Sepi. Tak ada lagi gelak tawa bocah yang berlarian menendang bola ketika hujan seperti ini, seperti biasanya juga. Sepetak pelataran kecil itu telah senyap, pekat dibalut senja yang kian gelap. Dingin. Semilir angin ini terasa lain. Menusuk tulang. Mengoyak hangat yang tersisa begitu saja. Teras ini terasa kian sepi.
“Kapan Mas Reno akan berhenti merokok?” Indri, yang sejak tadi diam memeluk lutut, mencoba memecah kebekuan yang tercipta. Wajahnya tak lagi setenang tadi, ketika pertama kali ia datang.
“Aku baru saja memulainya, In. ”
”Kemarin Mas tidak merokok. Sekarang tiba-tiba merokok. Aku tidak suka, Mas. Bau asap itu, ah... Kenapa sih di dunia ini harus ada yang namanya rokok?”
”Manusia bisa saja berubah seiring berjalannya waktu, In.”
”Iya, aku tau, Mas. Tapi tidak ke arah yang lebih buruk seperti ini, kan?”
Sepi kembali berkuasa.
Reno melempar puntung rokok terakhirnya ke luar. Segera api yang membakar ujung puntung itu padam tertimpa tetes air hujan yang masih tersisa. Ada haru yang menyerta disana, dipadamnya puntung itu, yang begitu kentara seiring ia dilempar begitu saja, yang padam tanpa ada sisa nyala, yang... yang sayangnya tak terbaca oleh Indri yang tak tahu apa-apa.
Reno membakar lagi rokok yang ke...
”Mas!” Indri menatap tajam. ”Mas tak menganggapku lagi?” Galau itu menyeruak begitu saja. Tak bisa dicegah. ”Aku sayang sama Mas Reno. Berhentilah merokok, Mas. Mau ya...”
Reno tersenyum. Gertir. Perih. Terasa begitu dipaksakan.
Tapi terlambat. Rokok telah membara merah diujungnya. Asap mengepul tak beraturan. Gelap kali ini kian memuramkan keadaan. Kian kabur oleh asap rokok yang terbang membungkus isak tangis. Kemilau mata Reno yang berkaca-kaca tak lagi terlihat. Terabaikan. Di luar, hujan menyisakan rintik yang memilukan.
”Sudah hampir malam,” Reno menghembuskan lagi asap rokoknya untuk kesekian kali. ”Kapan kamu dijemput?” Kalimat ini, ah... demi Tuhan, sungguh tak ingin Reno menanyakannya.
”Sebentar lagi, Mas.” jawab Indri pelan. “Mas kapan berhenti merokok?”
“Semoga saja bisa.”
Tak ada lagi pembicaraan setelahnya, setelah Indri memutuskan untuk pulang. Gunawan, pemuda yang telah berhasil memenangkan hati Indri, telah datang menjemput. Dan ini, sungguh... semakin ingin rasanya Reno membakar sepuluh batang rokok sekaligus dan menghisapnya sampai selesai.
“Tak terbacakah olehmu apa yang menyebabkan aku berubah?” Reno mendesah. Indri telah pergi. Langit telah gelap, benar-benar gelap. Mata yang berkaca-kaca itu telah terpejam, benar-benar meneteskan air mata yang hangat. Semilir angin kian menjadi dingin dan gerimis di luar sana masih mengirimkan desah yang semakin menyayat perasaan.
Reno menatap lekat bungkus rokok disebelahnya. Dibukanya. Masih ada lima batang lagi. Reno tak bisa berbuat lain selain ini.
27 Maret 2010
Label
SAJAK
(89)
KARYA KAKANDA REDI
(60)
CERITA PENDEK
(59)
GALERI
(49)
KISAH
(47)
KARYA TEMEN
(24)
ARTIKEL
(13)
MATERI PELAJARAN BAHASA INDONESIA
(11)
JALAN-JALAN
(10)
PROFIL SASTRAWAN
(4)
NOVEL
(3)
LIRIK LAGU BAGUS
(1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar