Jumat, 29 Mei 2015

Selamat Malam, Bapak



Selamat Malam Bapak


Ketika aku datang kau telah terpejam
Isak tangis pecah di sunyinya malam

Menatap matamu tertutup tenang
Bertabur air mata jatuh terkenang

Aku mengusap mata dua tiga kali
Tapi airnya ngalir tak kunjung henti

Memang sangat berat untuk melepaskanmu pergi
Tapi ini lah hidup yang harus kita lalui.

Selamat malam Bapak tercinta
Semoga doa anakmu terijabah senantiasa



Kandasan
24 Agustus 2014
23:04 WIB
Mas Danu

Surat Pendek untuk Bapak



Surat Pendek untuk Bapak


Assalamualaikum.

Pak, apa kabar? Semoga bapak baik-baik saja di sana, di surga. Kami di rumah juga tak kurang suatu apa. Yang pasti, kami selalu rindu pada Bapak.

Oiya Pak, sudah lumayan lama kita tak berbicara berhadap-hadapan, berkumpul bersama, bercanda, menyeduh dan menyeruput kopi berdua, menghabiskan sisa senja sembari mengerjakan sepetak ladang yang kita punya. Atau kita akan berburu tupai yang kerap merusak buah kelapa di belakang rumah kita. Memancing di sungai kecil yang tak jauh dari rumah letaknya. Mencari kayu bakar di tepi hutan untuk persediaan tungku selama musim penghujan. Ah, terlalu banyak peristiwa yang kita lewatkan, terpaksa kita lewatkan. Aku sungguh rindu dengan itu semua, Pak.

Semua rindu ini kutulis di sini agar mereka semua tahu bagaimana rasanya rindu kepadamu. Rindu akan didikanmu padaku. Tentang bagaimana semua yang kau ajarkan kepadaku dari cara mengikat tali sepatu, memandikan sapi-sapi kita, membuat jerat burung, membaca ayat suci Al Qur’an, dan tentang bagaimana diriku ini yang sering kali salah dan membuatmu lelah menahan marah. Aku selalu ingat semua itu, Pak. Setiap kali terkenang, air mataku begitu deras jatuh berlinang. Ampini aku, Pak. Maafkan segala salah dan dosaku padamu.

Pak, aku juga masih ingat. Saat pertama kali kau mengajarkan aku mengayuh sepeda, aku yang selalu goyah kemudian kau lepas dan aku jatuh terluka. Tak peduli seperti apa aku menjerit menangis dan bermanja, Bapak selalu memaksaku untuk bangun lagi, naik sepeda lagi, mengayuh lagi, dan pada akhirnya aku harus jatuh dan terluka lagi. Sampai aku bisa mengendarainya sendiri, baru kau tersenyum, Pak. Perhatianmu membuatku mengerti arti tertatih menuju bahagia dan menjaga diri kelak ketika aku dewasa. Aku akan selalu ingat, Pak.

Tentang didikan budi pekerti yang kau ajarkan, aku juga tak akan pernah lupa, Pak. Bagaimana kau mengajarkanku cara mencium tanganmu juga tangan Ibu. Bagaimana cara mengucap salam sebelum mengetuk pintu. Bagaimana cara selalu tersenyum walaupun amarah sedang menjamu. Bagaimana ketika kau sedang marah lantas kau malah memelukku, aku pun memelukmu.

Kebaikanmu. Candamu. Amarahmu. Semua demi aku yang hingga hari ini sungguh belum bisa memberi apa-apa.

Hangatmu. Kesabaranmu. Suaramu. Semua untukku yang hingga kini masih selalu ingin bermanja.

Ketika sedih menghampiriku dulu, kau pun perih menahan sembilu. Tapi selalu kau ajarkan kesabaran dan senyum kepadaku,  untuk kebaikanku. Kita pernah berjalan di bawah hujan saat pulang dari surau kecil, dulu. Kau memeluk pundakku dengan erat agar aku, anakmu yang nakal ini tak kedinginan. Apapun kau lakukan demi semua senyum dan tawaku.

Namun, kini tak ada lagi yang bisa ku lakukan selain mendoakanmu dan lantunan Qur’an dari hati yang pernah kau ajarkan.
Kau lah orang yang ketiga setelah Ibu dalam suara Nabi Mulia. Tanpa tanganmu para Mujahid dan Syuhada takkan ada. Dari sosok seorang lelaki kuat para bapak lah mereka tercipta. Bagiku juga dari sosokmu lah aku bisa melihat indahnya dunia dan dengan wajahmu, aku melihat surga.

Pak, aku sedih melihat Ibu lelah dan lemah. Hatiku gerimis menatap pandangan kosong ketika Ibu menata gambarmu di atas meja. Jiwaku pecah ketika melihat Ibu selalu mendoakanmu dan meneteskan air mata di atas sajadah.

Sampaikan juga pintaku ini pada Allah kita, Pak.
Allah Azza wa Jalla, biar aku saja yang menanggung segala sedih yang dirasa oleh Ibu. Jadikan aku pelindung ia yang tercinta. Angkat segala pedih perih yang ada di wajahnya, ganti semua lelah dengan senyum ceria di wajahnya.

Teruntuk Bapak. Nantikan kami di sana, tempat dimana yang telah Allah janjikan untuk hambanya yang shaleh dan shaleha. Akan kusiapkan semua bekalku untuk menemuimu di jannah nanti.

Sudah dulu ya, Pak. Lain waktu, akan kukirim lagi surat untukmu. Ibu berkirim salam untuk Bapak.

Wassalamualaikum.
Anakmu.




Kandasan
Januari 2015
Mas Danu

Umbul-umbul



Umbul-umbul


            Sebuah sore yang gelap. Hujan mengguyur dusun dengan derasnya. Pepohonan berderak-derak. Kaki-kaki hujan kokoh menghantam atap. Udara begitu dingin. Sepi. Di luar, sesekali terdengar suara guntur yang menggelegar. Halilintar sesekali menyambar. Mencipta terang sekian detik di langit.
            “Mbok, ubinya sudah mateng.”
            Perempuan tua yang dipanggil ‘mbok’ barusan berusaha bangkit dari tidurnya. Selimut kumal masih membalut tubuh. Rambutnya acak-acakan. Tubuhnya sesekali gemetar, menggigil menahan dingin yang menusuk sampai ke tulang.
            “Mbok mau dibuatkan teh hangat?”
            “Memangnya kita masih punya teh?” perempuan tua itu kemudian tertegun seraya memandangi wajah cucunya yang tirus. “Kalau masih ada, bikinlah. Sedapatnya. Semoga cukup untuk kita berdua.” Ucapnya kemudian.
            Laras, bocah diambang tiga belas tahun, membungkuk persis di depan meja. Tangan kecilnya tampak sibuk mengaduk-aduk isi laci yang barusan ditariknya. Matanya lalu membesar. Senyum tersungging di bibirnya.
            “Ada?”
            Laras mengacungkan bungkus teh tubruk ke perempuan tua di hadapannya. Senyumnya masih mengembang, “Sisa sedikit. Tapi cukuplah.”
Laras beranjak dari duduknya. Api di tungku tinggal menyisakan bara. Segera Laras menjejali mulut tungku dengan beberapa potong kayu bakar kering. Ditiupnya berkali-kali bara yang tersisa. Tak lama, usahanya membuahkan hasil. Api segera berkobar memakan ujung kayu bakar yang dijejalkan. Dengan terampil Laras menjerang air.
“Mbok, kita ndak punya gula.” Laras duduk kembali di bangkunya yang tadi. Matanya sayu memandang perempuan tua yang juga duduk di tepi pembaringan. Laras mendapati bibir mbok-nya tersenyum.
“Ah, kamu Nduk, kayak baru pertama kali saja minum teh ndak pakai gula.”
Laras menarik garis bibir. Dia mencoba tersenyum dan memang dia berhasil. Tapi, justru rasa perih yang saat ini mendera di hatinya. Betapa tidak enaknya minum teh tanpa gula. Betapa pahitnya hidup yang harus dia jalani selama ini, berdua dengan mbok-nya.
Membeli gula? Oh, itu hal yang lebih mustahil lagi. Jika memang punya uang, tentu lebih bagus dibelikan beras saja ketimbang untuk beli gula.
Sejenak Laras mematung. Lantas, matanya segera mengitari setiap penjuru rumah yang dia tinggali berdua dengan mboknya ini. Ah, tidak, ini bukan rumah. Ini lebih pantas disebut pondok. Tak ada kamar di sini. Semua aktivitas terjadi di ruangan yang sama. Memasak, makan, tidur, dan berbincang. Iya, semua terjadi di ruangan yang sama. Tak ada sekat. Tak ada rahasia.
Hujan di luar tinggal menyisakan gerimis kecil. Laras hendak merebahkan diri. Namun hal itu urung dia lakukan manakala pintu pondoknya diketuk orang dari luar. Laras bangkit dengan setumpuk rasa malas.
“Mbok-mu ada, Nduk?” kata orang yang menggigil di depan pintu. Bibirnya tampak sesekali bergetar.
“Ada, Pak Latif. Mari, silakan masuk.” Laras mengekor di belakang tamunya yang bergegas masuk demi sedikit mengurangi rasa dingin yang menggigit kulit. “Minta maaf, Pak Latif, kami sudah ndak punya apa-apa lagi untuk disuguhkan. Nggggg… anu…”
“Teh kami sudah habis, Kang. Minta maaf,” sahut mbok sembari membenahi rambutnya yang berantakan.
“Ah, ndak apa-apa, Yu. Yu Darmi dan Laras ndak usah repot-repot. Wong saya juga ndak lamaa kok,” Pak Latif, Ketua RT, nyengir kuda.
Mbok membenarkan letak duduknya, “Lha ini mesti ada apa-apa ini. Kalo ndak, ya ndak mungkin to sampeyan mau repot-repot hujan-hujanan mengunjungi warga satu persatu kayak gini. Ada apa to, Kang?”
Ketua RT nyengir kuda lagi, “Nganu… ngggg… jadi begini Yu, dusun kita ini kan mau dikunjungi sama Pak Bupati. Walaaaaah, kapan lagi dusun terpelosok kayak dusun kita ini dapet kunjungan dari pembesar? Jarang-jarang to?”
“Iyaaaaaaa. Wes, intinya apa?”
“Nganu… saya mau minta tarikan Yu, sumbangan suka rela dari warga. Rencananya uang yang terkumpul mau dibelikan umbul-umbul. Biar jalan di dusun kita ini meriah. Ndak mesti lima tahun sekali to?”
Mbok tertegun, “Suka rela to ini? Bebas mau berapa saja to?”
“Ealaaaaaah, nganu… ndak bebas Yu, ada angkanya. Satu rumah mesti ngasih tarikan sepuluh ribu rupiah. Eh, gini, nganuuuu… kalo Yu Darmi ndak ada uang segitu, ndak apa-apa, tak kurangi jadi lima ribu rupiah saja. Sudah murah to ini?” ketua RT tampak salah tingkah.
Mbok mendengus kesal. Dadanya turun naik, seperti hendak marah yang meledak-ledak.
“Tif, kalo aku punya uang lima ribu, sudah sejak tadi kamu aku suguhi teh manis hangat. Ini boro-boro untuk tarikan, untuk beli beras saja kami mesti ngutang dulu ke warung. Dan, kalo Pak Bupati itu ngerti sama keadaan rakyatnya, kayak aku begini, mestinya dia ndak perlu sambutan apa-apa. Justru dia harusnya yang datang sambil bawa beras. Begitu kan malah hebat. pemimpin yang ngerti sama rakyat itu namanya.”
“Iya, Yu. Aku ngerti. Tapi ini… ini… ini maunya Pak Lurah lho, Yu. Dan…”
“Sudah. Mohon maaf. Kali ini aku ndak nyumbang dulu. Bilang saja begitu kalo Pak Lurah tanya. Darmi ndak punya uang. Beres.”
“Tapi Yu…”
“Apa lagi?”
“Nganu… ndak ada apa-apa. Ya wes, aku pamit dulu. Monggo, Yu.” Ketua RT bergegas keluar rumah. senyumnya singgah sejenak ke Laras yang berdiri mematung. Laras membalasnya dengan anggukan kecil.
Sepeninggal Pak Latif, mbok termenung. Pikirannya mulai mengira-ngira seperti apa rupa jalanan di dusunnya kelak setelah berhias umbul-umbul? Ah, tentu saja tambah meriah dan indah. Tapi, uang tarikan itu? Andai saja saat ini mbok punya uang lima ribu rupiah, sudah barang tentu dia dan Laras tak kebingungan soal teh hangat. Atau mungkin saat ini mereka berdua sudah menikmati mie instan yang lezat.
Tapi begitulah hidup. Kadang kala kepentingan individu yang krusial harus rela dikorbankan demi kepentingan umum yang justru sebenarnya sangat tidak penting. Umbul-umbul itu misalnya.
Mbok merebahkan tubuhnya kembali. Diliriknya Laras juga telah rebah seusai menutup pintu. Di luar, gerimis telah usai.


Kandasan
Februari 2015  
Mas Danu



Sajak Kepada Bapak



Sajak kepada Bapak
: kepada Mas Danu

klirang kliring klirang kliring
subuh berdentang fajar menyingsing
adalah bapak yang kali pertama terjaga
mengetuk pagi matikan pelita

bapak cermat menjemput embun
butir keringat mengucur tanpa ampun
bapak kejar rejeki tanpa sisa
bikin pagi jadi hidup tanpa sia-sia

klirang kliring klirang kliring
siang menyengat panas mengiring
bapak lelap dalam peluh
letih bekerja sejak subuh

bapak bermimpi bikin istana
dari jerami dan daun rumbia
senyum bapak lebar dan lepas
menggambar cita seputih kapas

klirang kliring klirang kliring
malam menjelang sepi mengerling
bapak mendongeng sangatlah merdu
agar kami tidur lebih dulu

lalu bapak dendangkan lagu tentang malam
kisahkan letih bekerja begitu dalam
bapak pejam sambil tesenyum bangga
besok subuh baapaak mulai lagi kerja



Pontianak
18 April 2015
Kakanda Redi




Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah