Sepotong Omellete untuk Mak Mok
Hari masih sangat pagi. Matahari belum muncul,
tapi putri kecilku sudah sibuk minta dimandikan dengan air hangat.
Sebentar-sebentar mulut kecilnya berceloteh tentang ayunan warna-warni yang dia
lihat di sekolah taman kanak-kanak kemarin. Dia bilang, dia sangat ingin main
di situ, di ayunan warna-warni itu, nanti jika dia sudah masuk sekolah.
Seminggu yang lalu aku
membawa putri kecilku mendaftar ke taman kanak-kanak yang tak begitu jauh dari
rumah. saking dekatnya, bahkan kami cukup berjalan kaki saja. Jika tidak
tergesa-gesa, sekitar lima belas sampai dua puluh menit berjalan kaki maka kami
sudah sampai di sekolah taman kanak-kanak itu.
Sepanjang perjalanan
dari rumah menuju taman kanak-kanak, putri kecilku berdendang dengan
gembiranya. Lagu ‘kupu-kupu yang lucu’
yang aku ajarkan kepadanya sudah hampir fasih dia nyanyikan. Belum lagi selesai
lagu ‘kupu-kupu yang lucu’ itu, lagu
‘naik kereta api’ sudahpun meluncur
dari mulut mungilnya.
Lantas, di pagi yang
cerah ini, putri kecilku sudah sibuk minta dibedaki seusai mandi. Baju
sekolahnya dia kenakan sendiri. Meski agak kesulitan, namun pada akhirnya dia
berhasil mengenakan baju barunya itu. Rambut putri kecilku kukuncir dua, kiri dan
kanan, lalu kunciran rambut itu kuberi pita kuning, senada dengan warna seragam
barunya. Iya, hari ini adalah hari pertama putri kecilku masuk sekolah taman
kanak-kanak.
“Mama, ayolah kita
berangkat. Nanti Resa tak dapat ayunan,” putri kecilku sudah sibuk menarik-narik
tanganku, minta secepatnya diantar berangkat sekolah.
Aku tersenyum gemas,
“Sabarlah dulu. Ini masih pagi. Masih jam enam lewat sedikit. Teman-temanmu
juga pasti belum berangkat. Tunggulah sebentar lagi. Biar Mama siapkan bekalmu
dulu,” putri kecilku berlalu, tak menarik tanganku lagi. Kini dia duduk di
sofa. Sebentar-sebentar tatapannya mengarah ke pintu. Entah apa yang dia
pikirkan saat ini.
Bekal untuk putri
kecilku sudah selesai aku siapkan. Roti panggang isi cokelat dan keju. Tempat
minumnya yang juga masih baru kuisi dengan susu cokelat hangat. Persis jam
setengah tujuh pagi, kuantarkan putri kecilku berangkat ke sekolah. Betapa dia
begitu semangat di hari pertamanya sekolah. Diam-diam aku tersenyum sembari
menggandeng tangannya yang terus berayun-ayun.
***
Dua minggu pertama putri
kecilku sekolah, dia sama sekali tak mau ditinggalkan. Dia ingin begitu jam
bermain selesai, aku harus ada di luar kelas atau di taman kecil tempat para
orang tua menunggu anaknya pulang sekolah.
Pernah suatu hari diam-diam
aku pulang ketika putri kecilku sedang asyik bermain. Maksudku, menjelang jam
pulang nanti, aku sudah ada di luar kelas, menunggunya keluar kelas seperti
biasanya. Tapi yang terjadi adalah, putri kecilku pulang sambil tersedu-sedu.
Tentu saja aku sangat kaget dan demi Tuhan aku sangat menyesal telah melakukan
hal ini. Putri kecilku diantar oleh seorang ibu guru yang menerima kami saat
pendaftaran sekolah tempo hari.
“Resa? Resa kenapa? Kok
nangis?” putri kecilku langsung menghambur ke pelukanku. Tangisnya kian
kencang. Tatapan mataku pindah ke ibu guru yang mengantar Resa pulang. Kami
saling melempar senyum dan sedikit menganggukkan kepala.
“Tadi Resa haus usai
bermain ayunan. Resa tak dapat membuka tutup botol minumnya. Saat itulah Resa
mencari Ibu. Begitu sadar Ibu tak ada di tempat tunggu seperti biasanya, Resa
langsung menangis, minta pulang.”
Aku tertegun. Tangis
putri kecilku mulai reda.
Kupersilahkan ibu guru
yang sudah mengantar Resa pulang tadi untuk masuk. Secangkir teh tentu sangat
pas sebagai pelengkap saat berbincang nanti. Tapi ibu guru itu menolak dengan
halus. Aku baru sadar bahwa jam belajar rupanya memang belum selesai.
“Terima kasih sudah
mengantar Resa pulang. Maaf sudah merepotkan Ibu,” ujarku. Ibu guru itu
tersenyum.
“Tak apa. Resa anak yang
pintar. Seperti yang Ibu lihat, dia cepat sekali menemukan kawan-kawannya. Soal
dia minta ditunggui sampai pulang, itu wajar. Anak yang baru masuk sekolah dan
menemukan lingkungan baru rata-rata memang begitu.”
Aku mengangguk mendengar
penjelasan ibu guru yang mengantar Resa pulang ini.
“Baiklah, saya mohon
diri,” ibu guru itu menyalamiku, “Resa, Mak
Mok ke sekolah lagi ya. Besok Resa sekolah lagi ya,” katanya kepada putri
kecilku yang masih sesenggukan. Ajaib, putri kecilku langsung menyunggingkan
senyum.
***
Aku senang. Sekarang
putri kecilku sudah tidak menangis lagi saat kutinggal pulang. Kujanjikan
kepadanya bahwa aku sudah akan tiba di sekolah lagi bahkan sebelum lonceng
pulang berbunyi. Putri kecilku mengangguk.
Satu hal yang pasti
terjadi, setiap pulang sekolah, putri kecilku pasti bercerita tentang Mak Mok, ibu guru yang belakangan sering
ikut mengantarnya pulang meskipun aku sudah datang menjemput. Sepertinya putri
kecilku tak pernah kehabisan cerita soal Mak
Mok-nya itu. Entah mengapa ibu guru itu membahasakan dirinya ‘Mak Mok’ kepada Resa. Padahal, kepada
siswa yang lain tidaklah begitu. Beliau tetap dipanggil ‘Bu Azizah’ sebab
memang begitulah namanya.
“Mama, tadi Resa dikasih
kue sama Mak Mok. Kuenya enak,” ujar
putri kecilku di sebuah siang yang tak begitu terik saat pulang sekolah.
Seperti biasa, tangan mungil putriku selalu berayun-ayun saat kugandeng.
“O ya? Kue apa?”
“Itu loh, Ma, kue yang
ada indomie-nya itu. Yang digoreng. Ada telurnya juga. Enak. Resa suka. Mama
bisa bikin?”
Aku tersenyum, “Itu
namanya omellete. Mama bisa bikin. Nanti Mama bikinkan di rumah,” janjiku.
Putri kecilku langsung meloncat-loncat senang.
Tiba di rumah, kusiapkan
baju ganti untuk putri kecilku itu. Aku memintanya untuk bertukar pakaian.
Kuajarkan pula agar seragam yang sudah dilepas tidak dibiarkan berserakan.
Makan siang kali ini,
kubuatkan omellete untuk putri kecilku. Mie instan memang tidak baik untuk
anak-anak, tapi sekali-sekali tentu tak apa. Yang aku senang, putri kecilku
begitu antusias mengikuti setiap gerakanku membuat omellete. Matanya tajam
mengawasi dan dia tak pernah banyak tanya jika yang dilihatnya tidaklah sulit.
“Ma, kok indomie-nya
direndam dulu? Biar apa?”
Aku tersenyum, “Nanti kalau
digoreng biar tambah renyah. Tidak direndam juga tidak apa-apa kok,” jelasku
kemudian. Putri kecilku tampak mengerti. Lantas, bola matanya tampak membesar
begitu adonan omellete aku masukkan ke minyak panas. Sekilas senyumnya
mengembang.
“Boleh minta, Ma?” tanya
putri kecilku dengan mata berbinar saat omellete aku angkat dari penggorengan.
“Tentu saja boleh. Tapi
sabar dulu. Masih terlalu panas.”
Putri kecilku
mengangguk.
Aku sangat takjub saat
melihat putri kecilku melompat sambil berteriak saat kukatakan kepadanya bahwa
omellete sudah bisa dimakan. Hangatnya pas, tidak terlalu panas.
“Enak, Ma.”
Lagi-lagi aku tersenyum.
Putri kecilku mengatakannya saat mulutnya penuh sesak dengan potongan omellete
yang tengah dikunyah.
“Habiskan. Biar Resa
kenyang. Habis makan, bobok siang ya?”
Putri kecilku tertegun,
“Kok dihabiskan? Disisihkan untuk Papa ya, Ma?”
“Papa pulang kerja masih
lama. Nanti kalau Papa pulang, biar Mama buatkan lagi. Yang ini Resa habiskan
saja, biar kenyang.”
Putri kecilku bersorak.
***
Sudah tiga hari Mak Mok tidak masuk. Selama tiga hari
ini pula, kuperhatikan putri kecilku seperti kehilangan gairah bermain. Ayunan
warna-warni sepertinya tak lagi menarik minatnya. Sebentar-sebentar tangannya
meraba kotak bekal di dalam tas.
Beberapa hari yang lalu,
putri kecilku minta diajari membuat omellete. Kupenuhi permintaannya. Aku hanya
mengajarinya membuat adonan saja. Yang menggorengnya tetaplah aku. Begitu saja
putri kecilku sudah senang bukan kepalang seraya mengatakan bahwa omellete itu
dialah yang membuat.
Ini adalah hari ketiga Mak Mok tidak masuk. Putri kecilku
terlihat gusar. Dihampirinya aku yang duduk terdiam di kursi taman.
“Nanti omellete ini
keburu dingin lagi seperti kemarin. Mak
Mok mana ya, Ma? Kok tidak masuk lagi?”
Aku menggeleng. Putri
kecilku sangat ingin memberi Mak Mok-nya
omellete buatannya sendiri. Dia ingin bercerita bahwa dia sudah bisa bikin
omellete. Dan Mak Mok harus mencoba,
katanya tempo hari kepadaku.
“Besok kita bikin
omellete lagi ya, Ma. Besok Mak Mok
pasti datang. Ya Ma, ya?” putri kecilku mengguncang lenganku dengan lembut. Aku
hanya mengangguk seraya tersenyum.
Tengah aku dan putri
kecilku mulai putus asa dan sangat pesimis soal kedatangan Mak Mok hari ini, tiba-tiba saja orang yang sangat ditunggu-tunggu
kedatangannya oleh putri kecilku itu muncul di ambang pintu gerbang sekolah.
Senyumnya mengembang begitu matanya beradu pandang dengan putri kecilku.
“Resaaaaa,”
Putri kecilku menoleh.
Seketika itu pula semangatnya terbit. Tenaganya kembali. Lincahnya datang lagi.
Dengan begitu bersemangat putri kecilku berlari dan menghambur ke Mak Mok yang berjalan menghampiri kami.
“Mak Moooook…” sekejap mata, putri kecilku sudahpun berada di
gendongan Mak Mok-nya. “Mak Mok kemana saja? Resa bawa omellete
untuk Mak Mok. Kemarin sudah dingin.
Resa makan sendiri. Yang ini Resa buat lagi. Untuk Mak Mok.” Putri kecilku terus saja bercerita. Tangan mungilnya
melingkar di leher Mak Mok.
“O ya? Kalau yang bikin
Resa, pasti enak.”
Putri kecilku tertawa.
Sepertinya dia sudah tidak sabar untuk segera memberikan omellete yang dia buat
kepada Mak Mok-nya.
Mak Mok sudah sampai di hadapanku. Kami saling menjabat tangan dan
menanyakan kabar. Sementara putri kecilku tak juga mau lepas dari gendongan Mak Mok-nya.
“Dua hari sudah saya
tidak masuk. Saya sedang mengurus surat pindah. Suami saya pindah tugas ke
Sumatera Selatan. Hari ini saya sekalian mau pamit dengan keluarga besar sekolah,
pamit kepada Ibu dan Resa juga.”
Entah apa yang ada di
kepala putri kecilku sekarang. Tiba-tiba saja dia kembali seperti tadi, seperti
saat Mak Mok-nya belum tiba. Putri
kecilku mendadak jadi pendiam. Celoteh-celotehnya mendadak lenyap, menguap
entah kemana. Sementara aku sendiri? Jujur saja, dadaku sedikit sesak mendengar
kabar ini. Kupikir, nantinya putri kecilku pasti akan sedih sekali. Selain aku
dan papanya, rupanya Mak Mok juga
sudah punya tempat tersendiri di hati putri kecilku ini.
“Ma, selatan itu jauh
ya, Ma?”
“Sumatera Selatan?”
Putri kecilku
mengangguk, “Iya, selatan. Jauh ya, Ma?”
Aku tak hendak menjawab
pertanyaan putri kecilku itu. Dadaku masih sesak. Sumatera Selatan? Ah, tentu
saja jauh. Sangat jauh malah. Apa aku harus bilang begitu?
Tatapan mataku pindah ke
Bu Azizah. Mak Mok-nya Resa itu juga
terdiam. Sesekali diusapnya rambut putri kecilku dengan penuh rasa sayang.
“Tidak jauh kok. Resa
jangan takut. Kalaupun Mak Mok jarang
jumpa Resa lagi, Mak Mok akan
berkirim surat buat Resa. Makanya, Resa sekolah yang pintar ya, biar cepat bisa
membaca.”
Putri kecilku
mengangguk. Aku sendiri cepat-cepat memalingkan wajah. Ada yang terasa begitu
hangat di pelupuk mataku saat ini.
“O iya, tadi katanya mau
ngasih Mak Mok omellete. Mana? Mak Mok pengen rasa omellete buatan
Resa,” Mak Mok mencoba tersenyum.
Tapi sepertinya dia gagal. Suaranya mulai bergetar.
Ingat dengan omellete
yang masih di dalam tas, putri kecilku segera turun dari gendongan Mak Mok-nya. Dikeluarkannya kotak bekal
dari dalam tas.
“Masih hangat. Ini untuk
Mak Mok,” Resa mengangsurkan omellete
yang masih tersusun rapi di dalam kotak bekalnya.
Bu Azizah tersenyum dan
sangat antusias menerima omellete pemberian putri kecilku itu. Tapi tidak
begitu yang kurasakan. Seperti ada sesuatu yang tidak biasa pada diri Bu Azizah
hari ini. Oh, ini adalah perjumpaan penghabisan Bu Azizah dengan Resa. Besok
dan seterusnya, Bu Azizah tidak akan masuk lagi, tidak akan mengajak Resa
bermain lagi, tidak akan menggendong Resa lagi, tidak akan mengantar pulang
Resa lagi. Dadaku kian sesak memikirkan ini.
Kulihat, omellete
pemberian Resa tadi mulai disantap oleh Bu Azizah. Bibir Bu Azizah sungguh
penuh senyum. Tapi… tapi kulihat matanya basah.
Kota Baru, November 2013