“Facebook?”
Iya, facebook. Sudah bikin?”
Aldi tertegun.
Bising yang membalut kantin sejak tadi seketika mengirim sepi di kepala Aldi. Samar. Begitu tiba-tiba. Namun sangat terasa. Sekali lagi ia tertegun dan sama sekali tidak tahu mesti berbuat apa.
”Al,”
Aldi tersentak pelan. ”Eh, iya. Itu, aku belum bikin facebook. Kamu sudah?”
”Kepengen banget sih. Tapi aku gak ngerti. Gak ada yang ngajarin. Tadinya aku mau minta ajarin sama kamu. Taunya kamu aja belum bikin. Ya sudah kalau begitu.”
Diteguknya lagi sisa es cokelat bertabur seres yang tadinya sangat sedap itu. hanya saja, kali ini Aldi tidak merasakan apa-apa selain galau yang begitu menghentak. Cuma lantaran facebook? Mungkin iya. Pantas saja belakangan ini gadisnya sering diam. Beberapa kali ia dapati Yutha termenung sambil mengetuk-ngetukkan ponselnya dengan lembut ke meja. Facebook rupanya.
Aldi sendiri sampai sekarang memang belum menyentuh mainan baru yang katanya mendunia itu. Bukan tidak ingin. Ingin lah. Hanya saja pastinya repot kalau cuma mau online lima menit saja mesti bolak-balik ke warnet. Ponsel? Itu dia masalahnya. Sejak ponsel ditemukan sampai sekarang yang katanya lagi ponsel sudah pada canggih gini, ponselnya sendiri belum ganti-ganti. Masih yang itu-itu aja. Gak ada lagunya, gak ada kameranya, apalagi buat internetan. Gak mungkin lah. Fungsi ponselnya itu cuma tiga. Pertama buat nelpon, kedua buat SMS, yang ketiga buat nimpuk kucing yang suka ganggu kalau dia lagi makan.
”Hari gini gak punya facebook?” begitu yang sering Aldi dengar manakala ia ditanya masalah alamat facebooknya. Atau,
“Ke laut aja gih...” Lebih parah lagi? Ada.
“Sempit banget sih pergaulanmu?” gitu.
Miris. Menyebalkan. Cuma gara-gara facebook saja kok sampai segitunya ia dihujat. Gak punya facebook juga gak mati kelaparan kok. Biasa saja lah. Batin Aldi sebal, lebih berusaha ingin menghibur diri sendiri.
“Al, aku daftar facebook, ya. Aku kan kepengen online juga.” Yutha menghembuskan napasnya, pelan. Memang tidak ada kewajiban untuk minta izin ke Aldi. Apalagi cuma masalah daftar facebook saja. Gak penting banget lah. Tapi Yutha ingin dianggap sebagai cewek yang bisa dipercaya dan bisa menghargai keberadaan seorang cowok. Itu saja.
”Iya. Daftar saja. Ponsel kamu kan bisa dipake buat online setiap saat.” sahut Aldi risau. Senyumnya begitu kentara dipaksakan. Tak ada ekspresi lain selain ingin segera menghantamkan ponselnya ke kepala kucing yang sedang lewat. Saat ini juga.
Sepi.
”Kamu bener gak apa-apa, Al?”
Aldi mengangkat kepalanya. Kucing dalam pikirannya barusan entah sudah kabur kemana juga, ia tidak tahu.
”Al,”
”Iya, gak apa-apa. Bener ini.” jawabnya. Bohong tentu saja. Juga masih dengan senyum yang tadi. Dipaksakan.
Sayang, Yutha belum begitu pandai membaca hati kekasihnya itu.
***
Sesuatu yang menakutkan itu telah datang. Sebuah ancaman. Prahara yang menghantam. Begitu kuat merentangkan jurang dengan pesona yang sungguh hampir tak teraba. Sesuatu yang kerap terabaikan. Dianggap biasa. Namun justru kemudian merupakan bumerang yang mematikan. Menyerang diam-diam. Begitu ingin memperbaiki keadaan, sayang, sudah sangat terlambat untuk menyadarinya.
”Kamu daftar facebook ke warnet berdua dengan Daniel saja?” ledak Aldi tanpa bisa dicegah. Tak peduli dengan raut bingung dihadapannya. Hatinya lebih sakit. Lebih tidak terima. Facebook? Okelah. Tapi mengapa harus Daniel?
”Dia mau mengajari aku bikin facebook. Itu saja kok.” Sungut Yutha.
Aldi mengatupkan rahang rapat-rapat. Marah. Milk shake dihadapannya tak terlihat. Tak berasa apa-apa. Hambar. Tawar. Justru perih yang sangat terasa. Dihatinya, tentu saja.
”Kamu sendiri gak mau ngajarin aku. Malah kamu belun punya.” lanjut Yutha lagi. Tentu saja kian menghanguskan hatinya.
”Apa temen di kelas kita yang bisa ngajarin bikin facebook cuma Daniel saja? Raihana gak bisa? Atau Indri, Siska. Bisa kan?”
”Kamu kenapa sih, Al?” sahut Yutha sengit, ”Daniel kan temen kamu juga. Akrab malah. Jadi masalahnya dimana?”
”Oya?” Aldi menatap wajah polos dihadapannya dengan tatapan yang nyaris membunuh. Gampang sekali cewek ini bilang begitu, pikirnya. ”Bukannya Melanie itu temen kamu juga? Kelewat akrab malah.” lanjut Aldi, mencoba memutarbalikkan keadaan.
Terlambat. Tak ada lagi kalimat sengit yang keluar dari bibir Yutha. Ia tak bisa lagi membela diri. Serangan balik dari Aldi sungguh tepat menikam emosinya. Telak.
Mau tidak mau Yutha harus mengingat kembali masa lalu, ketika ia meledak habis-habisan kepada Aldi yang waktu itu membantu Melanie, sahabat karibnya, mengerjakan makalah. Di warnet juga. Berdua.
Tak ada yang lebih membakar hati selain mendengar kabar Aldi membantu Melanie mengerjakan tugas. Sungguhpun sebenarnya Melanie sendiri tidak punya felling apa-apa terhadap Aldi, mengingat Yutha adalah sahabat karibnya sendiri. Hal ini yang membedakan Melanie dengan Daniel. Melanie menganggap itu murni bantuan saat mengerjakan tugas. Tentu saja. Sementara Daniel? Sebelum Yutha jadian dengan Aldi, Yutha sendiri sudah terlanjur tahu banyak tentang perasaan Daniel kepadanya. Dan inilah yang sekiranya membuat Aldi seperti petasan disebelah kompor gas. Siap meledak kapan saja tanpa bisa dicegah lagi.
”Iya sih,” hanya itu yang bisa diucapkan Yutha. Pendek. Lemah. ”Jadi, aku mesti gimana sekarang?”
”Terserah kamu saja lah. Aku bisa bilang apa?”
Nah, ini. Ini nih, yang kayak begini yang Yutha paling risau. Aldi kalau sudah marah sikapnya selalu begini. Selalu menganggap semua tidak penting. Terserah-nya itu yang paling bikin suasana gak enak. Salah langkah bisa celaka. Serba salah.
Yutha mulai berani berpikir, seberapa penting sih Aldi baginya?
***
Aldi meninjukan kepalan tangan kanannya ke telapak tangan kiri. Berkali-kali ia melakukan itu. Jelas ada yang perlu dibicarakan dengan Daniel. Empat mata. Hanya empat mata. Ini menyangkut Yutha. Tentu saja Yutha. Bukan facebook tolol itu.
Lagian si Daniel ini geblek banget sih, pikir Aldi. Apa aku harus memeluk Yutha didepannya biar dia ngerti kalau Yutha itu pacarku? Harus gitu ya?
Jelas, semua warga kampus sudah tahu kalau Yutha itu pacarnya Aldi. Gak ada yang perlu diberitakan lagi. Faktanya memang begitu. Meski tidak terang-terangan, Daniel masih saja menyerang. Tak dapat lewat kencan, ia masuk lewat sesuatu yang sangat fatal jika diteruskan. Facebook.
Dasar Daniel. Payah. Musuh dalam selimut. Menggunting dalam lipatan. Pagar makan tanaman. Hei, kebagusan amat aku nyumpah-nyumpah dia pakai pepatah dan peribahasa. Memangnya siapa sih dia? Rezky Aditya? Atau Justin Timberlake sekalian?
Aldi menyandarkan kepalanya ke sebatang pohon mangga yang berdaun lebat. Sejuk benar jika siang-siang begini duduk dibawah pohon mangga ini. Tapi tidak untuk saat ini. Kepala, juga hatinya terasa panas. Siap untuk meleleh. Yutha membayang begitu saja tanpa bisa dicegah. Setiap saat. Tanpa jeda.
”Sudah lama nunggu?”
Daniel.
”Lumayan. Tapi santai saja lah.” sahut Aldi singkat sambil memberikan tempat untuk Daniel duduk.
”Ada apa sih sebenarnya? Kok tumben resmi amat? Mau ketemu aku saja mesti lewat SMS. Biasanya juga kamu langsung ke kelas Biologi.” Daniel yang belum bisa membaca keadaan nyerocos begitu saja, seolah hari ini masih sama dengan hari-hari kemarin saat ia dan Aldi ketemu. Tak ada yang serius. Semuanya serba canda. Ketawa-ketawa.
”Pengen nanya saja,” jawab Aldi pendek, ”masalah facebook.”
”Oh...” Daniel tersenyum. ”Tertarik juga? Bagus dong.” cerocosnya lagi. ”O iya, barusan juga Yutha minta ajarin lagi tuh. Dia minta ajarin gimana caranya up load foto. Lumayan cerdas juga dia. Sebentar saja sudah bisa.”
Aldi tertegun. Minta ajarin lagi? Berarti yang seperti ini sudah terjadi beberapa kali. Padahal sudah dua hari ini Yutha dingin padanya. Setiap ditanya, jawabannya selalu sama, “Lagi online nih. Nanti saja ya, nanyanya.” Sampai segitunya? Facebook benar-benar telah meracuni kepala gadisnya itu. Gadisnya? Sejauh ini, masih.
“Kok malah bengong?”
“Sudah dua hari Yutha diemin aku, Niel. Dan celakanya itu karena facebook.” Aldi menghembuskan napas perlahan. “Menurut kamu, facebook itu penting ya, Niel?”
Daniel ngakak. “Ya penting banget lah, Al. Secara hari gini kan gak mudah tuh menyatukan banyak orang dengan banyak kepentingan pada saat orang-orang itu ada di tempat yang saling berjauhan. Ini dia pentingnya facebook, Al.”
Aldi melempar tatapannya jauh ke depan. “Gitu, ya?”
“Iya. Makanya, kapan kamu mau daftar? Aku temenin lah.”
”Aku belum ada mood buat yang begituan, Niel. Ngeri saja. Nanti aku jadi aneh kayak Yutha, lagi.” sergah Aldi. Jawaban yang sedikit bego, pikirnya.
”Ya gak gitu lah, Al. Yutha aja sering kok ngobrol dengan aku.”
Aldi mendelik kesal, ”Ketemuan berdua gitu? Face to face?”
“Ya ampun, ya lewat facebook lah. Kan Yutha sudah mulai mahir main facebook. Makanya…”
“Niel,” Aldi memenggal kalimat Daniel sekenanya, “Kamu masih suka sama Yutha, ya?”
Giliran Daniel yang tertegun. “Kamu ngomong apa, sih?”
“Aku nanya, kamu masih suka sama Yutha, gitu?”
”Al, sampai sekarang aku memang belum punya cewek. Tapi kamu juga gak bisa membuat kesimpulan segampang itu dong.”
”Sudah lah, Niel. Aku gak perlu intro kamu. Tujuan aku manggil kamu kesini cuma mau nanyain hal ini saja kok. Gak ada tujuan lain.”
Sepi terasa begitu berkuasa. Membalut keadaan yang mulai mencekam.
Daniel larut dengan perasaannya sendiri. Perasaannya terhadap Yutha, tentu saja. Sungguh, ia begitu menikmati kebersamaan yang baru terjalin kurang lebih seminggu ini. Yutha memang manis. Cantik malah. Apa salah jika ia juga ikut kagum dengan kecantikan itu. Mungkin tidak, pikirnya. Tapi seandainya kekaguman itu sudah mulai masuk ke taraf ingin memiliki? Daniel tak ingin menjawab pertanyaannya sendiri ini.
”Iya, kan?” Aldi mendesak lagi, membuyarkan Yutha yang tergambar indah di kepala Daniel.
”Beruntung sekali kamu bisa memiliki Yutha, Al.”
”Belakangan aku tidak merasakan itu, Niel.”
”Yutha itu...”
”Jawab pertanyaanku, Niel.”
Daniel mendesah pelan. Sebagai laki-laki, tentu dia juga punya harga diri. Tapi kalau untuk urusan hati, mungkin harga diri bisa sedikit dinegosiasi.
”Daniel...”
”Apa aku harus menjawabnya?”
Cukup.
Aldi tak ingin mendebat lagi. Kalimat Daniel barusan sudah cukup mewakili perasaannya pada Yutha, pacarnya. Dan itu berarti, Aldi sudah tidak memerlukan jawaban apa-apa.
Yutha. Sekarang ia terasa seperti angin. Menyejukkan. Terkadang juga begitu kuat menampar. Ada, terasa, tapi tak tergenggam.
Aldi mendesah panjang. ”Niel, besok temenin aku daftar facebook, ya...”
Seketika semua membelai begitu saja. Senyum Daniel. Angin. Juga Yutha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar