan-pelan
tenang
dan penuh sopan
:
bapak sedang mandi
bawa dulu kertas ini
lain kesempatan tuan boleh berkunjung lagi
tamu
itu pergi, pak
matanya
nyalang
kesal
tiada terbilang
/III/
bapak
memang senang mandi
lima
kali sehari
tak
pernah kurang, lebih bisa jadi
diguyur
dengan takbir
bersabun
bismillah
berbilas
fatihah
berhanduk
hamdallah
dalam
mandi bapak berdendang
lagunya
tentang kepasrahan
siulnya
melantunkan penerimaan
usai
mandi, wajah bapak segar sekali
/IV/
lain
masa sekali waktu
sebuah
kabar berkunjung mengetuk pintu
tamu
yang datang tempo hari
yang
kerap bawa tas
yang
selalu mengantongi kertas
kirim
salam ia kepada bapak dari lapas
/V/
suatu
malam bapak mandi
wajahnya
tenang, lenggangnya pelan sekali
usai
mandi bapak melantun
agar
sahabat yang tertangkap lekas diberi ampun.
Sanggau
Ledo, 2012
Kepada
Pejalan Kaki
pejalan
kaki yang menyanyikan sajak lelah di bawah hujan
dalam
air mata yang dia senyumkan
terus
dan terus berjalan
seiring
gerimis menderas dalam tarian
ada
juga sajak cinta
yang
keluar dari mata yang basah
saat
dia lelah
pejalan
kaki yang mendendangkan lagu kepedihan
terus
dan terus menyesak ke dalam
seiring
hari yang kian jadi jingga
saat
dia lelah, saat dia lelah
inilah
ketika hidup benar-benar bermula dari cinta
Anjungan,
2011
Sungai
acapkali
kukecap keruhmu
acapkali
pula membayang sebuah cerita masa muda
tentang
jernihmu
tentang
jernihnya tetes-tetes embun
yang
menggelayut di pucuk-pucuk daun
tapi
sudahlah
bahkan
kini pun daunnya sudah kau hanyutkan
bersama
cerita yang kian menuju pulang
Segedong,
2012
Ritual
Musim
bapak-bapak
dan ibu-ibu
jika
anda sedikit punya waktu
bertandanglah
ke negeri kami
negeri
musim yang warna-warni
bapak,
ibu
di
negeri kami ada musim kemarau
musim
dimana ladang-ladang kami kehilangan hijau
ketika
mata mengerjap pedas
ketika
sajak liar bercerita soal keringat yang mengucur deras
semua
sudah sering tersaji
datanglah
kesini jika bapak ibu ingin bukti
negeri
kami juga punya musim kembang asap
kelopak-kelopaknya
mekar menebar gelap
angin
menghembus menghunus kata-kata
menggiring
pekat menebar sari-sari jelaga
oh,
iya, hampir kami lupa
musim
hujan di negeri kami jangan sekali dilewatkan
musim
dimana genangan-genangan akrab menjadi teman
menyeret
sampah sampai ke pelataran rumah
menyeret
susah sampai ke air mata tumpah
bapak,
ibu
anda
ingin melihat musim api?
maka
berwisatalah ke negeri kami
kobar-kobarnya
terang pada penghabisan mei
aha…pengalaman
yang senang tentunya untuk pulang nanti
bapak,
ibu
terlantun
maaf jika kunjungan anda kadang kelabu
sebab
jujur kami beri tahu
di
negeri kami tak ada musim salju
Kota
Baru, 2012
Kakanda Redi
Lahir
di Jembrana, Bali, 1985. Menulis cerpen, puisi, dan beberapa cerita anak.
Beberapa puisinya termuat dalam antologi puisi Ayat-ayat Ramadhan (Alif Gemilang Publishing, 2012), Suara 5 Negara, sebuah antologi puisi
bersama penyair lima negara (Tuas Media, 2012). Menetap di Kota Baru, Kabupaten
Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar