Oleh: Redia Yosianto
Tak ada yang mencoba membuka
percakapan. Sepi. Sepi sekali. Keduanya masih juga berdiri di situ. Di sebuah
padang yang sedikit lebih tinggi dari sekitar. Mematung. Memandang pada satu
titik yang sama. Di depan, sawah hijau menghampar. Begitu menenangkan perasaan.
Angin pagi sesekali menampar-nampar. Begitu kencangnya. Menerpa anak-anak
rambut yang kian acak-acakan. Matahari belumlah terlalu panas. Lamat-lamat di
kejauhan tampak serombongan burung belibis yang melintas. Warna putihnya begitu
anggun. Begitu memesona.
“Tak
ada yang berubah dari tempat ini, Maria.”
Sepi
lagi.
“Semuanya.”
Wira melanjutkan kalimat yang tidak mendapat tanggapan tadi. “Kau, aku, sawah,
burung, angin, juga segala yang kita rasakan sekarang. Barangkali jika memang
ada yang berubah, itu adalah kita yang semakin dewasa, semakin tua.” Tambah
Wira. Tanpa menoleh.
“Aku
pulang membawa rindu yang menggunung,” sahut Maria, sedikit serak dan bergetar,
“tapi bukan untuk bapak. Buatku, bapak sudah lama mati. Aku tidak punya bapak.
Aku tidak ingin punya bapak seperti orang itu.” Air mata itu akhirnya tumpah.
Mengalir dengan perlahan.
Wira
meraih lengan Maria, mengajaknya duduk. Runcing ilalang segera menyambut.
Seperti tadi, angin sesekali masih datang, mengacak-acak segala yang tersentuh.
Rambut, dedaunan, mungkin juga perasaan. Sejuknya begitu terasa.
“Dulu,
dua belas tahun yang lalu, kita sering duduk di sini. Suasana masih juga
seperti sekarang. Kau menangis. Selalu menangis. Kau tunjukkan bekas rotan yang
menjalar di kakimu, di lenganmu, malah kadang juga di pinggangmu. Kau tunjukkan
semua sambil menangis.”
Maria
mulai sesenggukan. Satu demi satu kisah kelam masa lalu melintas di hadapannya.
Tentang ibunya yang sekalipun tak pernah dia lihat. Tak pernah dia peluk. Tentang
bapaknya yang terlalu sayang dengan kakaknya, Marini. Tentang bapaknya yang
begitu seringnya memukul. Marini yang selalu dimanja, disayang. Dirinya yang
selalu dibentak dan dirotan. Semua kini hadir sebagai sebuah cerita yang begitu
celaka. Begitu tak pantas sebenarnya untuk diceritakan lagi. Sakit. Teramat
sakit jika harus mengenangnya kembali. Rotan itu seperti masih melekat di
kakinya, di lengannya, juga di pinggangnya. Dan ini membuatnya semakin tak
ingin pulang.
“Aku
terpaksa memintamu pulang, Maria.”
“Mungkin
akan lebih baik jika Mas Wira tidak pernah mengabariku sama sekali soal ini.
Percuma saja, Mas. Aku toh tetap tidak bisa memaafkan perbuatan bapak.”
Wira
menarik napas sejenak, “Kamu tahu, mengapa dulu bapakmu begitu keras kepadamu?”
Maria
menggeleng. Air matanya masih mengalir. Dia hanya mampu membatin, tentu saja
alasannya cuma satu: bapak tidak sayang kepadanya. Apa lagi? Kalau bapak sayang
kepadanya, tentu bapak tak akan memukulinya setiap kali dia membuat sedikit
kesalahan yang sebenarnya masih sangat wajar dilakukan oleh seorang bocah.
Memecahkan gelas misalnya. Atau menghanyutkan sikat cucian di sungai. Tapi
bapak tidak garang terhadap Marini, kakaknya itu. Bapak tidak pernah memukul
Marini setiap kali kakaknya itu berbuat salah. Marini pernah memecahkan piring,
bapak diam saja. Marini pernah menghanyutkan baju, bapak juga diam saja. Marini
sering pulang lewat dari jam sembilan malam, bapak tak pernah menegur.
“Dengar,
Maria. Akan aku ceritakan sesuatu yang kamu belum sempat tahu.” Wira
membenarkan letak duduknya. Diliriknya Maria sejenak. Gadis itu masih juga
meneteskan air mata.
Perlahan
Maria mengusap matanya yang basah.
“Aku kenal dengan bapakmu, jauh sebelum
kamu lahir. Tadinya yang aku dengar dari orang-orang, salah satu dari orang
tuamu itu ada yang mandul. Entahlah, Maria. Waktu itu aku sendiri tidak tahu arti
kata mandul itu apa. Sampai pada akhirnya, orang tuamu punya bayi. Kata
orang-orang lagi, bayi itu adalah bayi adopsi. Sama seperti mandul tadi, waktu
itu aku juga tidak tahu arti kata adopsi itu apa. Yang aku tahu, bayi itu
diberi nama Marini, kakakmu itu.
Lantas,
seiring berjalannya waktu, perut ibumu membesar. Mengandung kata orang. Aku
ingat betul, ibumu melahirkanmu persis bersamaan dengan hari pertamaku masuk
sekolah dasar. Aku memakai seragam baruku ketika aku diajak ibu berkunjung ke
rumahmu. Aku ingat benar ketika itu. Kau menangis kencang sekali. Dimataku, kau
begitu lucu.” Wira menghela napas panjang.
“Hanya saja sesuatu yang tidak baik
menimpa ibumu. Beliau meninggal setelah kamu lahir.” Wira melanjutkan ceritanya
dengan wajah sedikit tertunduk.
Maria
mendengarkan cerita Wira dengan mata yang semakin berlinang. Tak sedikitpun
terlintas dipikirannya untuk memenggal cerita yang sama sekali tak diketahuinya
ini.
“Perihal
mengapa bapakmu begitu keras terhadapmu, itu karena kamulah anak kandung
beliau. Bapakmu tidak pernah memukul Marini sebab bapakmu merasa tidak punya
hak untuk memukulnya. Percayalah, Maria, setiap orang tua memiliki cara
sendiri-sendiri dalam mendidik anaknya.”
Tangis
Maria kian pecah.
“Bapakmu
pergi sebelum sempat menjelaskan semua ini kepadamu. Surat dari beliau tak kau
balas. Telponnya pun tak pernah kau angkat. Pernah suatu hari bapakmu
memutuskan untuk pergi menyusulmu. Bapak ingin membawamu pulang katanya. Tapi
sayang, sakitnya itu yang menghambat segala niatnya. Dan ketika akhirnya kamu
pulang, semua sudah terlambat. Bapakmu sudah pergi untuk selama-lamanya.”
Sepi
sejenak.
“Mas,
tolong antarkan aku ke makam bapak.” Ucap Maria diantara sesenggukannya.
“Barangkali akulah yang seharusnya
meminta maaf.” Maria beranjak dari duduknya. Nyeri di dadanya kian perih oleh
rasa bersalah yang sangat.
Matahari
kian meninggi. Udara kian menjadi panas. Sementara sesal di dada Maria kian
menggumpal tak tercairkan.
Kota Baru, Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar