: kepada Pak Nano Basuki
aku melewatkan angka sepuluh sebelas duabelas di jam dengan sia-sia
menekuri saja kemilau sayap enggang dalam sebuah pigura
sejenak yang lalu, persis dua detik sebelum angka sepuluh
sarang enggang dari jerami kata-kata itu
di kepalaku benar-benar jadi istana
ayolah, nak, kita sulam lagi dedaunan belian yang tercabik-cabik
kita buatkan anyaman yang nyaman
biar enggang kita itu bisa mendengkur pelan
tapi, pak, tunas-tunas runcing sawit itu mulai bermekaran
menusuk dada enggang, air matanya bertaburan
alahmak, kan kamek udah bilang
lamak-lamak sarang enggang ini bakal ilang
tidakkan kita tepekur saja?
biarkan enggang tinggal kenang, dikenang laksana simbol semata?
kite perang nak, kite perang!
tidakkan mesti kita menghunus pedang
cukuplah kita susun lagi serpih dedaunan itu jadi sarang
atau dengan sajak kita menentang
sajak senjate kite, sajak inilah mate pedang!
ah, pak, seketika ini juga
ingin benar aku menjadi petani kata-kata.
Kakanda Redi
Mempawah, 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar